Menurut Arief (2022), angka prevalensi stunting Indonesia pada tahun 2021 masih sebesar 24, 4 persen sedangkan standar yang ditetapkan oleh WHO adalah 20 persen.Â
Sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat stunting di Indonesia masih tergolong tinggi, bahkan melebihi standar batas yang ditentukan oleh WHO. Untuk pemetaan wilayahnya juga beragam.Â
Berdasarkan data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, terdapat 7 provinsi yang memiliki pravalensi stunting tertinggi, antara lain Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Aceh. Tidak menutup kemungkinan, perkembangan stunting dengan konteks kota juga muncul.Â
Ciri dari anak yang stunting adalah tinggi dan berat badan lebih kecil dibandingkan dengan anak seusianya. Anak yang mengalami stunting mudah sekali terkena gangguan penyakit, terutama pada tulang.Â
Hal ini menjadikan anak stunting bermasalah dalam tumbuh kembangnya. Menariknya, ada penelitian yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (2021), bahwa ibu dengan tinggi kurang dari 150 cm memiliki kencenderungan melahirkan anak dengan keadaan stunting.
Situasi seperti itu dihadapi oleh masyarakat Indonesia dengan keberagamannya. Bukan berarti mereka yang berada di wilayah kota tidak ditemui kasus stunting. Kesibukan ibu dalam bekerja, berkaitan dengan waktu untuk memberikan ASI pada bayi mereka.Â
Kebutuhan gizi yang baik melalui ASI dapat menjadi upaya antisipasi dari stanting, lalu ketika ibu yang menyusui sibuk dengan kegiatannya tentu akan menjadikan anak memiliki risiko terkena stunting. Itu terjadi ketika pemberian ASI tidak sesuai dengan kebutuhan gizi dari bayi.Â
Pengetahuan mendasar berkaitan dengan stunting menjadi urgensi dalam merespon persoalan stunting di Indonesia. Kemunculan berbagai gerakan literasi dapat menjadi alternatif pegiat informasi. Ketika bidan menjadi garda terdepan dalam kesehatan ibu hamil dan menyusui, tentu perlu didukung dengan kesadaran literasi masyarakat.Â
Literasi menjadi penting untuk memfokuskan pengetahuan mengenai kesehatan masyarakat. Bentuk gerakan literasi tentu dapat disesuaikan dengan konteks lokal, misalnya ketika di konteks Yogyakarta dapat dikembangkan angkringan literasi.Â
Ada muatan lokal dengan daya kreasi untuk mendukung masyarakat memiliki kegemaran literasi yang cakap. Kerja sama antara gerakan literasi dengan perpustakaan menjadi perlu, terutama berkaitan dengan pengadaan buku serta penunjang kegiatan literasi.
Salah satu cara merespon stunting adalah dengan mengkreasikan gerakan literasi masyarakat. Masyarakat, tidak hanya ibu yang akan hamil dan melahirkan dapat menjadi mengenal informasi dengan membaca di berbagai gerakan literasi.Â