Sebuah Cerpen Karya Yudha Adi Putra
Era digital,
Tidak kusangka masa ini memiliki kelebihan yang luar biasa. Semua tatanan kehidupan mengalami perubahan. Caraku berteman dan berkomunikasi menjadi berbeda. Semua dipermudah dengan komunikasi virtual.
      "Bagaimana mereka yang tidak bisa mengakses internet ya, Bu ?"
      "Apa ? Siapa ?"
      "Semua saat ini harus pakai internet. Semua menuju era digital, hampir semua hal memerlukan internet dan dipermudah karenanya."
      "Tidak, bagaimana dengan anak tukang becak yang tidak bisa akses internet ?"
      "Ya bagaimana, mereka pasti ketinggalan. Kita tidak menunggu, tapi era digital perlu disambut dan perkembangan terus terjadi."
Aku tersenyum kagum. Ibuku tidak berubah. Ia perempuan yang cerdas dengan pemikiran yang selalu menuju ke arah masa depan. Aku senang dengan setiap pendapatnya. Tapi, tidak jarang ketika orang mendengarkan omongannya akan terasa menyakitkan. Apalagi ketika berbicara sering menyudutkan orang lain, terutama pihak yang tidak berdaya karena keadaan.
      "Yoel mau ikut seminar, Bu. Sekarang banyak sekali seminar daring ya, menurut ibu bagaimana dengan fenomena itu ?"
 "Betul, Bu. Sekarang seolah informasi tersebar bebas. Tidak terbatas. Malah informasi yang mendatangi kita, tidak perlu mencari. Muncul sendiri, sebagai notifikasi lagi. Seolah tiada hari tanpa notifikasi, Bu" begitu jawab kakakku ingin ikut berbicara dengan ibu ketika sarapan.
"Kalau begitu, semua orang ingin didengar. Semua berbicara, kalau sudah seperti itu ya cocok. Cocok yang mana. Sekarang eranya malah mendengar apa yang ingin didengar. Waktu bapak masih muda, untuk bisa ikut seperti itu harus berjuang. Bahkan, bertemu dengan pembicara yang menyebalkan. Ketika sekarang, ikut seminar saja bisa ditinggal makan atau kesibukan lain," timpal bapak tidak mau kalah menjelaskan.
Dan ibu seperti mendapat dukungan dari anak-anaknya. Ia tersenyum, meski aku yakin keresahannya sebagai dosen tidak membuatnya tinggal diam ketika ada penindasa, apalagi ketimpangan karena perkembangan era digital. Sementara aku, aku semakin asyik mencerna diskusi pagi ini, sebelum ibu berangkat mengajar.
"Tapi, apa ada temanmu yang tidak bisa ikut sekolah daring karena tidak ada peralatan yang mendukung?" Tak ayal Ibu mulai penasaran, aku tahu hatinya mulai resah.
"Mungkin kalau temanku tidak ada bu, tapi kemarin waktu mendengar Mbak Flory KKN. Katanya ada banyak siswa yang tidak melanjutkan sekolah, alasannya karena tidak ada perangkat untuk sekolah daring."
      "Bagaimana kamu bisa tahu?"
"Ah itu.." Pertanyaan dari ibu sungguh membuat aku sakit hati. Ia seolah meragukan aku, belum lagi tentu dia tidak senang ketika aku menyebut nama Flory.
***
Aku sedikit paham kenapa ibuku melarangku untuk pacaran dengan Flory. Ibuku pernah dikecewakan dengan sebuah hubungan. Parahnya, itu membuat dia kehilangan banyak impiannya. Pacar ibu ketika masih mahasiswa merupakan orang yang posesif, jahatnya ibu malah dikhianati. Makanya, sekarang ibuku sebagai dosen mengajar dengan keras. Sekarang, ibu menjadi istri dari seorang pendeta sederhana di desa dan mengajar di sebuah universitas negeri. Ketika kelas daring, semua wajib membuka kamera menunjukkan wajahnya. Kalau tidak demikian, ibuku tidak segan untuk menuliskan ketidakhadirannya.
"Silakan dilanjutkan presentasi kelompok selanjutnya, bagi yang tidak menyalakan kamera. Saya akan remove, tidak hadir ya kalian. Alasan sinyal ?"
Aku mendengar cara ibu mengajar sebagai dosen, adanya pandemi membuat ibu mengajar di rumah. Kamarnya penuh buku, laptop menyala entah kapan dimatikan. Ketika ibu meminta mahasiswanya untuk menyalakan kamera, berbagai alasan aku dengar. Ada yang soal sinyal, perangkat tidak mendukung, hingga demi bisa hemat kuota data.
      "Maaf, Bu. Sinyal di dusun saya jelek sekali, Bu"
      "Bu, saya izin mematikan kamera ya. Untuk hemat kuota, Bu. Uang bulanan saya dipotong karena orang tua sedang krisis, Bu"
      "Bu, kamera saya rusak. Jadi gambarnya tidak terlihat dengan jelas,"
      Berbagai alasan mahasiswa aku dengar, kadang aku ingin tertawa. Tapi, melihat wajah serius ibu. Aku menahannya.
***
Dalam kesempatan berteman dengan Flory. Aku sering bertanya tentang banyak hal, terutama soal pendidikan. Flory senang dengan isu pendidikan. Mungkin itu juga yang membuatnya mengabdi sebagai guru saat ini.
"Mbak Flory, kuliah itu untuk apa sih. Saat ini sudah era digital, semua informasi bisa kita peroleh di internet, Mbak. Ngapain repot-repot kuliah, kalau mau dapat sertifikat bisa lewat seminar ?" tanyaku pada Mbak Flory ketika bertemu di angkringan.
      "Hem, supaya bisa kritis," jawabnya singkat tanpa memperhatikan aku.
      "Kritis bagaimana to, Mbak ?"
"Kalau kita kuliah, kita bisa mengkritisi informasi yang kita terima. Ada rasa penasaran dan kemampuan bertanya untuk menyaring informasi yang ada di era digital. Benar katamu, kalau informasi bisa dengan mudah kita dapat saat ini. Tapi, untuk meresponnya kita perlu kritis kan ?"
"Supaya apa, Mbak. Sekarangkan kita bisa membaca apa yang mau kita baca. Mendengar apa yang mau kita dengar. Kenapa seperti itu ?"
"Kalau kita kritis, kita akan mudah maklum dengan banyak hal. Ada rasa yang berbeda. Gampang untuk mengolah diri dan informasi. Karena kita kritis di era digital, kita tidak mudah bingung dengan banyaknya informasi yang beredar. Ada informasi diterima, kita akan dengan kritis merespon. Ini dari mana sumbernya ? Kapan ? Untuk siapa ?"
Aku bersemangat mendengarkan penjelasan Mbak Flory. Entah kenapa, aku mulai jatuh hati dengannya. Apalagi, dia senang dengan anak-anak. Rasanya nyaman ketika melihat dia mengajar. Waktu Mbak Flory KKN, ada banyak kisah yang diceritakan padaku. Kisah yang berkesan adalah ketika ada anak yang berhenti sekolah karena tidak memiliki perangkat untuk sekolah di era digital.
***
Kadangkala ibu mengirimkan informasi lewat percakapan di media sosial. Tapi hanya potongan video dan gambar saja. Begitulah komunikasi era digital sekarang. Pendidikan seperti visual saja, pengalaman akan jumpa nyata menjadi sangat langka. Berapa banyak kehilangan momen menatap antara mata dengan mata, ketika asyik dengan layar.
      "Yoel, nanti ibu pulang terlambat ya. Kamu tolong beli makan untuk kita," pesan ibu masuk ke ponselku.
Untuk selanjutnya, aku tidak membalas. Aku bergegas menuju tempat yang berjualan makanan. Membeli beberapa makanan favorit kesukaan keluargaku. Sebelum melangkah keluar rumah, bapakku berkata.
      "Kenapa tidak pesan saja, nantikan bisa diantarkan. Sekarang ada promo sate kambing. Kamu belum cek ya,"
Bapak ada benarnya juga. Sekarang sudah era digital. Semua bisa dilakukan dengan bantuan teknologi, bahkan memesan makanan. Asyiknya lagi, bapak bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu. Seperti yang aku lihat sore itu. Laptopnya menyala rapat gereja. Ponselnya ada pertemuan daring persiapan reuni sekolah. Era digital hadir dengan mempermudah perjumpaan.
***
Seminggu sudah aku mengikuti seminar daring. Tentang apa saja, dari ekonomi hingga isu mengenai alam. Semua dialog terjadi. Perjumpaan di era digital terjadi dalam nuasa visual. Ibuku dalam kekesalannya karena mahasiswanya tidak mau membuka kamera ketika mengajar. Mulai mengungkapkan kesan.
"Teman-teman, percayalah. Tidak ada yang dapat menggantikan perjumpaan langsung secara fisik. Perjumpaan dimana mata bertatap dengan mata. Meski perkembangan teknologi semakin menolong kita untuk mempermudah. Tapi, kalian sebagai mahasiswa harus bertanggung jawab dengan diri sendiri. Persiapan untuk menjadi bekal kalian nanti," ibu menasehati mahasiswanya dalam kelas sore ini.
Aku terkesan dengan ibu, kepeduliannya tergambarkan dalam berbagai ungkapan. Entah untuk perasaan yang dirasakannya. Luka seperti apa yang membentuk dan menjadi alasan seperti itu.
      "Era digital menurut ibu bagaimana ?" aku bertanya setelah ibu selesai mengajar.
      "Bagaimana apanya ?"
      "Belajarnya, kadang sulit sekali bisa menikmati apa itu belajar ketika hanya berhadapan dengan layar,"
"Kamu kalau mau menyindir bilang saja, kalau aku seumuran sama kamu dulu. Setiap kesempatan ya digunakan dengan baik. Memang, sekarang belajarnya secara visual. Tentu ada tuntutan dan perkembangan yang berbeda. Kita harus punya kompetensi sesuai dengan era digital. Kepekaan menjadi perlu meski kita berhadapan dengan teknologi," jelas ibu dengan membereskan mejanya.
      "Era digital berarti harus punya kompetensi digital juga. Cakap literasi digital juga ya Bu"
      "Tepat,"
Itulah kata-kata yang berkesan dari ibuku saat aku berusaha menikmati perubahan belajar di era digital. Ketika aku boleh bertemu dengan temanku langsung, sekarang melalui virtual. Akibat terlalu nyaman dengan itu. Aku mengesampingkan perkembangan. Samar-samar masih ragu, pertanyaan dalam diri bahwa dalam era digital ini mau jadi apa nanti diriku ?
Untuk Jossephine Daniella Iki
Purbalingga, 19 Juli 2022
00:30
Yudha Adi Putra, penulis
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI