"Asyik sekali, tidak ada hafalan yang sulit-sulit. Kita bisa mengenali apa saja di sekitar kita dengan lebih detail. Melaut sambil belajar arah mata angin sangat membantu," seorang anak membawa pancing dengan semangat bercerita.
        "Aku tidak bisa membaca sampai kelas 1 SMP. Tapi, aku senang karena bisa mengerti kenapa ada gempa bumi dan bagaimana harus bertindak kalau ada gempa di sekitar tempat ini," sapa seorang anak yang diperbolehkan Ahmad untuk bekerja ketika musim proyek tiba di dekat pantai.
        Belajar menjadi guru tamu tidak Ahmad dapatkan dengan membaca. Pengalamannya mengamati dan membaca situasi selalu dilatihnya. Semua yang dijumpai adik-adiknya adalah sekolah. Ahmad memperjelas dengan menyebutkan bahwa, "Kalau belajar dengan ikut melaut, ikut meladang. Mengiktu cara adik-adik dan masyarakatnya memandang kehidupan. Tentu akan ada gambaran luas mengenai apa itu belajar, ada sekolah yang kontekstual. Asyik kalau disebutkan sebagai sekolah kontekstual,".
        Lalu, belajarnya kapan ? Bukankah sekolah formal juga perlu ujian, sekolah formal membutuhkan gembiraan juga.
        "Kalau ada waktu luang waktu melaut atau sekembali dari ladang. Membaca dan menulis lebih menyenangkan, ada kesempatan dan muatan yang harus dikerjakan. Sebelum mengajar, tentu harus belajar terlebih dahulu seluas-luasnya, ketika menjadi guru tamu mengajar tanpa pendekatan budaya adalah penjajahan," jelas Ahmad yang ditulis dalam buku hariannya.
***
        Guru tamu, perjalanan Ahmad mencari pembelajaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H