Agar akad syariah ini tidak jatuh pada riba, solusi untuk akad pembiayaan ini ya dengan memetakan dulu gambaran yang sebenarnya (tidak gharar), dengan mencampuradukan akad tijaroh (bisnis/ komersial) dan akad tabarru (kebajikan). Kenapa nasabah tidak dikenakan akad tijaroh murni (sewa beli) tanpa melibatkan tabarru (kredit), karena lembaga keuangan ini termasuk komersial. Dimana dalam akad barang yang digunakan tidak dibeli untuk sementara waktu tapi sewa, misalnya ongkos sewa 300 ribu per bulan atau 10 ribu per hari (komposisi ini dapat disesuaikan secara teknis, baik baku maupun fleksibel yang ditentukan oleh nasabah dan pihak pembiayaan). Kemudian jika ingin memiliki barang, nasabah diwajibkan menyetor 300 ribu untuk ditabung, jadi jika sudah 3 tahun/ 35 bulan (tabungannya sekira Rp 10.800.00, jika diinvestasikan tentu nilainya akan lebih dari pokok yang disetorkan, sekalipun pada jenis instrumen investasi yang konservatif).
Maka di tahun ketiga, nasabah sudah bisa memiliki kendaraan tersebut dengan membelinya seharga tunai, setelah memperhitungkan biaya penyusutan barang setelah 3 tahun yang harganya lebih renda dari harga baru (dalam kasus ini 3 tahun kemudian barang setara 9 juta dari harga baru senilai 15 juta). Jika dalam masa kontrak terjadi masalah, misalnya ketidak sanggupan bayar, berarti yang harus dibayar adalah sewanya, bukan keseluruhan tagihan. Jadi benar-benar akad bisnis (tijaroh), kalo sampai tidak mampu lagi, atas sepengetahuan nasabah, tabungannya yang dijadikan biaya untuk membayar sewa dan otomatis nasabah harus menutupi kekurangan tabungan atau menambah waktu penyetoran. Bukan malah didenda yang akan jatuh pada riba, atau disita asetnya, dll. Karena kondisi ini bisa saja terjadi pada periode cicilan yang sudah lebih dari setengah masa kontrak, atau bahkan menjelang akhir kontrak.
Status kepemilikan kendaraan jadi masih tetap milik perusahaan (sementara mengenai nama dalam administrasi bukan jadi persoalan, hanya untuk memudahkan), yang penting dalam kontrak atau akad jelas yang sewaktu-waktu barang dapat ditarik (jika diakad diperjanjikan nilainya, maka tabungan bisa menjadi jaminan menggantikan kerugian atas perilaku nasabah yang baik dengan sengaja atau tidak merusak barang sewaan).
Untuk menyiasati akad-akad yang sudah ada dan mengoperasionalkan secara win-win solution, baik nasabah maupun lembaga keuangan, intinya setoran (cicilan) yang selama ini dilakukan oleh nasabah senantiasa diperlakukan untuk dua kepentingan; 1. Tabungan (saving/ deposit) yang diinvestasikan sebagai bentuk jaminan dikemudian hari dari nasabah, 2. Pembayaran ijarah/ sewa/ biaya-biaya yang sudah diperhitungkan lembaga keuangan yang timbul akibat perjanjian tersebut, besar dan waktunya sudah ditetapkan lembaga keuangan diawal untuk kemudahan pembukuan.
Keuntungan cara tersebut memberikan memberikan kepastian dan kebebasan duabelah pihak. Bagi lembaga keuangan biaya yang sudah ditetapkan akan terjamin pembayarannya. Sementara bagi nasabah keringanan-keringanan dapat dari adanya "rekening ganda" tersebut, artinya dana yang disetor bukan saja sebagai pemenuhan kewajiban, namun juga deposit yang sekaligus berfungsi sebagai investasi manakala terjadi masalah dikemudian hari.
Skema ini tersebut berlaku untuk KPR, kartu kredit, dan produk-produk keuangan lainnya. Bahkan KPR bank lebih memungkinkan sistem tersebut dilakukan (sewa dan saving). Jika selama ini tidak terjadi praktek semacam itu solusi terbaik untuk menghindari riba hanyalah membeli tunai, jika masih menggunakan jasa pihak ketiga (bank atau leasing) tetap belum memenuhi kaidah syariah karena kerancuan dalam akad, jika tidak meluruskan skema akad. Wallahua'lam. Barakallahu lakum***
*Candidate Certified Syariah Financial Planner -CSFP
TULISAN ASLI DIPUBLIKASIKAN DI:
http://www.facebook.com/note.php?note_id=484183990364
http://arrijal9partners.wordpress.com/artikel-buku/
Simak profile penulis disini: