Obat Panu
Cerpen Yudha Adi Putra
"Pak, lain kali kalau jalan hati-hati. Udah tahu tempatnya ramai, masih aja nyenggol-nyenggol saya," bentak seorang perempuan paruh baya membawa tabung gas warna hijau.
Tiap hari Minggu, terutama pasaran Pon. Heri selalu menyempatkan untuk keliling pasar di dekat terminal Purbalingga.
"Maaf, Bu. Saya tidak sengaja," jawab Heri seperlunya, lalu perempuan itu pergi.
Tak banyak yang tahu tentang harga di pasar ini. Katanya lebih murah, bisa ditawar, dan ada beraneka ragam barang bekas dijual. Tidak jarang, ada polisi yang turut patroli berseragam preman. Maklum, banyak onderdil motor dijual tanpa jelas pemiliknya siapa.
"Panu, kadas, kurap. Semua penyakit bisa sembuh. Hanya dengan sekali oles. Khasiat langsung terasa. Mari-mari. Murah saja. Sehat-sehat. Sehat lebih mahal dari apa saja. Silakan obatnya. Dua puluh ribu dapat tiga," teriak seorang penjual dengan bersemangat.
Dua hari yang lalu, berawal dari keluhan teman kerjanya soal bintik-bintik putih di lengan Budi, Heri yang melewati pedagang itu tiba-tiba mendekat untuk obat panu seperti apa yang dijualnya.
Sebagai seorang sopir taksi, penampilan cukup penting. Penumpang bisa risih kalau melihat bintik panu di lengan. Kesadaran itu juga muncul dari Heri. Ia juga teringat ejekan yang diterima kawannya, Budi.
"Cara pakainya, bagaimana Pak?" tanya Heri.
"Cukup dioleskan saja pakai kapas. Sehari dua atau tiga kali. Nanti akan mengelupas dan sembuh. Kulit bebas penyakit. Bebas panu," jelas pedagang itu meyakinkan.
Terkait obat panu, Heri sudah membeli di apotek juga, tapi panunya tak kunjung sembuh. Itu yang membuat dia selalu pakai baju lengan panjang.
"Wah, hati-hatim, Mas. Kalau beli obat di pinggir jalan itu penipuan. Bisa malah kena penyakit aneh-aneh. Mending beli saja di apotek, Mas" saran istrinya, ketika dulu Heri berniat beli obat di pinggir jalan.
"Saya coba dulu boleh tidak, Pak," kata seorang lelaki tua yang juga mendekati pedagang obat itu.
"Silakan, Pak. Saya bantu, sebelah mana yang mau diobati?" tanya pedagang itu dengan ramah.
Tidak ada yang mencurigakan, tapi sebagai penjual obat, penampilan pedagang itu sungguh kurang meyakinkan. Wajahnya menyeramkan, pipi kanan ada bekas luka, dan alisnya sobek beserta luka gores. Sorot matanya menakutkan, kalau diam dingin, tapi ramah. Kalau saja dia tidak berteriak-teriak menawarkan obat, pedagang itu nampak misterius.
Pedagang obat itu juga memakai pernak-pernik ikat kepala, kalung dengan bandul batu merah, telinga kirinya ada anting berbandul salib namun patah, serta ketiga jari kanannya terpasang cicin akik beragam warna. Untuk meyakinkan pembeli, ia memasang foto-foto hasil pengobatan dengan obat yang dijualnya. Entah didapat dari mana, awalnya Heri mengira itu dari internet.
"Obat ini ada doanya, jadi selain menyembuhkan penyakit kulit. Obat yang saya jual ini bisa menjadikan hidup tentram. Ada restu dari Tuhan. Sudah banyak yang membuktikan manfaatnya," jelas pedagang itu ketika Heri juga bertanya.
"Saya beli dua kalau begitu. Satu untuk saya dan satunya lagi untuk kawan saya," Heri mulai mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan.
 "Duapuluh ribu tiga. Semua penyakit tuntas hidup tentram dari Tuhan. Mari silakan" kata pedagang itu.
"Saya mau beli dua saja,"
"Harus tiga, kalau tidak nanti khasiatnya berbeda. Malah bisa jadi petaka," kata pedagang itu dengan sorot mata dingin.
"Obat ya obat. Kalau tidak boleh ya sudah, saya cuma mau beli dua. Saya nawar dua sepuluh ribu," tawar Heri dengan sinis.
Pengunjung yang lain hanya menonton. Tidak ada respon. Mereka menanti, boleh tidak kalau hanya membeli dua saja atau justru membeli satu saja. Obat itu berbentul botol dan cara memakainya dioleskan.
"Baiklah. Untuk pembuka rezeki saya. Tidak apa, dua sepuluh ribu," jawab pedagang itu dengan nada kecewa.
"Tapi ingat, kalau ada apa-apa jangan salahkan saya," lanjutnya
Karena sudah ramai, Heri tak mendengarkan ucapan pedagang itu. Ia hanya memberikan uang sepuluh ribuan dan mengambil dua botol tanpa sempat menerima plastik.
***
Siang itu, Heri bersama teman-temannya ngobrol di pangkalan. Ada budi yang masuk angin dan minta dikeroki oleh Tono.
"Panumu itu lho, membuat orang risih. Makanya mandi yang rajin. Kalau begini, saya mau ngerokin kamu jadi parno sendiri, takut ketularan," kata Tono.
"Hari gini masih panuan? Diobati dong Bud, malu-maluin saja," kata Heri dengan nada mengejek.
"Bukanya kamu juga panuan? Sombong sekali," jawab Budi sambil memperbaiki posisi duduknya. Ia sudah siap dikeroki oleh Tono.
"Itu masa lalu, sekarang sudah bersih. Aku ada obatnya, kamu mau?" tanya Heri.
"Mau, kalau gratis. Hahaha. Emangnya kamu beli di apotek mana?" jawab Budi
Heri terdiam sejenak. Ia bingung mengatakannya.
"Obat ini dari luar negeri. Aku import. Jadi mahal sekali," kata Heri sambil membuka tasnya dan memberikan botol kecil berisi cairan.
***
Dua bulan berlalu, ada kabar burung di grup WA sopir-sopir kawan Heri. Mereka mengabarkan soal Budi yang tiba-tiba mendapatkan nomor judi. Jumlahnya fantastis, cukup untuk membeli sepuluh mobil. Hanya saja, Budi menjadi tidak bisa dihubungi. Itu membuat teman-temannya penasaran.
"Her, kamu kemarin ketemu Budi tidak ? Katanya dia habis dapat nomor ?" tanya Roni.
"Tidak. Aku baru pulang mengambil rapor anakku, tadi bertemu istrinya Budi. Dia tidak mengatakan apa pun. Hanya tersenyum saat berpapasan,"
"Ya tidak mungkin cerita sama istrinya. Aneh saja kamu," kata Tono ikut menyambung pembicaraan.
Hingga mereka terkejut, beberapa polisi tiba-tiba datang dan mengacungkan senjata mereka.
"Angkat tangan!" bentak seorang polisi
"Ayo, ikut kami ke kantor semua," bentak yang lainnya.
Mereka semua dibawa ke kantor polisi. Heri pertama dimintai keterangan soal Budi. Ia tidak mengira, obat panu yang diberikan pada Budi menjadi pintu masuk Budi berkenalan dengan bandar judi. Menurut keterangan polisi, Budi ingin membeli obat panu dan menghubungi penjual obat panu itu dengan bantuan nomor yang tertera di botol kecil.Â
Setelah bertemu, mereka malah membahas kerja sama judi. Penjual obat panu itu merupakan bandar judi kelas kakap yang di buru polisi. Penyamarannya menjadi pedagang obat terbongkar, ketika Budi melaporkan bahwa kemenangannya judi merupakan tipuan.
Kopi Ampirono, 21 Desember 2022 Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H