Mohon tunggu...
Bayu Segara
Bayu Segara Mohon Tunggu... Administrasi - Lihat di bawah.

Penulis saat ini tinggal di Garut. 0852-1379-5857 adalah nomor yang bisa dihubungi. Pernah bekerja di berbagai perusahaan dengan spesialis dibidang Layanan & Garansi. Sangat diharapkan jika ada tawaran kerja terkait bidang tersebut . Kunjungi juga blog saya di: https://bundelanilmu.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Gunung Sangga Buana yang Penuh Mistis

19 Januari 2011   10:43 Diperbarui: 18 Februari 2020   09:12 36732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dulu waktu saya tinggal di Karawang, saya mempunyai seorang teman. Dia adalah teman kerja. Namanya Endang, asli orang Tasikmalaya.


Persahabatan kami ini didasari oleh satu lingkungan pekerjaan dan satu kesamaan hobi. Hobi kami saat itu yaitu bicara filsafat dan melakukan perjalanan.

Suatu hari kami jalan-jalan ke Curug Cigentis yang terletak di Selatan Karawang. Curug Cigentis ini masuk ke wilayah Desa Loji, Kecamatan Pangkalan. Perjalanan ke tempat ini, jika ditempuh dengan motor kurang lebih 1 jam dari Karawang kota.

Jika anda tertarik untuk datang ke Curug Cigentis, bagi yang suka naik angkutan umum anda bisa berhenti di Karawang Barat seandainya angkutan umum tersebut lewat toll. 

Selepas pintu gerbang toll ada jembatan, kita turun dari jembatan tersebut karena biasanya bus antarkota berhenti disini untuk menurunan penumpang.

Di bawah jembatan biasanya sudah menanti mobil elf yang akan membawa kita ke Loji-Pangkalan. 

Mengenai tarif, saya tidak bisa memberikan info lebih lanjut karena terakhir saya kesana sudah beberapa tahun lalu.

Pada waktu itu kami duduk-duduk di depan pintu loket. Karena untuk masuk ke Curug Cigentis, kita mesti bayar biaya retribusi. 

Kami bertemu dengan penjaga loket tersebut yang saya tidak tahu namanya, maklum dia bukan cewek sih :) 

Kami mengobrol dengan beliau karena tertarik dengan tongkatnya. Ajaib kali yah tongkatnya, hingga kami tertarik sama tongkat dia. Mungkin juga.

Memang ajaib tuh tongkat. Ini kami ketahui setelah kami mengobrol dengan beliau. Katanya ini tongkat bisa mengusir ular. 

Wow… kami yang anak muda ini merasa tertarik pengen memiliki. Memang pada saat itu yang ada di pikiran kami begitu.

Padahal kalo sekarang mah pasti saya mikir, buat apa punya tongkat pengusir ular, wong kita hidup di kota bukan di kampung. Maklumlah bang, anak muda kan pengennya eksis.

Lanjut ama cerita. Nah, si tongkat sakti ini konon katanya ngedapetinnya di Gunung Sangga Buana. Wuih, tambah menarik lagi bagi kami nih cerita. 

Kami terus bertanya bagaimana agar kami bisa kesana dan ke arah mana. Beliau dengan senang hati menunjukkan arahnya.

Kata beliau, jika kita berjalan ke Curug Cigentis, maka di Kampung terakhir menuju kesini ada dua jalan. Yang ke kiri jalan menuju Curug Cigentis, sedangkan jika ke kanan, maka kita akan menemukan jalan menuju SanggaBuana bahkan ke Cianjur. 

Akhir dari obrolan itu, saya dan Endang berkomitmen untuk melakukan perjalanan ke sana di waktu mendatang.

Dan Alhamdulillah, akhirnya saat yang dinanti tiba juga. Setelah persiapan dengan berbagai bekal kami berangkat juga. Berbunga-bunga rasanya karena bakal jalan-jalan dan menemukan pengalaman baru.

Singkat cerita kami tiba di Desa Loji, sesuai petunjuk si Bapak penjaga itu, di dusun terakhir yang kami temui kami mengambil jalur kanan.

Ternyata jalur ini adalah jalur sawah, pantesan kami kemaren tidak melihat jalur ini.

Setelah sawah habis, kita akan menemukan bebukitan. Setelah bebukitan dilewati baru kita menemukan pegunungan. 

Rute ini memaksa kami sering melakukan banyak istirahat karena kami yang jarang olehraga ini sering kecapean. Maklumlah…biasa olahraga di kamar mandi sih.. Anak muda baaang...

Ada kejadian unik ketika kami selepas mendaki bukit pesawahan. Saat itu kami yang kecapean, duduk-duduk sambil beristirahat dan tidak lupa photo-photo sambil makan bekal. 

Tiba-tiba datang rombongan yang terdiri dari seorang kakek tua, seorang wanita berusia enam belas tahunan dan seorang lagi saya lupa cewek cowoknya dan tua atau mudanya.

Waktu itu kami sedang photo-photo, tiba-tiba si kakek menghampiri dan minta photo bareng. 

Kita melongo dan mata kami saling pandang sambil mengulum senyum. Aih ada-ada saja nih si Kakek, ternyata dia pengen numpang eksis doang. 

Karena setelah photo bareng, dia dan gerombolannya langsung ngeloyor pergi..

Kakek .. kakek… eh kakek aku lupa loh ngga nanyain nama cucu kakek :)

Setelah si kakek dan gerombolannya menghilang, kami mendapatkan bahan omongan baru. Yaitu tentang keluguan dari si kakek yang minta photo bareng dan tentang kecepatan serta kekuatan mereka dalam melakukan perjalanan. 

Bayangkan, untuk mendaki kurang lebih 100 meter kami begitu kesulitan dan memerlukan waktu yang lama, tapi bagi mereka hanya dalam hitungan sekejap saja. Dan tahu-tahu sudah tidak terlihat oleh mata. Luar biasa….

Dan tau ngga, ternyata setelah kami mencapai puncak Gunung SanggaBuana, mereka ini tidak ada. 

Padahal jelas-jelas kami melihat mereka berjalan ke arah kaki Gunung Sanggabuana. Alah ma… jangan-jangan….tatuuuuut.

Setelah dirasa cukup beristirahat akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Tiba di kaki gunung, mulai terasa seram. 

Di kaki gunung kami menemukan kuburan tua. Entah kuburan siapa. Saat itu kami tidak berpikiran apa-apa, yang ada adalah rasa heran, kok ada kuburan di sini dan sudah tua sekali kuburannya.

Ternyata perjalanan kami tambah berat ketika kami mulai mendaki gunung tersebut. 

Kami hanya bisa mengangkat kaki untuk sepuluh langkah, sisanya kami berhenti. Jalan setapaknya rapih, terdiri dari undakan bebatuan. 

Saya gak habis pikir, kok bisa naek ke atas gunung tapi ada undakan yang begitu rapih sedangkan hutannya masih begituh angker. 

Sampai sekarang, pikiran tersebut belum bisa saya temukan jawabannya.

Belum habis pertanyaan tersebut, ada pertanyaan baru lagi. Pertanyaan baru ini timbul setelah melihat rombongan orang datang menyusul kami. 

Salah satu dari mereka ada yang memanggul barang bawaan. Yang memanggul barang bawaan ini adalah orang upahan, porter bahasa kerennya. 

Oalaaaah Pak, ini sayah begituh terengah-engah dan capeknya setengah mati untuk mendaki gunung ini, lah ini Bapak enak-enakan memanggul barang, apa sih rahasianya. 

Dan saya tidak dapat menemukan jawabannya sampai sekarang, karena saya ngga bertanya sama dia.

Siksaan datang ketika hujan turun. Dimana dalam kondisi tanah kering kami kepayahan menaklukan medan, ini ditambah dengan hujan, luar biasa derita yang kami alami saat itu. 

Setelah delapan jam kami berjuang dengan memaksa kaki dan menguras tenaga akhirnya kami sampai juga di atas gunung. 

Segala penat letih dan sengsara seakan hilang begitu kami menginjak daratan puncak. 

Daratan…? kesannya abis dari laut. Namun begitulah bayangannya, ibarat lama terombang-ambing di lautan eh nemuin daratan. Gimana gak seneng coba.

Cuman kami terkejut, karena ternyata di atas puncak gunung banyak orang. Wuiiih… kami terbengong-bengong.. kok bisa?… 

Malah ada yang jualan kopi!! Ah peduli amat coy, liat kopi yang masih mengepul mulut ini langsung goyah, hidung langsung limbung. Dideketin lah tuh tukang kopi. Bang atu….seru saya.

Kopi yang saya pegang itu masih panas, namun karena habis kedinginan langsung saya seruput saja tuh kopi. 

Ajaib!! Kopinya tidak terasa panas menyengat, tapi panas biasa, yaitu panas yang bisa kita minum… ada-ada aja. 

Apa karena ilmu saya sudah tinggi sehingga air kopi panas ini tidak begitu panas di mulut. 

Ternyata setelah kejadian itu baru saya tahu teorinya. Teorinya adalah titik didih air di dataran rendah dan dataran tinggi itu berbeda. 

Di puncak gunung, tekanannya lebih rendah dari normal (1 atm). Jadi, titik didih air pun jadi lebih rendah. 

Contohnya, pada ketinggian 10.000 kaki, titik didih menjadi 90 C. Itulah kenapa air lebih cepat mendidih di puncak gunung daripada di dataran rendah.

Setelah ngupi, saya melihat-lihat sekeliling. Terkaget-kaget saya mendapati kenyataan di sekeliling puncak gunung ini. 

Saya tidak bisa menerima kenyataan ini. Sungguh… Ya gimana ga bisa menerima kenyataan, melihat banyak kuburan di atas gunung!!!

Coba pake logika, di atas gunung tidak ada perkampungan tapi kenapa ada banyak kuburan. Gimana caranya??

Jika ini kuburan adalah kuburan penduduk di sekeliling gunung, bagaimana membawa kerandanya dan apakah memang mau bagi pembawa mayit melintasi terjalnya jalan untuk membawa keranda ke atas puncak gunung yang begitu tinggi. Ah pikirin deh sendiri… abang sudah pusing nih.

Hebatnya lagi kuburan ini adalah bukan kuburan orang lokal setelah saya teliti. Orang-orang yang dikubur disini adalah orang Cirebon. 

Ini menurut perkiraan saya Karena melihat samara-samar kata-kata cirebon di batu nisan salah satu kuburan. Tambah luar biasa lagi…

Menurut desas-desus dari orang-orang yang saya tanyakan mengenai kenyataan yang ajaib ini ada satu cerita yang turun temurun. 

Katanya dulu, banyak orang berterbangan membawa keranda ke arah Gunung Sangga Buana. 

Benar tidak cerita ini Wallahualam, tapi kalau melihat kenyataan, ingin rasanya saya percaya.

Banyaknya orang yang ada di atas puncak gunung ini tak lain karena mereka sedang ziarah karena kebetulan waktu itu adalah bulan mulud. Dimana bulan mulud adalah bulannya para peziarah. Pantesan…

Namun sangat disayangkan, banyak peziarah yang musyrik. Mereka meminta-minta ke kuburan. 

Disituh ada beberapa kuburan yang diberi saung, satu yang saya perhatikan adalah kuburan Eyang Haji Ganda Malela. 

Nah kemusyrikan mereka macem-macem. Ada yang minta kaya, ada yang minta suara bagus dan lain sebagainya. 

Ada yang meyakini, jika ingin kaya, maka kita harus meminta kekuburan yang ini. Jika ingin yang lain minta ke kuburan yang itu. Astaghfirullah. Manusia… manusia.

Kemusyrikan ini didukung oleh berdirinya mushalla yang katanya dibangun oleh seseorang yang sudah berhasil karena mengunjungi gunung tersebut. Gak tahu gimana ceritanya… tapi itulah desas desus yang saya dengar.

Gunung Sangga Buana ini gunung yang indah, begitu kokoh mengapit tiga kota. Ke timur adalah kota Purwakarta, Ke selatan adalah kota Cianjur dan ke barat adalah kota Karawang.

Jatiluhur bisa dilihat dari sini secara jelas, dimana menambah keindahan gunung ini.

Keunikan saya temui dari gunung ini adalah Elang Jawa. Kita dapat melihat secara dekat Elang Jawa bersarang di atas pepohonan di atas Gunung Sangga Buana ini. Dan seumur hidup baru sekali saya melihat elang yang begitu besar dan di habitat alaminya.

Gunung Sangga Buana. Gunung yang angker, alami dan penuh mistis.
[lain kali saya akan cerita tentang kemistisan lainnya]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun