Malam di Situ Gunung adalah salah satu malam dalam kehidupanku. Melengkapi malam di sisi pantai Ujung Genteng. Atau malam horor di Gunung Sanggabuana, mungkin juga malam romatis di atas bagang tengah laut Pulau Seribu.
Duduk sendiri di dalam tenda sambil memandang tangkai pancing selama berjam-jam. Tampak air menghembuskan asapnya, berjalan melayang tipis bersiuran. Kutunggu bulan bersinar menyapa dan bercanda keluar dari kegelapan.
Namun yang datang kilat dan gemuruh guntur, disertai rintik hujan yang mencoba menggapai wajah. Di kanan dan kiriku terdengar suara-suara binatang malam yang saling bersahutan, berulang-ulang. Sedang Kunang-kunang berterbangan dari satu pohon ke pohon lainnya. Cahayanya kelap kelip menerangi sejenaknya kegelapan.
Diujung sana, merah marun lampu badai menyala dari tenda pemancing. Menambah warna-warni dinamika malam. Pohon-pohon begitu angkuh menjulang memagari danau. Namun sepertinya merekapun kedinginan, terlihat hembusan kabut putih melekat di pucuk tertingginya.
Jauh dari Jakarta, aku berasal. Mencoba memeluk dingin sikapmu, menyelami kecantikanmu. Di sini aku sendiri. Menembus kabut putih selubung tubuhmu. Mencari-cari cinta dari pancaran bulanmu. Lama untuk kukatakan ini, bahwa aku mencintaimu. Ingin kuhabiskan sisa hidupku bersamamu.
Menjernihkan mata dan pendengaranku, seandainya nanti kita berjodoh. Hanya Tuhan yang tahu. Pemikat hatiku dari tiga kota yang pernah kutemui. Kamu yang ada disini, dia yang di puncak sana dan dirinya yang berada di Bandung sana. Seandainya salah satu dari kalian adalah belahan jiwaku, sepertinya malamku akan hening. Tidurku akan lelap dibalik selimut hangat. Dan hembusan putihnya nafasku akan bermain dengan sinar mentari di pagi hari.
Kutak tahu cintaku ada dimana, terserah kalian yang memilihku. Aku hanyalah lelaki lemah. Kuendapkan semua rasa ini hanya dalam hayalan, yang selalu terbang ibarat kelelawar itu. Tak terasa rangkulanmu semakin erat, membuatku semakin menggigil. Kutarik kain hangat ini menutup leherku. Cerita yang selalu berulang, kesendirian datang menghampiri.
Hujanpun turun lagi membuat percikannya bermain-main di wajah, semakin dalam aku berlindung. Seandainya dia ada di sini dan mengatakan aku akan mendampingi dimanapun engkau berada. Muda tua tidak perduli, karena aku belahan jiwamu. Penopang tulangmu yang telah lama menghilang, sejak aku dilahirkan.
Matamu yang hitam dan bulat memancarkan pandangan yang penuh kasih. Tampak sedang memandang gugusan bintang di atas sana. Di ujung jembatan kayu yang menjorok ke tengah danau itu engkau berdiri. Selendang biru terbuat dari wol melingkar di leher seakan ingin melindungi dari dingin yang menerpa.
Cukup lama kamu berdiri mematung di sana. Tampak bayangan tubuhmu menggores kayu, meninggalkan sedikit kegelapan. Memberikan siluet tubuh elok sempurnanya jasad. Kecantikan wajahmu seakan bersaing dengan jelitanya sang bulan. Sinarnya yang lembut merengkuh malam di sekitar danau, menggapai lembutnya rambut hitam itu. Aku hanya bisa terpana, memandang keindahan ini.
"Rona, sepertinya waktu semakin berlalu. Angin malam semakin menusuk tubuh kita. Biarlah kita mengalah. Tinggalkan semua keindahan ini. Mari kita menghangatkan tubuh dalam selimut hangat", ucapku.
"Tunggulah sejenak Lang. Aku ingin menghabiskan semua kecintaanku akan lukisan malam yang indah ini. Berilah aku waktu sejenak bermesraan dengan dekapan cahaya bulan ini. Tidak setiap waktu aku menghirup dingin dan beningnya aroma pepohonan ini", jawabmu.
"Ronaku sayang, tidurlah. Biarkan aku menikmati sisa malam ini, tak perlu kau larut dalam rasa cintamu padaku"
"Biarlah, Lang. Aku ingin menjadi saksi dalam hidupmu, bahwa di relung kalbumu ada aku yang selalu menemanimu. Tak perduli engkau lelah, tak perduli engkau letih. Bagiku engkau adalah jiwaku dan bagiku aku adalah jiwamu"
"Namun semua harus diawali, tidak diakhiri seperti ini. Pejamkanlah matamu, tak ingin aku melihat kegelapan di pancaran teduhnya matamu. Ku mohon tidurlah"
"Demi rasa cintaku kepadamu aku akan tidur. Namun aku berharap, janganlah kau lupakan aku. Jika esok engkau kembali ke sana. Ingatlah aku yang selalu mengenangmu, baik dalam mendungku atau cerahku"
"Pastinya aku akan selalu mengingatmu, juwita"
Tak lama kemudian, engkaupun melangkah. Pergi menjauh yang semakin lama semakin menghilang. Diganti dengan sinar mentari yang hangat mengiringi keberangkatanku beranjak dari sini. Ada perasaan berat menggelayuti langkah kaki ini. Ah, mengapa harus begini, dimanakah engkau wahai cintaku berada?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H