Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sein Kiri Belok Kanan

20 Desember 2022   21:04 Diperbarui: 20 Desember 2022   21:11 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sein Kiri Belok Kanan

Cerpen Yudha Adi Putra

"Jangan kabur. Dasar anak kurang ajar," seorang perempuan meneriaki Sigit.

"Heh. Kalau naik motor pelan-pelan, ini jalan kampung," ucap bapak-bapak yang memakai sarung.

Pagi itu, Sigit berkendara lewat sebuah kampung. Untuk pertama kali, sepeda motor kesayangannya menabrak ibu-ibu yang membawa sayuran. Seorang perempuan, bertubuh tinggi dan mengendarai motor baru.

"Kalau mau cepat jangan lewat sini!" bentak seorang perempuan.

"Tapi ini jalan umum, saya juga tidak cepat. Hanya dua puluh kilometeran per jam tadi," balas Sigit tak mau kalah.

"Mengapa kamu marah-marah?" Seorang laki-laki yang menolong ibu itu membentak.

"Ibu ini, belok langsung belok. Mendadak sekali," balas Sigit.

 Seorang ibu yang merasa tertabrak tadi berusaha berdiri dan mendekati Sigit.

"Kamu menabrak saya, barang dagangan saya jadi berantakan. Motor saya rusak," kata perempuan yang mengaku sebagai warga dekat jalan itu.

"Mereka itu tabrakan. Pemuda itu melaju cukup kencang dan ibu-ibu yang ditabrak salah memberi aba-aba. Lampu seinnya belok kiri, tapi ibu itu malah belok kanan," seorang perempuan berkerudung menambahkan.

"Kau dengar itu? Memangnya yang bisa pakai jalan ini hanya warga sekitar ? Kalian juga belum tentu bayar pajak," ujar Sigit. Perkataannya membuat beberapa yang berkerumun tersinggung.

"Tapi tidak baik kalau melaju kencang di jalan kampung, kalau ada anak-anak lewat bagaimana?" seorang lelaki tua ikut berkomentar. Dari raut wajahnya, ia nampak kecewa dengan perilaku pemuda bernama sigit itu.

Sigit hanya tersenyum, ia memendam amarah. Tak tahan, hingga akhirnya berteriak.

"Memangnya kalau sein kiri itu beloknya kiri ? Dasar sumber daya rendah ! Kalian belum pantas pakai motor, paling juga tidak lolos ujian SIM. Naik motor juga tidak pakai helm, motor kreditan saja bangga," ucap Sigit sambil membanting helmnya. Raut wajah marah nampak jelas.

Semua warga yang berkumpul terdiam. Omongan Sigit memang menyakitkan, tapi kebenarannya tidak bisa disembuyikan.

"Ibu ini mengendarai motor seenaknya, tidak pakai helm. Sein kiri ternyata belok kanan. Belum lagi itu, muatannya. Apa boleh motor dipakai buat bawa barang sebanyak itu ? Kalau mau bawa barang banyak pakai truk. Membuat penuh jalan saja. Memangnya kalau warga sekitar sini kenapa ? Bisa seenaknya pakai jalan ?"

Semua tetap diam. Sigit menumpahkan amarahnya. Kata-kata yang keluar dari mulutnya sungguh keterlaluan, setidaknya bagi orang kampung itu.

"Kau ini naik motor cepat sekali, sudah tahu kalau lewat kampung. Dasar anak muda tidak tahu sopan santun!" perempuan yang ditabrak sigit itu berkata lagi.

"Saya tidak akan menabrak kalau Ibu tidak belok kanan. Lihat itu, lampu sein Ibu belok kiri. Ibu tahu arti lampu sein tidak ? Itu bukan hiasan, itu tanda," Sigit mencoba menjelaskan soal lampu sein belok kiri yang membuat dirinya berani memacu gas motornya, "Ibu juga malah menuduh saya mau melarikan diri, seharusnya saya yang menutut,"

"Lalu bagaimana tanggung jawabmu ? Ini barang saya berantakan semua," perempuan itu menatap sinis Sigit.

"Apa ? Ini cara kalian memeras orang lain ? Membuat drama kecelakaan, padahal Ibu sendiri yang salah. Masih saja menutut ganti rugi dari orang lain, masih baik saya langsung pergi. Memangnya kuat ganti rugi motor saya yang lecet ?"

"Tapi, Mas. Marah-marah dengan orangtua itu tidak baik. Apalagi seorang ibu," ucap ibu-ibu yang menggendong anaknya.

"Ibu yang baik," Sigit memperhalus cara bicaranya.

"Ini bukan soal baik tidak baik atau sopan tidak sopan. Ketika berkendara keselamatan yang utama. Sudah ada aturannya. Kalau sein ke kiri ya beloknya ke kiri. Begitu sebaliknya. Itu satu. Kedua, kalau mengendarai sepeda motor itu pakai helm. Entah jauh atau dekat. Tiga, ada garis di jalan itu bukan hiasan, makanya kalau punya motor itu juga harus bisa menaati peraturan. Aturannya ada dan itu untuk kenyamanan bersama. Bukan kenyamanan orang-orang di dekat jalan," Sigit menjelaskan dengan nada bicara diperhalus.

"Sebentar, ada yang terlewat," Sigit belum sepenuhnya lega. Ia memikirkan baik-baik apa yang mau diucapkannya.

"Keselamatan tidak mengenal tempat. Bisa terjadi dimana saja dan siapa saja, termasuk ibu-ibu. Untuk memperjelas saja, kalau sein kiri ya harus belok kiri," Sigit menambahkan.

"Aku setuju dengan pemuda itu," seorang pemuda dengan rokok mulai berbicara.

"Benar juga. Tidak harus di jalan kota. Kalau sein kiri ya belok kiri. Pakai helm itu wajib, kita bisa jatuh dimana saja," sahut ibu-ibu yang lain.

Pemilik kendaraan yang sein kiri tapi belok kanan itu tersenyum kecut. Ia menyadari kesalahannya, tapi malu mengakui.

Argomulyo, 20 Desember 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun