Mohon tunggu...
PERHUMAS Muda
PERHUMAS Muda Mohon Tunggu... Administrasi - Organisasi Profesi Humas

Perhimpunan Hubungan Masyarakat Muda Indonesia. Jakarta Raya-Bandung-Yogyakarta-Malang-Medan-Batam-Surakarta(Solo)-Semarang-Riau-Pawitanditogo (Pacitan,Ngawi,Magetan,Madiun, dan Ponorogo)-Aceh-Lampung-Denpasar Bali | Instagram: @perhumasmuda | Email: perhumasmudaindonesia@gmail.com | Twitter: @perhumasmuda

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

New Normal, Bagaimana dengan Esensi Komunikasi?

21 Juli 2020   13:53 Diperbarui: 21 Juli 2020   13:50 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: Detik Finance

Setelah beberapa bulan yang lalu kita terperangkap dalam kehidupan social distancing, sekarang saatnya kita akan beradaptasi dengan fase kehidupan baru. Fase kehidupan yang baru? Apanya yang baru?

Akan tetapi, kebijakan baru ini akhirnya menuai pro-kontra di mata masyarakat mengingat kebijakan social distancing sebelumnya tidak berjalan lama, tiba-tiba kebijakan "New Normal" ini diberlakukan. Hal ini seakan memperlihatkan kontroversi dan perspektif bahwa adanya kepentingan yang tersembunyi di balik pandemi ini. Benarkah begitu?

Melalui tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk fokus melihat dampak dari New Normal ini dalam segi komunikasi. Apakah benar era baru ini mempengaruhi sistem komunikasi kita?

Di tengah pandemi yang terjadi saat ini, istilah "New Normal" berhasil menyeruak ke permukaan dalam perbincangan publik. Apakah pandemi sudah benar-benar berakhir sehingga kita harus masuk ke era normal baru?

Tentu saja tidak. Kita belum bisa memastikan kapan penyakit ini akan menghilang dari muka bumi. Kita semua masih harus berkutat dan bekerja keras menangani COVID-19. Seluruh negara di dunia sedang mencari cara untuk mengembalikan kehidupan normal umat manusia. Lantas, apa maksud dari normal baru ini?

Istilah New Normal sesungguhnya adalah paradigma berpikir dan berperilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal seperti biasanya. Namun, kali ini ditambah dengan menerapkan protokol kesehatan yang telah ditentukan guna mencegah terjadinya penularan COVID-19. Yang bisa disimpulkan bahwa normal baru ini menjadi cara kita beradaptasi dengan membuat diri lebih 'nyaman' di tengah ketidakpastian.

Sejak bulan Juni, tempat-tempat umum seperti pusat perbelanjaan, pertokoan, perkantoran, dan tempat ibadah di sebagian daerah, termasuk ibukota Jakarta mulai dibuka. Namun, pemerintah tetap mengharuskan penerapan protokol kesehatan guna mencegah penularan virus di tempat-tempat umum dan aktivitas yang melibatkan banyak orang.

Dengan kebijakan New Normal ini kita akan diberikan ruang untuk dapat hidup berdampingan dengan virus Covid-19 atau dalam istilahnya yang pernah terlontar di media yakni bersahabat dengan Covid-19. Terlihat sedikit aneh bagi kita bukan? Tapi memang seperti inilah nyatanya.

Pemerintah juga meminta masyarakat agar terus berdisiplin dengan menerapkan kebiasaan baru yang berguna untuk mencegah penularan virus corona, seperti memakai masker, rajin mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau menggunakan hand sanitizer, serta menjaga jarak fisik dengan orang lain minimal 1-2 meter.

Sesungguhnya, beradaptasi dengan New normal menjadi skenario yang dipilih banyak negara dalam mempercepat penanganan Covid-19 sekaligus memulihkan aktivitas sosial-ekonomi masyarakat. Beberapa negara yang mulai membuka aktivitasnya kembali adalah Korea, China, termasuk Indonesia. Pandemi corona yang sudah melanda dunia sejak 2019 memaksa banyak orang untuk beraktivitas dengan cara yang baru, yakni melalui New Normal ini.

Namun, menjalani hal baru ini menjadi tantangan bagi sebagian orang. Sebab, banyak kebiasaan baru yang harus dilakukan demi mencegah penularan COVID-19 semakin meluas. Dikutip dari Antara, psikolog Intan Erlita, M.Psi menyebutkan ada beberapa tips yang bisa kita lakukan untuk menghadapi era New Normal ini.

Salah satunya yaitu "berdamai" dengan kondisi saat ini. Sikap "berdamai" dimaksudkan agar kita dapat meminimalisir perasaan negatif yang memicu ketidaknyamanan mental. Hal ini termasuk mengurangi ketakutan agar dapat bangkit dan mulai beradaptasi dengan hal-hal baru. Dilansir dalam artikel Psychology Today yang mengatakan bahwa "berdamai" serta menerima keadaan atau kondisi yang baru memang bisa membawa efek transformasional. Sederhananya, sesuatu yang dinilai negatif atau mengganggu dapat menjadi netral atau bahkan positi jika kita bisa menerima keberadaannya dan bukan dengan menolaknya.

Tips yang paling utama yakni tetap menjalin komunikasi dengan banyak orang. Menurut Intan, penting untuk tetap terhubung dengan orang-orang terdekat, namun tidak secara langsung melainkan melalui daring. Komunikasi dirasa penting untuk menghilangkan rasa jenuh dan bosan. Melalui protokol kesehatan ini, kita diperbolehkan keluar untuk bekerja, tidak untuk berkumpul bersama sama. Mengingat bahwa manusia sejatinya adalah makhluk sosial, sehingga komunikasi secara daring dirasa masih bisa dilakukan meskipun tanpa pertemuan secara fisik.

Melihat dampak yang nyata dari New Normal terhadap komunikasi kita, lalu apakah esensi komunikasi yang sebenarnya mulai menghilang? Sebelum menjawab pertanyaan itu alangkah baiknya kita memahami esensi komunikasi yang sebenarnya, dan mengetahui  untuk apa kita sebenarnya melakukan komunikasi.

Esensi Komunikasi

Jika kita menengok jauh ke belakang pada era Homo Sapiens sedang berlangsung. Dengan kemampuan komunikasi yang baik, Sapiens dapat membuat kelompok yang lebih besar dibandingkan kelompok homo lainnya. Ternyata, hal inilah yang membuat Sapiens masih bertahan hingga saat ini. Sementara saudara sapiens seperti homo erectus, homo neanderthalensis sudah punah sejak 10.000 tahun terakhir.

Fakta tersebut cukup tegas menyatakan bahwa memang kita sejak masa nenek moyang Sapiens  dulu adalah makhluk sosial. Yang artinya, kita tidak bisa hidup sendiri tanpa manusia lainnya karena kita sangat bergantung pada komunikasi satu sama lain. Lalu, apa sebenarnya esensi dari komunikasi itu sendiri?

Menurut Effendy (2003) makna komunikasi sesungguhnya berasal dari bahasa latin "communication" yang bersumber dari kata komunis yang memiliki arti sama. Sama disini diartikan sebagai kesamaan makna. Jika terdapat dua orang yang saling berkomunikasi, maka komunikasi tersebut berlangsung dengan baik selama terdapat kesamaan makna antara satu dengan lainnya.

Selain itu, makna lainnya dikemukakan oleh Steward L Tubbs dan Sylvia Moss, bahwa komunikasi adalah proses pertukaran makna di antara dua orang atau lebih (Mulyana,2001:69). Serupa dengan rekannya diatas, Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson menyebutkan komunikasi sebagai proses memahami dan berbagi makna (Mulyana,2001:69). Keempat ahli ini menjelaskan esensi komunikasi sebagai proses pertukaran makna, sementara John R. Wenbung dan William W. Wilmot sepakat menyatakan bahwa komunikasi adalah suatu usaha untuk memperolah makna (Mulyana,2001:68).

Jadi, bisa ditarik benang merah bahwasannya kunci utama dari esensi komunikasi itu sendiri adalah sebuah makna. Jika dua orang atau lebih sedang melakukan pertukaran pikiran atau makna, maka mereka akan mampu menangkap makna tersebut satu sama lain, dan bisa dinyatakan bahwa dua belah pihak tersebut sedang melakukan sebuah komunikasi. Jadi secara logika, komunikasi tidak harus dilakukan dengan pertemuan fisik bukan? Meskipun saat ini kita harus melakukan komunikasi secara daring, kita tidak perlu khawatir selama kita masih bisa menangkap makna dengan baik, tandanya kita masih mendapatkan esensi komunikasi itu sendiri. Bukan begitu?

Pola kehidupan dan aktivitas yang sempat kita jalani saat 3 bulan karantina membentuk lingkungan baru untuk membiasakan berkomunikasi tanpa bertemu langsung secara intens. Hal seperti ini bukan lagi sesuatu rumit untuk dijalankan terutama saat kehidupan New Normal dimulai karena kita sudah terbiasa dengan komunikasi jarak jauh. Kita akan tetap bisa berkomunikasi secara langsung namun harus tetap disiplin terhadap protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah.

Kehidupan New Normal ini akan bisa mengajarkan manusia untuk saling peduli dan menjaga sesama karena sejatinya hal tersebut merupakan fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Contoh kecilnya misal saling mengajarkan agar dapat menjalani hidup sehat dan bersih.

Komunikasi yang Terintegrasi

Selama masa Pandemi hingga era New Normal ini, komunikasi masih dilakukan dalam fase yang termediasi oleh media daring. Komunikasi semacam ini terkadang memiliki kelebihan dan kekurangan. Misal kelebihannya, komunikasi tak terbatasi ruang dan waktu sehingga kita bisa merasakan komunikasi yang efektif dan efisien. Jenjang komunikasi yang bersifat perjumpaan fisik, kerap lebih formal dan menghadirkan mata rantai komunikasi yang cukup panjang. Hal ini menjadi kekurangan komunikasi fisik dibandingkan komunikasi daring.

Misalnya saja dalam rapat kerja, rapat terbatas, kegiatan webinar, dan sosialisasi. Komunikasi daring dapat menghemat biaya, memangkas birokrasi, dan terasa lebih fleksibel dari sisi waktu dan tempat. Hanya saja kelemahannya, teknologi tetap tak bisa menggantikan komunikasi fisik yang memiliki timbal-balik dengan segala kompleksitasnya. Teknologi selalu terbatas dalam menciptakan kehangatan hubungan, orisinalitas, emosi, dan respons langsung.

COVID-19 ini terasa seakan memberi pesan kuat, bahwa kita harus sudah beradaptasi dengan New Normal dalam proses komunikasi saat ini dan untuk beberapa waktu ke depan. Oleh karenanya, komunikasi yang termediasi oleh media daring saja tidak cukup kita lakukan meskipun kita sudah terbiasa karenanya. Yang paling utama adalah komunikasi yang terintegrasi, baik media daring maupun komunikasi secara fisik. Karena sejatinya, tak ada yang benar-benar bisa menggantikan komunikasi antarmanusia secara langsung. Nilai, budaya, emosi, dan esensi komunikasi sebenarnya jauh lebih tergambar utuh dalam interaksi langsung. Jadi intinya adalah kecukupan dan kesanggupan antara komunikasi termediasi dengan komunikasi secara fisik, sehingga lahirlah komunikasi terintegrasi yang mampu dilakukan saat era New Normal ini.

Oleh: Marenthina - Sampoerna University (Juara ke-1 Lomba Artikel PERHUMAS Muda Bandung) 

#IndonesiaBicaraBaik

Referensi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun