Kelak, komunitas yang matang oleh pengalaman bergerak dan mengorganisir diri tersebut akan meningkat menjadi sebuah gerakan bersama yang melampaui solidaritas karikatif ke arah solidaritas kesadaran "struktural" dalam rangka membentuk "Masyarakat Budiman" di masing-masing komunitas.
Jika diibaratkan, gerakan "Masyarakat Budiman" ini menyerupai gerakan makhluk anarkis bernama semut. Semut, kata Widi Yarmanto, "bekerja secara serius, terpola pada sistem dan disiplin dalam bertindak, serta punya rasa setia kawan yang tinggi. Jika hak dan kebebasannya dipasung, mereka melawan dan berteriak. (Gatra, 29 Juni 2001)
"Masyarakat Budiman", adalah sebuah perumpamaan dalam kebangkitan masyarakat sipil berbasis komunitarianisme. Ia mempercayai bahwa nilai-nilai lama yang sudah ada dalam masyarakat setempat yang kemudian bisa diusung ke pentas global,-sebagai tonggak kematangan dari apa yang sering disebut sebagai glokalitas.
Sebagaimana pendapat Anand Krishna, glokalitas berarti, "melokalkan globalisasi tidak sekedar menerjemahkan setiap hal yang masuk namun menciptakan sendiri sesuai dengan budaya setempat sehingga mampu memperkuat integrasi nasional." (Republika, 24 September 2006).
Kita bisa berandai, ajaran-ajaran produk asli lokal (baca; nasional) yang memiliki bobot intelektual tinggi semisal ajaran Trisakti-nya Bung Karno (Berdaulat secara politik, ekonomi dan budaya) sebentar lagi akan menguak kembali dalam pentas nasional di era global sekarang ini.
So, glokalisasi dengan "Masyarakat Budiman" (misalnya) bisa jadi diharapkan menjadi dewa penolong bagi negara gagal seperti Indonesia.
Faiz Manshur, pegiat gerakan lokal. Pemimpin Redaksi Stanplat dan Pengurus Perkumpulan Independen Komunitas Temanggungan (PIKATAN).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H