Cerpen Yudha Adi Putra
 Tentu tidak ada istri yang setuju kalau suaminya menganggur dan hanya memelihara burung. Tapi kenyataannya Painem berjuang menerima keadaan laki-laki bernama Manto itu, meski tiada hari tanpa omelan soal burung. Entah ada apa dalam rumah tangga mereka, istrinya sibuk bekerja dan suaminya asyik dengan burungnya.
Burung prenjak dalam sangkar milik Manto kalau bisa bicara pasti mengeluh. Tiga temannya dapat terbang bebas mencari makan, tapi dirinya hanya berdiam dalam sangkar. Manto setiap pagi memandikan burung dan mendesah kesal mendengar keluhan istrinya. Di depan rumah mereka sudah kelihatan beberapa tetangga memulai hari dengan bekerja. Ada petani bersiap dengan cangkulnya. Atau di samping rumah, ada lelaki dengan seragam guru sedang memanasi motornya sebelum pergi mengajar. Dan yang paling membuat Manto kesal adalah keluhan istrinya karena barang keperluan rumah sudah pada habis.
Keluarga itu tinggal di wilayah kehidupan dimana laki-laki itu tugasnya bekerja dan memimpin keluarga. Kehidupan yang sungguh membuat perempuan dan anak-anak mengalami penindasan, tapi itu dibalut dalam kepatuhan budaya. Tetapi, Manto memang lain. Dia bisa nyaman dengan tidak bekerja, hanya memelihara burung. Untuk keperluan hidup sehari-hari seperti makan, minum, dan kopi dicukupi oleh Painem. Painem bekerja sebagai pegawai pabrik di kecamatan lain. Setelah pagi beres menyiapkan sarapan untuk suaminya, ia berangkat ke tempanya bekerja. Kadang diantarkan oleh Manto, tapi lebih sering berangkat sendiri. Suaminya sibuk dengan burung kesayangannya. Entahlah, mungkin suaminya tidak peduli dan lebih mementingkan kesenangannya dengan burung itu.
***
Sore itu, Manto duduk mengamati burung prenjaknya, lalu istrinya menyodorkan selembar kertas. Kertas berisi tagihan hutang dan daftar belanjaan yang perlu dibayarkan. Keduanya nampak terdiam, saling bertatapan, dan istrinya nampak mulai kesal.
"Tagihan bulan ini, harga-harga naik. Aku tak punya uang. Jual saja burungmu dan mulailah cari pekerjaan. Aku tak tahan lagi dengan semua ini,"
"Hei, apa kau mendengarkan aku?" seru Painem kepada suaminya. Dia kelihatan sudah tidak sabar. Matanya mulai berkaca-kaca, lelah dengan keadaan.
"Santai saja, ini masih tanggal muda. Bukankah sebentar lagi dirimu gajian?"
"Tidak. Uangku habis untuk membayar hutangmu kemarin," perempuan itu memalingkan pandangan dari Herry. Air matanya mulai meleleh di kedua pipinya. Pipi yang dulu tak bisa lepas dari kosmetik, tapi kini tak pernah sempat merawat diri. Ia juga tak punya uang karena habis untuk mengurusi lelaki yang disebut suami. Perempuan usia tigapuluh tahunan menangis dihadapan sangkar burung prenjak.