[caption caption="apbn"][/caption]
Oleh: Amirsyah
Beberapa kalangan menganggap mekanisme pencairan dana dalam belanja/pengeluaran APBN sangat panjang dan banyak persyaratan sehingga menyebabkan penyerapan anggaran menjadi rendah. Hal ini membuat APBN kurang optimal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pengeluaran pemerintah. Benarkah demikian? Artikel ini mencoba menjelaskan proses belanja negara secara sederhana. Semoga dapat meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai seluk beluk pengeluaran negara.
APBN, uangnya harus dicari dulu
Mungkin banyak yang belum mengetahui bahwa anggaran belanja negara dalam APBN setiap tahun, yang akan dibelanjakan melalui berbagai instansi pemerintah di seluruh Indonesia (termasuk alokasi dana untuk pemda), ternyata belum tersedia dananya di kas negara. Kas negara baru terisi sedikit saja, yang berasal dari sisa anggaran tahun sebelumnya. Sebagian besar anggaran belanja tersebut harus dicari dulu uangnya melalui berbagai penerimaan negara seperti dari penerimaan migas, pajak, penerimaan negara bukan pajak, penerimaan lainnya dan pinjaman atau hibah dalam/luar negeri. Masing-masing instansi yang bertugas dalam penerimaan negara memiliki target penerimaan yang harus dicapai setiap tahun.
[caption caption="kenaikan belanja dan penurunan pajak"]
Perencanaan Sebelum Membayar Tagihan Belanja Negara
Pengeluaran negara yang terus terjadi harus dibayar bagaimanapun caranya. Sambil menunggu penerimaan negara yang terealisasi bertahap, maka pengeluaran perlu diatur sedemikian rupa agar tidak membuat jebol kas negara atau terjadi gagal bayar yang akan membuat heboh perekonomian nasional. Maka diperlukan perencanaan kas yang matang dalam pengelolaan keuangan negara. Agar setiap pengeluaran dapat segera dicarikan dananya dari penerimaan yang telah masuk ke kas negara. Bila penerimaan tidak mencukupi, maka diambil dari sisa anggaran tahun sebelumnya dan atau dipenuhi melalui pinjaman/hibah dari dalam/luar negeri.
Perencanaan kas ini diatur oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN). Tata cara, monitorig dan evaluasinya berada pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Di tingkat daerah di seluruh Indonesia, pelaksanaan perencanaan kas dikirimkan kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Setiap instansi pemerintah pusat harus mengirimkan perencanaan kas yang disebut rencana penarikan dana (RPD) pada KPPN.
[caption caption="tabel rencana penarikan dana"]
Idealnya, setiap pengeluaran negara harus melalui perencanaan kas/RPD. Namun agar tidak memberatkan dalam pelaksanaannya, maka dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 277/PMK.05/2015 perencanaan kas hanya diwajibkan untuk transaksi besar yang dibedakan berdasarkan wilayah pembayaran. Misalkan wilayah KPPN Tipe A1 Provinsi:
- Klasifikasi Transaksi A yaitu pengeluaran kotor lebih besar dari Rp1 Triliun, maka RPD diajukan 15 hari kerja sebelum pengajuan Surat Perinta Membayar (SPM). Apabila ada perubahan RPD, maka diajukan 10 hari kerja sebelum pengajuan SPM.
- Klasifikasi Transaksi B yaitu pengeluaran kotor antara Rp500 miliar s.d. dari Rp1 Triliun, maka RPD diajukan 10 hari kerja sebelum pengajuan SPM. Apabila ada perubahan RPD, maka diajukan 5 hari kerja sebelum pengajuan SPM.
- Klasifikasi Transaksi C yaitu pengeluaran kotor antara Rp1 miliar s.d. Rp500 miliar, maka RPD diajukan 5 hari kerja sebelum pengajuan SPM.
Apabila satuan kerja (satker) pemerintah tidak mengajukan atau terlambat menyampaikan RPD, maka SPM yang diajukan ditolak. Satker harus mengajukan RPD lagi terlebih dahulu sesuai ketentuan, baru permintaan pembayarannya dapat diproses.
Contoh kasus: suatu satker hendak membayar kepada kontraktor atas realisasi pembangunan gedung sebesar Rp1 miliar. Satker tersebut harus mengajukan RPD lima hari kerja sebelumnya. Misalkan RPD diajukan hari ini maka permintaan pembayaran diajukan lima hari kemudian, KPPN akan memproses pencairan dana dan mentransfer Rp1 miliar ke rekening kontraktor hanya dalam beberapa jam saja. Tanpa RPD, permintaan pembayaran ditolak KPPN. Proses ini melalui sistem yang tidak bisa diintervensi siapapun baik pegawai/petugas maupun pejabat yang berwenang di KPPN. Hal ini mengeliminasi potensi terjadinya negosiasi dengan imbalan tertentu agar pembayaran dapat dilakukan walaupun tanpa melalui rencana penarikan dana.
Laporan dan Pertanggungjawaban Keuangan Pemerintah
Setiap pengeluaran negara harus dilaporkan dan dipertanggungjawabkan walaupun hanya satu rupiah, dituangkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah (LKP). LKP diaudit oleh BPK, bahkan bila perlu diperiksa secara mendalam. Untuk memudahkan membuat LKP yang handal dan akuntabel, diperlukan sistem pelaporan yang terintegrasi dengan pelaksanaan pengeluaran negara. Ditjen Perbendaharaan bersama kantor vertikal yaitu Kantor Wilayah (Kanwil) dan KPPN, mengupayakan agar Kementerian/Lembaga Negara (K/L) dapat membuat LKP terstandar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Serangkaian sistem beserta apiikasi komputer telah disiapkan untuk pembuatan LKP oleh masing-masing K/L yang dimulai dari satker-satkernya. Hal ini memungkinkan K/L dapat menyusun laporan keuangan walaupun memiliki ribuan satker yang di seluruh Indonesia bahkan di daerah terpencil sekalipun. Apalagi pemerintah telah menerapkan laporan keuangan berbasis akuntansi akrual, hal ini membuat laporan keuangan menyajikan berbagai transaksi yang sesuai dengan kondisi sebenarnya. Dengan demikian laporan keuangan pemerintah menjadi lebih akurat, transparan dan akuntabel.       Â
 [caption caption="BUN"]
Penulis: Amirsyah/197502141999031002/Dit.APK
Disclaimer:
Tulisan merupakan opini pribadi dan tidak mewakili pandangan organisasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H