Fajar sudah menyapa, bukannya membuka mata, raga enggan beranjak. Semua tampak sama petang maupun senja hanya ada kemotonan. Bergegas hanya ada dalam hayalan, menelusuri hanya ada dalam imajinasi. Ahhh pagiku datang kembali.
"Sengggg, waktumu sudah dipatuk ayam berjengger. Â Kenyangkan saja dia, rebahkan badanmu."
Itulah sarapan pagi paling ampuh mengaktifkan saraf-saraf dikepalaku.
"Iyaa ibu, iyaa"
pekikku sambil mengambil kacamata dibawah lampu pion yang panasnya menyengat jika terkena kulit.
Aku beranjak dan membuka gorden putih yang menonjolkan kemegahannya tepat dihadapanku apalagi tampak cahaya sang surya yang tak sabar segera masuk memenuhi ruang dikamarku. Aku membuka jendela tampak adanya pemandangan khas, pohon tua yang masih tumbuh kokoh, variasi bunga yang semakin hari semakin bertambah memenuhi halaman, dan gerbang yang tetap pada pendiriannya, tertutup rapat tak menunjukkan adanya kedatangan ataupun kepergian. Begitulah masa menjenuhkan, ketika kaki tak bisa menendang dan mengoper bola, ketika tangan tak bisa menyentuh barang-barang disekitar jalan dan mall.
Pandemic ini sangat menyebalkan, ada banyak hal yang kutinggalkan tanpa pertanggungjawaban. Ya, Aku adalah seorang pria muda yang berhasil melestarikan budaya di desaku, dengan membangun sebuah museum mini khas batak. Museum yang kubangun dari sederhana hingga lebih menarik, museum yang tadinya tidak diminati malah menjadi tempat teramai, museum yang membangun semangat para pemuda-pemudi untuk tetap mencintai adat dan sejarah sukunya. Museum Artabat atau museum arta batak, itulah nama yang kusematkan pada gedung miniku tersebut. Kala tak terjadi pandemic aku slalu membersihkan peninggalan sejarah yang berkaitan dengan suku batak khususnya batak toba, mulai dari parang, ulos, rumah miniature batak, pakaian adat, topi, alat music dan lain sebagainnya. Membersihkan dan merapikan benda-benda tersebut merupakan suatu kebanggan sendiri bagiku karna dapat melestarikan budaya batak dengan beberapa bukti barang-barang suku batak dan informasi terkait barang-barang tersebut. Tidak dipungkiri banyak pula turis yang datang dan mampir untuk mengunjungi museum artabat. Bukan sekedar melihat saja, pujian pun turut terlontar dari berbagai pengunjung yang merasa kagum akan kelestarian budaya batak. Museumku menjadi museum yang paling diminati pengunjung di desaku.
Ahhh ingatanku terpulihkan.
***
"Senggg"
"Iyaa ibu aku sudah bangun" sambil menuruni tangga aku hendak merayu lagi
"Bu, besok adalah hari spesial bagiku, bagi museumku"
"jangan dulu seng, tunggu sedikit pulih"
Belum kelar berujar, ibuku seakan tahu isi pikiran anak satu-satunya ini.
"tapi bu, ini hari jadi museumku, museum kita. Aku hanya ingin mengadakan perayaan kecil-kecilan, dengan tamu seadanya yang berkontribusi dalam pembangunan museumku".
"tidak seng, tidak. Kau tahu sendiri mereka orang-orang besar yang berulangkali berpergian hingga keluar negeri. Apa kau tak takut jika mereka dapat menimbulkan awal gejolak"
"mereka semua pastinya menjaga diri, menjaga protocol kesehatan. Aku tak pernah mendengar kabar buruk tentang mereka".
"orang mana seng yang mau menyebar bahwa ia sakit, apalagi jika terkena virus. Smua pasti ditutupi jadi gosipan para tetangga nantinya"
"mengapa ibu sangat tidak mengerti dan melihat sisi positifnya"
"ibu hanya tidak ingin desa ini tercemar karna acaramu, karna kedatangan tamumu. Kalau sudah kena kamu bisa mengatasinya sendiri?. Sudahlah urungkan saja niatmu itu, berdoa pada Tuhan agar tahun depan kau bisa merayakannya dengan meriah"
Aku hanya terdiam dan tak ingin membantah lagi, benar perkataan ibu ini masih dalam kondisi yang tidak memungkinkan.
Percakapan diruang makan pun selesai ketika aku meneguk segelas jus jeruk yang hambar terkena tenggorokannku.
***
Kesepian dalam hayalan, tersentak karna deringan seluler genggamku.
Temanku yang berperan dalam keberlangsungan berdirinya museum Artabat menelfon, ia menanyakan rencana selebrasi, dia seakan mengerti bagaimana jawabanku dengan menyarankan membuat perayaan melalui webinar, jalan yang terbaik adalah hal tersebut. Aku mulai beranjak membuat video terkait pelestarian budaya batak, mencari narasumber yang terpercaya dan membuat form perndaftaran webinar. Aku menghabiskan hari dengan duduk dihadapan monitor sambil mengetik berbagai hal. Aku berharap ini jalan ninja yang tepat untuk tetap melestarikan budaya batak. Aku juga berharap akan hari esok agar acara webinar terjalin dengan lancer dan meriah. Meski pandemic masih merajalela tetapi kreatifitas dan peluang tidaklah tertutup. Aku menyadari pesan ibu ketika aku tetap sehat apapun bisa kulakukan, sehari tidak bertemu dimasa pandemic akan memberi 1000 pertemuan setelah berakhirnya pandemic.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H