Cerpen Yudha Adi Putra
Sekali dalam setahun, sawah Desa Genitem berubah namanya menjadi sawah Pematang Bintang. Dan hanya ada satu barisan pematang sawah yang dibiarkan tanpa hiasan pada malam itu: pematang sawah Pasar Malam.
Tidak seperti malam-malam biasanya, di mana sawah Desa Genitem sepi dan hanya satu atau dua orang petani mengecek aliran air, di hari ketika menjadi sawah Pematang Bintang, keadaannya menjadi sangat ramai.Â
Sawah Desa Genitem menjadi dipenuhi aneka lampu-lampu yang gemerlip di malam hari. Para petani menyewakan tikar untuk duduk di sawah mereka, ada yang buka angkringan sederhana, sementara di tepi jalan menuju pemantang sawah beberapa pemuda tampak berdiri menawarkan gelang dengan nyala warna-warni. Penduduk Desa Genitem sibuk dengan perannya masing-masing, seolah tidak ingin melewatkan momen indah di pematang sawah.
Antrean pengunjung berdatangan, sebab informasi mengenai sawah Pematang Bintang sudah tersebar di media sosial, bahkan satu bulan sebelum malam itu tiba. Apalagi, cuaca sedang tidak hujan, hanya dengan membayar parkir dua ribu, sudah bisa menikmati keindahan malam di sawah Desa Genitem. Sehingga banyak orang berdatangan dari desa lain, bahkan kota lain untuk menikmati sawah Pematang Bintang. Mereka rela datang di siang hari, perjalanannya menjadi menyenangkan karena ketika sore tiba di sawah, ada langit senja yang menyambut dengan ramah.
"Aku ingin liat ! Aku ingin lihat bintang jatuh ! Ada banyak harapan yang ingin aku katakan ketika saat itu tiba !" begitu percakapan pengunjung menuju sawah Pematang Bintang. Sawah dengan terasiring yang ketika musim panen selesai, berubah menjadi tempat seperti pasar malam dengan lampu warna-warni dan kesempatan beruntung untuk melihat bintang jatuh.
"Apa istimewanya duduk di pematang sawah? Bukankah itu hal biasa bagi petani, setiap hari mereka ke sawah. Lagian, sawah menjadi tempat tinggal beberapa hewan liar, kalau beruntung mungkin kau bisa dipatuk ular !" jawab temannya yang baru pertama kali ke Desa Genitem.
"Tenang, ini aman. Beda sekali, semacam menikmati romantisnya malam di desa. Asrinya desa yang jauh dari hidup tergesa. Mungkin malam di sawah seperti ini hanya terjadi sekali dalam setahun, itu juga kalau petani usai panen. Syukur mereka kalau tidak gagal panen, kita jadi mudah untuk makan.."
Memang betul, sehari-harinya sawah menjadi tempat petani bekerja. Sudah tidak jarang mereka bertemu dengan tikus, ulat, bahkan ular. Akan tetapi, suasana malam sawah ketika tidak hujan dengan pemandangan bintang jatuh menjadi berbeda. Belum lagi, ada alunan musik dari petani yang sedang bahagia karena panen melimpah.
 Jadi indahnya kesederhanaan petani desa dapat dirasakan, maka tidak berlebihan kalau malam di sawah itu disebut sawah Pematang Bintang. Ada kemungkinan besar untuk duduk dan melihat bintang jatuh dengan menikmati makanan khas pedesaan di Jawa. Dan di malam yang sudah direncanakan itu, sawah berubah menjadi tempat hiburan layaknya pasar malam, langit selalu cerah, bintang dapat dilihat, ia seakan menyambut datangnya berbagai orang yang duduk di pematang sawah. Sejak sore tiba, pemuda desa sudah menyiapkan banyak hal untuk menikmati suasana malam dengan bintang jatuh di pematang sawah.
Ada pemuda desa yang datang dengan jaket kumal dan topi seperti Umbu Landu Peranggi, sesaat sebelum sawah itu penuh pengunjung dengan gelang yang menyala warna-warni selalu bertanya dan melihat pematang sawah. Ia berambut panjang dan membawa kurungan kecil berisi burung prenjak mendatangi tempat menuju pematang sawah.
"Maaf, ini ada kegiatan apa ya. Apa sawah ini akan menjadi perumahan?"
"Ini akan ada malam kreasi dan melihat bintang jatuh, Mas."
"Untuk apa di sawah ? Apa itu sama dengan dongeng petani yang meramaikan sawah ketika orang bosan dengan kota, seperti di cerpen saya ? Kalau benar seperti itu, akan saya laporkan penulis kisah ini sebagai tindakan meniru. Tidak ada proses kreatifnya dalam memanfaatkan sawah."
"Oh berbeda sekali, Mas. Bagi penikmat pematang sawah, pengunjungnya memang suka sawah dan mereka tidak berlagak seperti turis, Mas. Tidak seperti dalam ceritamu, Mas."
"Wah, menarik ya. Kenapa tidak ada burung prenjak di sini, bukankah sawah selalu ada burung prenjak mencari belalang kecil ?" kemudian pemuda tadi melepaskan burung yang ada di kurungan kecil yang dibawanya. Pemuda yang laing saling bertatapan dan mereka bertanya-tanya.
"Siapa sih pemuda itu, kenapa dia bawa kurungan berisi burung prenjak dan malah dilepaskan burungnya ?"
"Oh, itu Yudha Adi Putra. Nama penanya perlukuan, pecinta burung prenjak."
***
27 November 2022
Di dekat kurungan prenjak, Roy semoga kau senang dengan ceritaku. Makananmu akan penuh setiap hari. Tenang, kekasihku akan membelikannya untukmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H