Cerpen Yudha Adi Putra
        Ahmad awalnya tidak betah di rumah. Ada saja alasan yang membuatnya memilih kegiatan di luar rumah. Entah orangtuanya berisik karena memaksa Ahmad untuk segera bekerja. Bisa juga karena tetangganya berisik dengan musik yang tidak jelas. Begitulah alasan Ahmad mencoba kegiatan baru, menjadi guru tamu. Guru berdasarkan pengalaman Ahmad, itu pekerjaannya mengajar. Tapi, Guru juga bertemu dan mau tidak mau harus mengetahui permasalahan murid-muridnya.
        "Besok Minggu, saya berangkat ke Lombok, Ma. Saya ikut program Relawan Mengajar. Jadi nanti mengajar anak-anak di pedalaman, pasti asyik sekali," ujar Ahmad meminta izin pada mamanya.
        "Apa kamu tidak mendaftar PNS saja, bukankah ijazah S2-mu sudah cukup untuk mendapatkan posisi bagus di pemerintahan. Siapa tahu, kamu bisa dapat kerjaan di kota. Gaji dan tunjangannya lebih menjamin," saran Mamanya.
        "Tidak, Ma. Sudah banyak yang menunggu kalau bekerja di kota. Mereka pasti berharap diterima dan dapat pekerjaan layak sampai tidak sempat memikirkan bagian lain di Indonesia. Masih ada yang perlu diperjuangkan, tapi bukan berarti mereka yang tidak tinggal di kota itu hidup dalam ketertinggalan," jelas Ahmad
        "Terserah kamu saja. Tapi, kamu harus bertanggung jawab terhadap pilihanmu. Ingat, hidup ini juga memerlukan makanan, tidak melulu soal pelayanan atau pengabdian seperti yang kamu dambakan," gerutu Mamanya.
        Ahmad lalu bergegas menata kembali baju-bajunya. Ia mempersiapkan diri untuk menjadi relawan selama tiga bulan. Semua rencana belajar sudah dipersiapkannya. Harapannya, suasana di tempat baru akan lebih mendukung untuk dirinya berkembang. Tentu informasi tentang tempat penempatan juga diperhitungkannya.
***
        Tiga bulan menjadi guru tamu dalam benah Ahmad adalah perjalanan dengan penuh kejutan. Dia merasa, tiga bulan cukup efektif untuk dirinya dan tempatnya mengajar. Rencananya, sebulan pertama, dia akan bermain dengan semua hal di Lombok, tempatnya mengajar. Ia akan mengenali tempat barunya, entah budayanya sampai realita yang terjadi dalam masyarakat. Menurut Ahmad, itu penting untuk mengenali potensi belajar. Kalau tidak kenal, nanti malah bahaya ketika memberikan pendekatan belajar, bisa menjadi penjajahan.
        "Asyik, ada guru tamu baru. Dia dari mana ya, kenapa rambutnya panjang. Biasanya guru tamu itu rapi-rapi," ujar seorang siswa ketika tahu akan ada guru tamu di sekolahnya. Ia bernama Timeo.
        "Benar, dia sepertinya berbeda. Apa dia mau ikut kita melaut ya ? Boleh juga kalau diajak. Siapa tahu, dia juga senang meladang. Kita jarang sekali berangkat sekolah, kan seru kalau belajarnya sambil di ladang atau malam pas melaut," ujar Tommy. Ia nampak antusias memperkenalkan kehidupannya kalau guru tamu itu mengajar di kelasnya.
        "Halo adik-adik, saya Yudha. Saya mau bermain dengan kalian, permainan apa yang paling seru di sini ?" sapa Ahmad pada anak-anak yang tanpa alas kaki pergi menuju sekolah itu. Kebetulan itu hari Senin, jadi mereka semua berangkat. Kalau hari selain Senin, Jumat misalnya. Sekolah menjadi sepi karena murid-murid sibuk dengan pekerjaan membantu orangtua masing-masing.
***
        Bulan kedua Ahmad di tempatnya menjadi guru tamu sudah tiba. Ia mulai mempersiapkan beragam pembelajaran sesuai dengan kemauan adik-adik yang ditemuinya. Realita menjadi penting untuk dipelajari seluas-luasnya. Tanpa kabar, ia dihubungi oleh temannya karena melihat Ahmad hanya bermain saja dengan adik-adik, tidak melakukan pembelajaran di kelas.
        "Ahmad, kau sebenarnya menjadi relawan atau jalan-jalan ? Sudah lama tidak berkomunikasi, tapi hanya bisa melihat foto dan videomu bersenang-senang saja," tanya Robby, temannya kuliah dahulu.
        "Asyik sekali di sini, suasana belajarnya berbeda. Menjadi guru tamu sangat sensitif kalau berbicara soal menjadi relawan," Ahmad mulai bercerita.
        "Guru tamu itu menarik. Kalau tepat, ia dapat membawa semangat belajar karena dirinya berbeda dengan komunitas anak-anak dengan suasana baru. Lokasi penempatan memang membutuhkan orang baru sebagai motivator dan fasilitator, bukan penjajah dengan konsep pemikiran bahwa semua harus sama seperti tempat asalnya. Itu penting sekali," jelas Ahmad.
        "Kalau tidak mau belajar, merasa sudah paling pintar dan sumber daya di lokasi penempatan itu tidak sesuai. Biasanya akan berkomentar, ketimpangan nyata sekali di negeri ini. Sisi kota memperlihatkan kemajuan menurut peradaban, tapi pelosok memilih santai dengan apa yang dimiliki meski kadang merasa terdiskriminasi. Begitu, ketimpangan itu wajar, tapi tidak semua harus seperti tempat kita,"
        Percakapan itu menjadi semakin seru. Ahmad bercerita soal uniknya belajar bersama anak-anak di lokasi penempatannya.
***
        "Kak, aku senang sekali, kita bisa belajar bersama di ladang. Biasanya, kalau ada guru tamu itu hanya mengeluh karena kami tidak mau belajar di kelas," ujar seorang anak ketika Ahmad membawakan cerita waktu di ladang.
        "Asyik sekali, tidak ada hafalan yang sulit-sulit. Kita bisa mengenali apa saja di sekitar kita dengan lebih detail. Melaut sambil belajar arah mata angin sangat membantu," seorang anak membawa pancing dengan semangat bercerita.
        "Aku tidak bisa membaca sampai kelas 1 SMP. Tapi, aku senang karena bisa mengerti kenapa ada gempa bumi dan bagaimana harus bertindak kalau ada gempa di sekitar tempat ini," sapa seorang anak yang diperbolehkan Ahmad untuk bekerja ketika musim proyek tiba di dekat pantai.
        Belajar menjadi guru tamu tidak Ahmad dapatkan dengan membaca. Pengalamannya mengamati dan membaca situasi selalu dilatihnya. Semua yang dijumpai adik-adiknya adalah sekolah. Ahmad memperjelas dengan menyebutkan bahwa, "Kalau belajar dengan ikut melaut, ikut meladang. Mengiktu cara adik-adik dan masyarakatnya memandang kehidupan. Tentu akan ada gambaran luas mengenai apa itu belajar, ada sekolah yang kontekstual. Asyik kalau disebutkan sebagai sekolah kontekstual,".
        Lalu, belajarnya kapan ? Bukankah sekolah formal juga perlu ujian, sekolah formal membutuhkan gembiraan juga.
        "Kalau ada waktu luang waktu melaut atau sekembali dari ladang. Membaca dan menulis lebih menyenangkan, ada kesempatan dan muatan yang harus dikerjakan. Sebelum mengajar, tentu harus belajar terlebih dahulu seluas-luasnya, ketika menjadi guru tamu mengajar tanpa pendekatan budaya adalah penjajahan," jelas Ahmad yang ditulis dalam buku hariannya.
***
        Guru tamu, perjalanan Ahmad mencari pembelajaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H