"Tunggulah sejenak Lang. Aku ingin menghabiskan semua kecintaanku akan lukisan malam yang indah ini. Berilah aku waktu sejenak bermesraan dengan dekapan cahaya bulan ini. Tidak setiap waktu aku menghirup dingin dan beningnya aroma pepohonan ini", jawabmu.
"Ronaku sayang, tidurlah. Biarkan aku menikmati sisa malam ini, tak perlu kau larut dalam rasa cintamu padaku"
"Biarlah, Lang. Aku ingin menjadi saksi dalam hidupmu, bahwa di relung kalbumu ada aku yang selalu menemanimu. Tak perduli engkau lelah, tak perduli engkau letih. Bagiku engkau adalah jiwaku dan bagiku aku adalah jiwamu"
"Namun semua harus diawali, tidak diakhiri seperti ini. Pejamkanlah matamu, tak ingin aku melihat kegelapan di pancaran teduhnya matamu. Ku mohon tidurlah"
"Demi rasa cintaku kepadamu aku akan tidur. Namun aku berharap, janganlah kau lupakan aku. Jika esok engkau kembali ke sana. Ingatlah aku yang selalu mengenangmu, baik dalam mendungku atau cerahku"
"Pastinya aku akan selalu mengingatmu, juwita"
Tak lama kemudian, engkaupun melangkah. Pergi menjauh yang semakin lama semakin menghilang. Diganti dengan sinar mentari yang hangat mengiringi keberangkatanku beranjak dari sini. Ada perasaan berat menggelayuti langkah kaki ini. Ah, mengapa harus begini, dimanakah engkau wahai cintaku berada?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H