Untuk radikalisasi pertama tentu tak usah dilihat sebagi potensi kebaikan, sedangkan untuk jenis radikalisasi yang kedua barangkali kita perlu menggelar karpet merah untuk menyambut kehadirannya.
Kalaupun rujukan pada berbagai kamus bahasa Indonesia anarki disebut sebagai chaos (kekacauan), tidak berpegang pada undang-undang dan ketertiban, maka kita pun bisa memaknai lebih detail dari kekacauan sebagai pengacau yang menindas, yakni kapitalisme global atau pemerintahan yang korup.
Kekacauan yang diperlukan di sini adalah gerak meruntuhkan dominasi dan hegemoni pasar yang setiap detik saat setiap waktu dikhotbahkan melalui media massa. Perlawanan jalur kekacauan ini diyakini oleh para kaum anarkis sebagai upaya melawan khotbah-khotbah sesat kapitalis, termasuk khotbahnya para politisi yang gemar beriklan di media massa.
Semut Budiman
Anarkisme yang muncul akhir-akhir ini barangkali memang masih terlalu dini untuk diharapkan sebagai sebuah gerakan emansipasi mengingat tingkat kematangannya baru memasuki babak kreasi.
Namun, bagi sebagian orang yang memiliki kesadaran maju dalam hal pemanfaatan internet, buah geraknya sudah bisa kita lihat sebagai penghasil komunitas-komunitas sosial positif yang banyak memberikan kontribusi kepada masyarakat.
Beberapa komunitas kaum migran asal daerah-daerah yang berada di Jakarta misalnya, mampu berbuat banyak berupa kontribusi sosial maupun karikatif di masing-masing kampung halamannya.
Derap gerakan anarkis memiliki potensi untuk diarahkan sebagai kekuatan sipil berbentuk komunitarianisme. Sebagaimana yang jamak dipahami, komunitarianisme adalah gerakan individu yang berhimpun terbatas yang memiliki perhatian untuk kebaikan dan kesejahteraan bersama. Model gerakan yang nyaris tidak memiliki watak birokratisme ini memiliki dua keunggulan, yakni efektifitas gerak dan tahan dari godaan kooptasi organisasi mainstream, negara maupun kapital.
Potensi komunitarianisme itu bisa dilihat dari munculnya nilai-nilai lama yang selama ini terbenam, bahkan mati tergusur badai globalisasi. Dengan menguatkan identitas dan semangat primordialnya, masing-masing kelompok justru mampu menunjukkan nilai-nilai positif seperti gotong-royong, guyub kebajikan, kreasi lokal dengan kemasan global dan berbagai solidaritas sosial lain yang pada era sebelumnya tidak kita temukan.
Cepat atau lambat, gerak-gerak tersebut akan menguat dan menjadi peta politik, bahkan peta ekonomi yang lepas dari patok geografis. Ini adalah potensi yang kelak bisa mengarah pada kemajuan berupa gugus masyarakat yang memiliki idealitas untuk menjadikan masyarakat menjadi lebih baik.
Ide asli nusantara berupa "Masyarakat Budiman" misalnya, penting dihadirkan dalam rangka proses penguatan masyarakat sipil berbasis komunitarianisme. Tentu saja, "Masyarakat Budiman" yang saya maksud di sini bukan merujuk pada komunitas tertentu,-apalagi sosok tertentu seperti Budiman Sudjatmiko atau Dr Arief Budiman,- melainkan substansi dari kemajuan kelompok-kelompok anarkis liyaning liyan yang sedang saya sebut di atas.