Mohon tunggu...
Eka Murti
Eka Murti Mohon Tunggu... -

Penikmat sastra dan pecandu teh hangat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

[LombaPK] Roti Besok untuk Herry

31 Mei 2016   19:03 Diperbarui: 31 Mei 2016   19:55 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Roti coklat mahal dan lembut menyebarkan aroma wangi mentega yang gurih ke hingga ke hidung Herry saat dikeluarkan dari bungkusnya secara serampangan oleh Pebrianov.

“Benar-benar membosankan! Roti lagi…roti lagi!” gerutu Pebrianov seraya menyobek roti menjadi dua bagian menyebabkan isi coklatnya lumer.

Herry hanya bisa memandang roti milik teman sekelasnya itu dengan air liur berkumpul di mulutnya, yang terpaksa ditelannya dengan susah payah. Dilihatnya bekal yang dibawakan oleh ibu Marla pagi ini, pisang goreng. Herry sangat ingin mencoba roti lembut dengan coklat meleleh tersebut. Sebagai anak yang tinggal di panti asuhan, memakan roti adalah suatu kemewahan. Sekadar mencukupi makan sederhana sehari-hari saja, dia tahu ibu Marla telah berusaha dengan sangat keras untuk mendapatkan dana dari para donatur.

Tak ada makanan mewah kecuali ada anak orang kaya yang merayakan ulang tahunnya di panti dan membagikan nasi dengan ayam goreng tepung garing ala Amerika. Tapi kemewahan itu tak terlalu sering mereka rasakan, biasanya mereka hanya makan sayur, tahu, tempe atau telur. Ayam dan daging hanya sesekali saja.

Roti di tangan Pebrianov membuatnya iri, yang pernah dimakannya hanya roti murah yang isi coklatnya menggumpal, tidak meleleh begitu.

“Sudah, ah!” Tiba-tiba saja Pebrianov memasukkan sisa roti yang tidak dimakannya dan… plung! Dia melemparnya ke tempat sampah di depan kelas.

Melihat kejadian itu Herry tersentak dan ingin menangis, andaikan tak malu diledek oleh teman-teman sekelasnya. Dia hanya bisa menahan perasaannya hingga jam pulang sekolah berdentang.

“Her, ayo pulang,” ajak Abra sambil mencolek pundak Herry yang tetap duduk di kursinya.

“Duluan saja, aku akan menyusul nanti.”

“Ya sudah, kita duluan saja,” sahut Nanang yang telah berada di sebelah Abra.

Sampai sekolah telah sepi barulah Herry bangkit dari kursinya. Dilihatnya tak seorang pun berada di koridor atau lapangan. Dia mendekati tempat sampah dan mencari sisa roti yang dibuang Pebrianov tadi.

“Yups, ketemu!” Perlahan diambilnya roti itu dan dibersihkannya bungkus plastik dari sia-sia kotoran yang menempel. “Ah, masih bersih dan aman,” gumam Herry sambil tersenyum.

“Herry, apa yang kau lakukan? Mengapa kau mengorek-ngorek tempat sampah?” Bu Ratna muncul tiba-tiba di samping Herry, dia tak lagi sempat menyembunyikan roti temuannya.

“Anu… anu.. saya…” Herry tak sanggup melanjutkan kata-katanya, air mata berlinang tanpa bisa dicegahnya lagi.

“Nak, apa kau yang membuang roti itu?” tanya Bu Ratna lembut.

Herry hanya bisa menggeleng perlahan.

“Itu roti siapa?”

“Pebri”.

“Sudah kau buang saja kembali ya, nanti ibu belikan yang baru untukmu. Tidak baik memakannya mungkin sudah tercemar, kalau kau sakit apa kau tak kasihan kepada Bu Marla?”

Sekali lagi Herry hanya bisa mengangguk, lalu dengan berat hati mengembalikan roti itu ke tempat sampah.

“Besok akan ibu ingatkan lagi seluruh siswa agar tidak membuang-buang makanan, terutama Pebri akan mendapat peringatan.”

Herry pulang dengan lunglai. Dia tahu sesampainya di rumah pasti ibu Marla akan menasehatinya juga seperti yang dilakukan ibu Ratna.

Tapi dugaanya salah. Ibu Marla tidak menegurnya atau pun marah padanya, sikapnya tetap baik seperti biasa.

20160531-181957-1-copy-574d7d4ec2afbdb608e01499.jpg
20160531-181957-1-copy-574d7d4ec2afbdb608e01499.jpg
Keesokan hari saat istirahat, Herry terkejut mendapati bekalnya berisi roti coklat mahal dan lezat. Bukan roti coklat murahan seperti biasanya. Tiba-tiba rasa bersalah menyelinap dalam hatinya. Ibu Marla pasti telah menghabiskan banyak uang untuk membeli dua puluh roti bekal sekolah anak-anak panti.

Sepulang sekolah Herry langsung menemui ibu Marla. “Bu, maafkan aku…”

“Kenapa, Nak?”

“Gara-gara aku ingin roti coklat ibu jadi mengeluarkan uang banyak,” sahut Herry lirih.

“Nak, memang karena kau ingin roti coklat lah Ibu menemui Kong Agil untuk bisa membeli roti dengan harga lebih murah.”

“Kong Agil yang kerja di Pabrik Roti ternama itu?”

“Ternyata justru Ibu mendapat “Roti Besok” secara gratis.”

“Roti besok?” tanya Herry bingung.

“Pabrik selalu menarik roti yang sudah akan kadaluarsa. Tapi roti-roti tersebut masih layak dikonsumsi, jadi Ibu boleh membawanya asalkan meninggalkan bungkusnya untuk cacatan administrasi.”

“Oh….”

“Tentu saja Ibu memikirkan kesehatan kalian dan kata Kong Agil selama ini tidak pernah ada masalah.”

“Oh….”

“Kong Agil juga berpesan rotinya harus dimakan besok.” Ibu Marla menjelaskan dengan tersenyum.

“Ah, “Roti Besok” ternyata seperti itu.” Herry pun ikut-ikutan tersenyum.

“Nah, Kau sudah lega kan sekarang?”

“Iya, Bu. Tapi… apakah kita boleh meminta lagi, Bu?” tanya Herry penuh harap.

“Tentu saja, Nak. Kata Kong Agil, Ibu boleh datang ke pabrik setiap dua hari sekali.”

Herry semakin terharu dengan kebaikan hati orang-orang yang bahkan bukan keluarga kandungnya. Ibu Marla dan pengurus panti lain yang telah mengurusnya sejak kecil dan juga Kong Agil yang telah mengizinkannya menikmati roti coklat yang sangat lezat.

“Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?” batin Herry dengan penuh rasa syukur.

JKT-310516

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun