Mohon tunggu...
peringatan zendrato
peringatan zendrato Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang penulis apa yang dirasa perlu ditulis

Suka Kesasar, Asal ada Teman

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Jahatnya Politik Uang

27 April 2019   09:03 Diperbarui: 27 April 2019   09:09 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana politik uang menghancurkan akal sehat kita? Bisa dilihat dari pengalaman mereka yang berjuang menggalang suara rakyat demi mendapatkan kedudukan politik. Ada yang bertahan menggunakan cara bersih, ada pula yang bermain kotor. Namun kedua cara tersebut tentu sudah mempunyai akhir yang berbeda pula. 

Ada yang bermain bersih berakhir pada kemenangan, sedangkan yang bermain kotor berakhir pada kemalangan. Atau sebaliknya, yang bermain bersih berakhir pada kemalangan, sedangkan yang bermain kotor berakhir pada kemenangan.

Apa pun cara yang dipakai, jejak itu tercatat di buku kehidupan, dan memberikan efek masing-masing; baik efek buruk maupun efek baik. Berpolitik bersih pastinya memberikan dampak yang baik bagi demokrasi. Tetapi berpolitik kotor akan memberikan dampak yang buruk bagi demokrasi.

Kejadian pembagian amplop berisi uang senilai Rp250.000 baik perkepala mau pun per rumah, misal, yang dilakukan oleh para aktor politik agar memilih kandidat tertentu sungguh menginjak-injak demokrasi. 

Praktik politik uang lebih aman dilakukan pada saat malam hari, dengan berkunjung ke rumah yang ditarget maupun di tempat tersembunyi untuk membeli suara mereka. Kejadian ini memperlihatkan bagaimana hak rakyat dan harapan rakyat telah tuntas terbayarkan saat transaksi itu dilakukan.

Kalau kita baca berita, baik di kompas, tempo, detik, media Indonesia, suara pembaharuan, dan media massa lainnya, ternyata sudah puluhan kasus politik uang yang ditemukan oleh masyarakat, maupun para petugas keamanan dan pengawas pemilu. 

Para pembaca bisa melihat sendiri besar uang yang bervariasi, modus yang dipakai, serta kandidat dari partai mana saja yang berpolitik uang itu di pemilu 17 April lalu melalui mesin pencarian google.

Membaca berita praktik politik uang tersebut membuat penulis mengingat kembali jumlah praktik politik uang di masa silam. Berdasarkan data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), ada 600 laporan terkait politik uang pada pilkada 2017, yang terjadi pada masa kampanye hingga pemilihan. Ini merupakan peningkatan karena pada 2015 tercatat 493 laporan politik uang (Kompas, 27 Januari 2018). 

Sedangkan pilkada 2018 Bawaslu menerima laporan terkait praktik politik uang sebanyak 40 laporan (Suara.com, 30 Juni 2018). Menurunnya jumlah laporan praktik politik uang di pilkada tahun 2018 pun karena pada tahun itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap banyak koruptor baik para wakil rakyat maupun para calon kepala daerah yang sedang mencalonkan diri. Data tersebut di atas menandakan politik uang bukan "barang baru" lagi dalam konstelasi politik, dan bahkan mungkin sudah membudaya.

Dampak Politik Uang

Maraknya politik uang di setiap pesta demokrasi memperkuat prasangka buruk rakyat terhadap para wakil rakyat. Rakyat akan selalu beranggapan bahwa tidak ada lagi calon wakil rakyat yang tidak berpolitik uang. Kalaupun ada yang tidak berpolitik uang tetapi opini rakyat tetap tergiring ke arah prasangka buruk atau merasa ketakutan dan berkata dalam hati: "... jangan sampai yang memenangi kontestasi itu adalah mereka yang berpolitik uang ...".

Caleg yang melakukan praktik politik uang di saat pemilu akan mempengaruhi kinerja mereka sebagai wakil rakyat. Dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan, menunjukkan bahwa para kandidat yang menang karena melakukan politik uang akan cenderung korupsi. Mereka akan selalu memikirkan dirinya sendiri dan bagaimana bisa mengembalikan modal yang sudah dihabiskan pada saat kampanye.

Praktik politik uang juga telah memberikan pendidikan politik buruk bagi generasi politisi berikutnya. Meskipun tidak ada data pasti berapa orang para milenial yang menjadi timses untuk mendulang suara pemilih milenial, namun ini telah mendidik mereka untuk bersikap nrimo (terbuka) di tengah seliweran uang haram itu dan mengelolanya dengan sembunyi-sembunyi. Bila kelak mereka masuk ke parpol maka akan membawa "virus" koruptor.

Dampak terakhir dari praktik politik uang adalah tersingkirnya para putera/puteri negeri yang kaya akan gagasan dan siap membangun negeri. Mereka sebenarnya adalah sosok negarawan yang tidak memikirkan dirinya sendiri, tidak memaksakan kehendak sendiri, dan tidak hanya memikirkan keluarga dan golongannya sendiri. 

Sayangnya mereka dikalahkan oleh yang bermain politik uang. Ini artinya budaya politik uang sulit "dihancurkan" oleh para kandidat yang tulus dan jujur kerjanya.

Kekuatan yang Dimiliki Orang Tulus

Kalau seandainya Yudas Iskariot tidak menjual Yesus, kemungkinan Barabas tidak dibebaskan. Yudas Iskariot lebih tergiur uang dibanding misi mulia dari Yesus. Padahal Yudas Iskariot adalah murid kepercayaan Yesus untuk mengurusi pembendaharaan. Sementara Barabas kala itu adalah seorang yang belum teruji pertobatannya, diperbandingkan dengan Yesus yang tidak bercacak cela itu.

Terkadang sosok "Yudas" di pemilu pun menjelma dalam teman di sekitar kita atau bisa kita sendiri; kalau tidak kuat iman. Sosok yang minim politik zuhud dan terlilit oleh urusan duniawi yang memuaskan diri sendiri dan keluarga sendiri (Nasaruddin Umar: "Zuhud Politik dan Politik Zuhud". Kompas, 3/8/2018). Lebih mendengar suara (utusan) iblis, dan mengingkari suara hati mereka. Akibatnya, yang memenangi pertarungan dan menduduki kursi kekuasaan adalah pemimpin yang jahat.

Jalan yang ditempuh caleg yang tulus dan jujur untuk membangun negeri dan bangsa di zaman edan ini mengharuskan mereka seperti Yesus. Mereka harus pasrah dan berkata: "... ampunilah mereka yang berbuat dosa, sebab mereka tidak mengetahui apa yang mereka perbuat ...". Sambil berdoa berharap terjadi perubahan cara berpolitik, serta berharap bangsa ini memasuki zaman emas. Sebab hanya inilah yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang lemah modal kekuatan material dan tidak ingin menodai dirinya dengan praktik politik uang. Akhir kata penulis ingin tandaskan: "semoga yang memenangi pemilu adalah bukan koruptor!".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun