Mohon tunggu...
Abu Yusuf
Abu Yusuf Mohon Tunggu... -

ArRIJAL & Partner’ S adalah Konsultan Syariah Independen dalam jasa manajemen keuangan & pemasaran.\r\nSekaligus bekerjasama dengan pemasar produk beberapa lembaga keuangan dan memasarkan produk beberapa institusi bisnis sesuai dengan kebutuhan klien.

Selanjutnya

Tutup

Money

Awas! Masih Ada Riba & Gharar di Bank Syariah

25 Oktober 2010   10:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:07 2701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Siapakah pihak yang mendatangkan barang itu (selaku penjual) kepada kita (selaku pembeli)? Bila bank yang mendatangkan barang itu (misal rumah) kepada kita, artinya bank sebagai penjual, maka transaksi itu masuk perniagaan biasa (murabahah) dimana kita selaku pembeli. Tetapi apabila kita (sebagai pembeli) justru yang mendatangkan barang itu kepada

bank, untuk mereka beli lebih dulu (talangan), lalu dijual kepada kita lagi, maka hal itu berarti masuk akad hutang-piutang (mencicil talangan).

2. Kepada siapa kita (selaku pembeli) mengajukan keberatan atau komplain jika ada masalah terhadap barang yang kita beli melalui akad itu, baik karena kerusakan atau cacat? Bila bank tidak mau menerima komplain dan tidak bertanggungjawab terhadap kerusakan atau cacat barang yang kita beli dalam akad itu, berarti bank tidak berlaku sebagai penjual (yang harusnya bertanggungjawab tentang hal itu). Ini berarti akad yang terjadi bukanlah murabahah, melainkan hutang-piutang. Namun bila bank mau bertanggungjawab, maka bank menempatkan dirinya selaku penjual, sehingga akadnya masuk kategori Murabahah biasa.

Belum lagi status Down Payment (DP) dalam transaksi sewa beli ini yang selalu dipersyaratkan (10-20%). Hal ini semakin menidakjelaskan status kepemilikan barang tersebut.

Ini berarti, proses KPR di bank syariah pada hakekatnya adalah akad hutang-piutang, meski secara hitam di atas putih akad murabahah. Dengan demikian, pengenaan margin keuntungan oleh bank kepada pembeli pada hakekatnya adalah tambahan atas pokok pinjaman yang jatuh kepada riba --menurut penjelasan di atas. Perubahan sekedar nama menjadi Murabahah itu tidak mengubah status hukumnya sebagai hutang-piutang.

Jadi, bagaimana dengan KPR kita di bank syariah? Bukankah demikian yang terjadi di lapangan? Apakah itu berarti proses bank mendapatkan rumah yang kita upayakan hanyalah akal-akalan agar bisa dibentuk akad murabahah antara bank dengan kita dan terhindar dari Riba. Akadnya jadi gharar/ tidak jelas.

Riba adalah benang merah yang dapat muncul diantara tijaroh (bisnis) dan tabarru (kebajikan). Mengapa terjadi? Karena pada hakikatnya manusia cenderung menghindari kerugian, ketidakpastian, kehilangan keuntungan, dll. Sehingga dengan adanya tambahan yang lebih menjanjikan (guarranted) lebih disukai. Dalam investasi (bisnis), baik tijaroh maupun tabarru, pemilik uang tidak ingin rugi dan ketika meminjamkan berharap sepenuhnya harta kembali. Selain itu yang dipinjamkan bernilai investasi, maka berharap bertambah dikemudian hari.

Jika dikelompokan, secara umum akad syariah dapat ditarik dari 2 kepentingan yaitu; Tijaroh (bisnis) dan Tabarru (Al Qard Al Hasan). Dalam tijaroh meliputi transaksi yang bertujuan untuk mencari keuntungan, misalnya jual beli (murabahah), sewa-menyewa, syirkah (penggabungan yang meliputi musyarakah dan mudharabah, dll. Sementara dalam tabarru meliputi transaksi yang bertujuan memberikan bantuan uluran tangan dan meringankan kesusahan orang lain (Al Qardh Al Hasan), misalnya hutang-piutang, hibah (takafuli/ ta'awun/ asuransi) dan lain-lain. Juga transaksi yang bertujuan memberikan jaminan kepada pihak lain, bahwa haknya tidak akan hilang, misalnya pegadaian/ jaminan dan lain-lain.

Ada 2 istilah yang lazim digunakan dalam akad sewa beli, yaitu Ijarah Muntahiya Bittamlik dengan menyandarkan pada akad Murabahah (jual Beli) dan Musyarakah Mutanaqishah yang menyandarkan pada kerjasama kepemilikan. Pada prakteknya, yang jadi persoalan adalah manakala nasabah mengalami ketidak mampuan bayar atau pembatalan akad/ pengakhiran sewa beli dalam masa kontrak, baik keterlambatan atau bahkan ketidakmampuan sementara, bahkan hingga ketidakmampuan yang lebih berat lagi (tetap). Jika di denda jelas tambahan biaya tersebut sebagai riba, jika dibebaskan kemungkinan kecil bisa terjadi. Karena biasanya berakhir pada penyitaan aset, umumnya nasabah dalam posisi yang kurang menguntungkan.***

*Candidate Certified Syariah Financial Planner -CSFP

[1] http://www.pengusahamuslim.com/baca/artikel/524/mengenal-jual-beli-murabahah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun