Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setrika Arang Mbah Arjo

18 Desember 2022   22:30 Diperbarui: 18 Desember 2022   22:31 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

                "Ya sudah. Antar Mbah pijet dulu, nanti tak tanyakan Ibumu. Siapa tahu dipakai olehnya, tapi belum sempat izin,"

                Tito mengangguk tanda setuju.

***

                Empat puluh hari sudah berlalu, malam ini adalah malam untuk doa mengenang empat puluh hari Mbah Arjo meninggal. Banyak saudara rela datang dari luar kota untuk ikut berdoa. Mereka mengenal Mbah Arjo sebagai sosok yang bijaksana dan senang menolong. Soal kebiasaan Mbah Arjo, tidak ada yang melupakan. Semua masih ingat kalau Mbah Arjo senang memelihara burung. Mbah Arjo juga selalu mengumpulkan anak-anaknya di hari Minggu untuk makan bersama. Kalau hari Jumat, Mbah Arjo sering berbagi makanan, setidaknya untuk tetangga sekitar rumahnya. Jadi, ketika Mbah Arjo meninggal, banyak orang merasa kehilangan. Belum lagi, soal kebijaksanaan Mbah Arjo. Dia pernah bilang, "Hidup ini adalah penerimaan. Kalau sudah bisa menerima keadaan pasti mudah bersyukur. Bersyukur itu dekat dengan kebahagiaan. Orang bisa punya apa saja, tapi belum tentu bisa bersyukur. Tapi, kalau sudah bisa bersyukur, rasanya seperti punya apa saja,"

***

                Tito mulai penasaran dimana setrika arang milih Mbah Arjo berada. Bapak dan Ibunya tidak mengetahui.

                "Setrika sekarang sudah pakai listrik. Ada jasa mencuci baju dan setrika juga. Tinggal bayar, tunggu sehari langsung beres. Malahan kalau mau bayar lebih, bajunya bisa diantar juga," jawab Ibunya Tito ketika ditanya.

                "Tapi, setrika itu membuat Mbah Arjo terpleset karena mencarinya. Mungkin itu salah satu sebab Mbah Arjo meninggal. Dia tidak memakai setrika kesayangannya sejak muda," kata Tito menduga-duga.

                "Mbah Arjo itu sudah tua, usianya belasan tahun lebih tua dari negara ini. Jadi, memang sudah waktunya Mbah Arjo meninggal," Bapaknya Tito mulai berbicara.

                Semua jawaban itu tidak memuaskan Tito. Dia merasa ada hubungan antara setrika arang dengan meninggalnya Mbah Arjo. Meski alasannya karena kepleset ketika mencari.

                Hingga pada suatu pagi, Tito berjalan-jalan ke pasar loak tempat biasa Mbah Arjo pergi. Dia tidak merencanakan apa pun, hanya menikmati pagi dengan suasana berbeda. Maklum, ketika diajak Mbah Arjo ke pasar, Tito selalu menolak. Ketika sampai di salah satu lapak penjual kuningan, mendadak ada dua orang bule mengeluarkan sekoper uang dan menawar sebuah barang. Tapi, penjual mengatakan kalau barangnya belum datang dan meminta dua orang bule itu untuk kembali esok lusa. Tito makin penasaran, memangnya apa barang itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun