Stunting dan Gerakan Literasi Masyarakat
Yudha Adi Putra
Pemelihara Burung Prenjak
Setiap ibu tentu memiliki harapan terbaik untuk anak yang dilahirkannya. Anak dengan pertumbuhan baik, memiliki tubuh yang sehat, dan gizi tercukupi menjadi dambaan banyak orang tua.Â
Akan tetapi, tidak semua harapan tersebut dapat terwujud di tengah berbagai tantangan dalam kesehatan. Ada kemungkinan untuk anak mengalami stanting. Realita itu sering tidak disadari oleh ibu dan masyarakat pada umumnya.Â
Menurut saya, faktor minimnya literasi turut berpengaruh. Apalagi, informasi kesehatan dan daya kritis untuk mengolahnya menjadi kebutuhan masyarakat. Salah satu upaya dalam memperoleh informasi adalah dengan membaca. Menarik untuk memperhatikan minat baca masyarakat Indonesia, dalam data Badan Pusat Statistik tahun 20202 disebutkan bahwa tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia secara keseluruhan berada di angka 59, 52 dengan durasi membaca 4-5 jam per minggu dan 4-5 buku per triwulan.Â
Tentu itu didukung dengan keberadaan mahasiswa dan akademisi. Kebiasaan literasi membaca untuk memperoleh informasi kadang menjadi kurang kritis, terutama untuk memprioritaskan informasi yang penting.Â
Itu membawa dampak dalam pengetahuan tentang kesehatan, dalam hal ini mengenai harapan ibu akan bayi yang dilahirkan. Sehingga dalam konteks persoalan stunting, perlu mengembangkan gerakan literasi yang peka dengan kebutuhan masyarakat.Â
Gerakan literasi itu memberi ruang dan informasi yang dapat dipercaya oleh masyarakat terkait informasi penting, seperti stunting dan bagaimana meresponnya.
Stunting menjadi persoalan bersama dalam keberagaman masyarakat, tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu yang melahirkan saja. Ada kaitannya dengan kebiasaan membaca dan mengolah informasi dari masyarakat.Â
Memperhatikan kaitannya membaca untuk mendapatkan informasi secara kritis dengan persoalan harapan anak dapat lahir dengan sehat ada hal menarik. Prioritasnya untuk terbebas dari stunting.Â
Menurut Arief (2022), angka prevalensi stunting Indonesia pada tahun 2021 masih sebesar 24, 4 persen sedangkan standar yang ditetapkan oleh WHO adalah 20 persen.Â
Sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat stunting di Indonesia masih tergolong tinggi, bahkan melebihi standar batas yang ditentukan oleh WHO. Untuk pemetaan wilayahnya juga beragam.Â
Berdasarkan data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, terdapat 7 provinsi yang memiliki pravalensi stunting tertinggi, antara lain Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Aceh. Tidak menutup kemungkinan, perkembangan stunting dengan konteks kota juga muncul.Â
Ciri dari anak yang stunting adalah tinggi dan berat badan lebih kecil dibandingkan dengan anak seusianya. Anak yang mengalami stunting mudah sekali terkena gangguan penyakit, terutama pada tulang.Â
Hal ini menjadikan anak stunting bermasalah dalam tumbuh kembangnya. Menariknya, ada penelitian yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (2021), bahwa ibu dengan tinggi kurang dari 150 cm memiliki kencenderungan melahirkan anak dengan keadaan stunting.
Situasi seperti itu dihadapi oleh masyarakat Indonesia dengan keberagamannya. Bukan berarti mereka yang berada di wilayah kota tidak ditemui kasus stunting. Kesibukan ibu dalam bekerja, berkaitan dengan waktu untuk memberikan ASI pada bayi mereka.Â
Kebutuhan gizi yang baik melalui ASI dapat menjadi upaya antisipasi dari stanting, lalu ketika ibu yang menyusui sibuk dengan kegiatannya tentu akan menjadikan anak memiliki risiko terkena stunting. Itu terjadi ketika pemberian ASI tidak sesuai dengan kebutuhan gizi dari bayi.Â
Pengetahuan mendasar berkaitan dengan stunting menjadi urgensi dalam merespon persoalan stunting di Indonesia. Kemunculan berbagai gerakan literasi dapat menjadi alternatif pegiat informasi. Ketika bidan menjadi garda terdepan dalam kesehatan ibu hamil dan menyusui, tentu perlu didukung dengan kesadaran literasi masyarakat.Â
Literasi menjadi penting untuk memfokuskan pengetahuan mengenai kesehatan masyarakat. Bentuk gerakan literasi tentu dapat disesuaikan dengan konteks lokal, misalnya ketika di konteks Yogyakarta dapat dikembangkan angkringan literasi.Â
Ada muatan lokal dengan daya kreasi untuk mendukung masyarakat memiliki kegemaran literasi yang cakap. Kerja sama antara gerakan literasi dengan perpustakaan menjadi perlu, terutama berkaitan dengan pengadaan buku serta penunjang kegiatan literasi.
Salah satu cara merespon stunting adalah dengan mengkreasikan gerakan literasi masyarakat. Masyarakat, tidak hanya ibu yang akan hamil dan melahirkan dapat menjadi mengenal informasi dengan membaca di berbagai gerakan literasi.Â
Pengolahan rasa ingin tahu dan informasi yang dapat dipercaya menjadi eksplorasi masyarakat secara mandiri. Ketahanan masyarkat dalam menghadapi stunting menjadi lebih menyeluruh, gerakan literasi dapat membantu hal ini.Â
Ketika perpustakaan daerah menjadi sulit diakses karena jauh atau terlalu umum. Dapat mengembangkan gerakan literasi dalam konteks desa, semua pihak dari masyarakat dapat saling berbagi informasi dalam gerakan literasi.Â
Ketika berbicara literasi, tentu tidak hanya pada kasus stunting saja. Ada kemungkinan menjadikan gerakan literasi sebagai daya ubah pandangan masyarakat terkait banyak hal dengan kebiasaan membaca. Membaca menjadi pembebasan masyarakat dari pandangan yang merugikan.Â
Perkembangan informasi dapat terasah. Dalam masyarakat yang beragam, ada kesempatan berbagi di tengah perbedaan. Tentu dalam rangka menuju Indonesia bebas stunting.Â
Ada kerjasama dan kedaulatan masyarakat dengan gerakan literasi. Literasi menjadi pondasi penting dalam merespon fenomena stunting dan berbagai informasi kesehatan yang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H