Mohon tunggu...
Perawati Bte Abustang
Perawati Bte Abustang Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Unimerz dan Mahasiswa Pendidikan Dasar Program Doktoral Jakarta

Dosen disalah satu perguruan tinggi swasta yang memiliki ketertarikan dalam melakukan penelitian dan pengabdian yang dituangkan dalam tulis-tulisan dalam bentuk artikel utamanya terkait bidang pendidikan dan sosial. Tertarik pada kajian Multikultural, Karaktek, Literasi dan Kearifan Lokal.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Multikultural terhadap Pembentukan Karakter Anak Sekolah Dasar di Ammatoa Kajang

18 Oktober 2022   23:27 Diperbarui: 18 Oktober 2022   23:43 904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber:pinterpolitik.com)

Pendidikan pada dasarnya adalah suatu usaha untuk membentuk manusia yang berilmu sekaligus berkarakter agar mampu menjad insan yang bisa menjalani kehidupannya dengan baik dan mandiri dalam hubungannya dengan orang lain sebagai makhluk sosial. Pendidikan dianggap mampu menjadi jalan keluar dalam  menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks dengan berbagai problematika yang terjadi. 

Problematika-problematika yang terjadi butuh solusi atau jalan keluar agar seseorang mampu menemukan harapan atau cita-cita yang ia ingnkan. Pendidikan sendri mempunyai berbagai problem yang selalu berkembang seiring perubahan zaman dalam era yang serba cepat. 

Selain itu, tidak bisa dipungkiri bahwa pendidkan adalah suatu kebutuhan sepanjang hayat dimana manusia akan sulit berkembang dan beradaptasi dengan kemajuan zaman serta akan bisa mengalami kererbelakangan.

Pendidikan juga bisa menjadikan manusia  mampu beradaptasi dengan era yang berlangsung serta manusia mampu hidup denagan orang lain yang berbeda baik berbeda secara suku, agama, ras dan perbedaan lainnya yang begitu banyak ditemukan dalam kehidupan. UNESCO, organisasi PBB yang bergerak dalam bidang pendidikan dan kebudayaan telah merumuskan setidaknya empat pilar pendidikan khususnya lembaga pendidikan formal yakni: 

(1) learnng to know (belajar untuk mengetahui),  (2) learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu), (3) learnng to be (belajar untuk menjaid seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehdupan bersama). Keempat poin tersebut kiranya menjadi arah dalam upaya membentuk insan berpendikan yang akhirnya mampu menjadi kontributor dengan keahlianya tersendiri di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk. 

Poin satu, dua dan tiga apabila ditelaah lebih jauh ketiganya mengerucut pada poin keempat dimana output dari pendidikan adalah bagaimana seseorang mampu menjalani kehidupannya dengan orang lain didalam kehidupan yang multikultural dimana salah satu bentuk multikulturalisme adalah yang bisa ditemukan dalam pendidikan baik dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat universitas atau perguruan tinggi. 

Pendidkan multikultural pada dasarnya bertujuan untuk menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dengan memandang semua manusia itu setara sehingga suatu hubungan yang harmonis bisa terjalin, saling menghargai perbedaan dan mampu hidup bersama dalam suasana rukun dan damai. 

Penddikan multikultural hendaknya ditanamkan sejak pendidikan dasar (SD) sehingga siswa mempunyai pemahaman dasar akan keberagaman yang dimana Negara Indonesi mempunyai begitu banyak bentuk keberagaman yang patut disyukuri dan dilestarikan.

Dengan pemahaman akan keberagaman atau multikultural itulah karakter siswa dapat dibebtuk agar tumbuh menjadi insan yang mampu mencintai keberagaman. Disnilah perlu adanya kerja sama antara orang tua, guru, dan masyarakat dalam pembentukan karakter siswa sehingga kelak mampu terciptanya generasi masyarakat yang siap dan mampu hidup berdampingan dengan berbagai latar belakang yang berbeda tetapi selalu bersatu dalam menjaga dan melestarikan nilai–nlai karakter bangsa. 

Tidak hanya di lingkup pendidikan formal saja  yang menjdi tempat diterapkannya pendidikan multikultural, tetapi juga bisa di lingkup non formal seperti keluarga dan masyarakat. Karena dari keluargalah anak pertama kali mengenal keberagaman atau perbedaan juga masyarakat sebagai tempat yang memiliki keberagaman luasa dan kompleks. 

Penanaman nilai karakter di sekolah dasar dalam nuansa keberagaman akan mampu membuat siswa menjadi pribadi yang mudah berdaptasi dengan segala bentuk perbedaan yang akan ia temukan nantinya dalam kehidupan selanjutnya. 

Karakter siswa bisa terbentuk melalui pendidikan multikultural tanpa harus kehilangan jati dirinya sendiri sebagai seorang pribadi yang pada dasarnya adalah berbeda dan unik. Indonesia merupakan negara yang memiliki sejuta kebudayaan dimana setiap daerah memiliki kebudayaan yang khas sehingga Indonesia dapat dikategorikan sebagai surga budaya, setiap wisatawan yang berkunjung memiliki kesan tersendiri akan budaya Indonesia, hal ini dikarenakan keramahan dan kebudayaan masyarakat. Kebudayaan yang di miliki setiap daerah di Indonesia memiliki daya tarik bagi wisatawan, baik dalam maupun luar daerah bahkan luar Negeri.

Kebudayaan diwujudkan dalam bentuk tata hidup sebagai pencerminan yang konkret dari nilai budaya yang bersifat abstrak. Kebudayaan dapat diartikan sebagai kegiatan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, serta kebiasaan yang melekat pada masyarakat sebagai wujud kearifan lokal. Kearifan lokal budaya yang ada di Sulawesi Selatan salah satunya adalah budaya tabe‟ (permisi).

Budaya tabe‟ merupakan salah satu budaya tata krama dalam suku Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja (Sulawesi-Selatan) dimana budaya tabe‟ memperlihatkan tindakan sopan santun yang tidak hanya di ucapkan namun juga diterapkan dalam tindakan. Budaya tabe‟ merupakan perwujudan perilaku dan karakter Sulawesi Selatan yang semestinya dilestarikan sehingga budaya kearifan lokal tetap terjaga. 

Hal ini sejalan dengan pendapat Jenkins and Watson (2004) sebagaimana dikutip Bauto (2013) emphasized how important the role of local wisdom as a strategy to face the challenges of “cultural imperialism” and “culture” of its homogeneity. Budaya tabe‟ diaplikasikan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan sekolah. Budaya yang kuat dalam kehidupan masyarakat dapat membentuk karakter yang kuat pula. 

Oleh karena itu budaya tabe‟ memiliki peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat sebagaimana halnya peran pendidikan. Hilangnya karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa. Maka dari itu, pembentukan karakter adalah persoalan bagaimana aplikasi budaya tabe‟ di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

Eksistensi tabe‟ sebagai budaya lokal perlu dipertahankan lewat pendidikan karakter. Pendidikan karakter berbasis tabe‟ dimaknai sebagai sesuatu yang dipelajari serta diwariskan kepada generasi atau mengubahnya menjadi sesuatu yang baru.

Pembentukan karakter siswa tidak terlepas dari unsur pikiran karena pikiran menjadi wadah untuk program yang terbentuk dari pengalaman hidup. Hasil pola berpikir mampu memberikan pengaruh terhadap perilaku seseorang. Perilaku adalah sebuah gambaran karakter siswa. 

Perwujudan siswa yang berkarakter bisa ditempuh dengan character building yang di dasari dengan nilai kearifan lokal. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. UU Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 menyatakan bahwa diantara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia. 

Maksud UU Sisidiknas tahun 2003 agar pendidikan tidak dilakukan hanya sekedar seremoni yang melahirkan generasi Indonesia yang cerdas, namun juga generasi bangsa yang berkarakter. Budaya tabe‟ adalah nilai dasar yang sangat penting dalam tatanan masyarakat di daerah Sulawesi Selatan khususnya pada masyarakat suku Bugis dan Makassar.

Nilai keakraban menjadi hasil dari pembudayaan sikap tabe‟ meskipun sebelumnya tidak saling mengenal. Jika seseorang tidak mampu mengaplikasikan nilai tabe` maka orang tersebut dianggap tidak mengerti adat sopan santun atau tata krama. 

Apalagi saat ini justru yang sering ditemukan banyak anak-anak yang memakai kata “Bro” untuk menyapa orang yang lebih tua dari mereka, melewati orang tanpa permisi bahkan kepada orang tua mereka sendiri (Mahmud, 2016:57). Tabe‟ adalah salah satu tanda penghormatan yang ditujukan kepada seseorang. 

Kata tabe‟ merupakan simbol dari upaya menghargai dan menghormati seseorang yang ada dihadapan orang lain, seseorang tidak boleh berbuat sekehendak hati (Koentjaraningrat, 2010:277). Perwujudan tabe‟ dapat dilihat sebagai berikut:

1. Seseorang melintas di depan orang lain yang masih berumuh muda, sebaya, maupun lebih tua, baik yang punya gelar ataupun tidak, dengan mengucapkan kata tabe‟ sambil menundukkan badan dan kepala dan mengulurkan tangan ke bawah atau cukup dengan sebuah isyarat sikap menunduk badan dan kepala sambil tersenyum .

2. Seseorang yang akan menghadap kepada orang yang lebih tua seperti Bapak/Ibu, Sang Puang, Datuk, dan Opu.

3. Saat memberikan atau menyodorkan serta mengambil barang dari seseorang, entah itu lebih tua atau lebih muda dari orang tersebut.

Etnis Bugis, Makassar, Toraja, Mandar adalah empat etnis yang ada di Sulawesi Selatan. Setiap etnis memiliki ragam budaya yang berbeda meskipun dalam beberapa aspek, etnis Bugis Makassar menjadi icon mewakili Sulawesi Selatan sehingga ketika membahas tentang budaya Sulawesi Selatan contohnya budaya tabe‟ maka yang nampak adalah etnis Bugis Makassar. 

Pada hakekatnya kebudayaan dan pandangan hidup orang Sulawesi Selatan pada umumnya sama. Aplikasi budaya tabe‟ sebagai ciri Sulawesi Selatan menjadi pedoman ke empat etnis tersebut. Budaya tabe‟ sebagai sikap yang sederhana namun tersirat kandungan nilai yang besar bagi Sulawesi Selatan sehingga budaya tabe‟ menjadi sebuah budaya yang mesti dilestarikan.

Nilai tersebut seperti sikap berani, setia, memiliki semangat kerja yang tinggi, kerjasama. Hal ini sejalan dengan pendapat Abdu (2007:30) mengemukakan nilai-nilai budaya Bugis Makassar sebagai berikut, nilai kesetiaan, nilai keberanian, nilai kebijaksanaan, etos kerja, kegotongroyongan, keteguhan, solidaritas, persatuan, keselarasan, dan musyawarah. 

Pembangunan insan yang berbudaya dan bermoral dapat dikembangkan melalui pelestrarian nilai-nilai luhur dalam budaya tabe‟. Adapun nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya tabe‟ adalah yang dikenal dengan falsafah 3-S sebagai berikut:

a) Sipakatau dikenal dengan istilah saling memanusiakan atau saling menghormati yakni mengakui segala hak tanpa memandang status sosial ini bisa juga diartikan sebagai rasa kepedulian sesama. Penghargaan terhadap sesama manusia menjadi landasan utama dalam membangun hubungan yang harmonis antar sesama manusia serta rasa saling menghormati terhadap keberadaban dan jati diri bagi setiap anggota kelompok masyarakat. 

Salah satu tindakan sipakatau yaitu tabe‟ yang memberikan makna bahwa sikap saling menghargai yang diimplementasikan dalam hubungan sosial yang harmonis yang ditandai oleh adanya hubungan inter subyektifitas dan saling menghargai sebagai sesama pegawai maupun pegawai dengan atasan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berwibawa (Syarif, E., dkk, 2016:16).

b) Sipakalebbi yaitu sikap saling menghargai terhadap sesama manusia, yakni sikap yang senantiasa memperlakukan orang dengan baik. Budaya tabe‟ menunjukkan bahwa yang ditabe‟ki dan yang men‟tabe‟ adalah sama-sama tau (orang) yang dipakalebbi.

c) Sipakainge yaitu tuntunan bagi masyarakat Sulawesi Selatan untuk saling mengingatkan. Wujud dari tabe‟ adalah timbulnya sikap sipakatau, sipakainge dan sipakalebbi. Budaya tabe‟ menunjukkan bahwa yang ditabe‟ki dan men‟tabe‟ adalah sama-sama tau (orang) yang harus dipakalebbi. Dalam tradisi ini, orang yang melakukan tabe‟ selain harus mengucapkan kata tabe‟ itu sendiri, juga harus membungkukkan badan sambil meluruskan tangan kanan ke bawah.

Tabe’ dalam Pembentukan Karakter Siswa di sekolah dasar. Budaya tabe‟ sangat berperan penting dalam pembentukan karakter siswa dalam sifat santun dan hormat. Oleh karena menanamkan sikap tabe‟ ini dalam menghormati orang yang lain harus selalu diingat dan diutamakan. Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran.

Didalam pikiran terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidup. Hal ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berpikir yang bisa mempengaruhi perilaku. Perilaku siswa juga ditentukan oleh faktor lingkungan, seseorang akan menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter. 

Untuk mewujudkan siswa sebagai anak bangsa yang berkarakter maka perlu adanya character building yang didasari dengan kearifan lokal. Oleh karena itu, hakikat pendidikan karakter adalah pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. 

Tabe‟ merupakan kecerdasan sikap yang akan membentuk dan mendidik anak-anak atau generasi muda agar tercipta nilai-nilai bangsa yang saling menghormati. Tabe‟ sebagai kearifan lokal proses pewarisan dalam rangka pembentukan karakter siswa. Pola pewarisan nilai budaya lokal masyarakat Sulawesi Selatan melalui pelestarian budaya, dan adat istiadat yang dapat membentuk karakter. 

Pewarisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat Sulawesi Selatan tidaklah mudah bahkan menghadapi tantangan yang cukup berat dengan seiringnya perkembangan era tekhnologi. Salah satu hambatan yang dihadapi siswa adalah arogansi dalam pembelajaran dengan mengutamakan digital dan mengabaikan unsur kearifan lokal. 

Tsai mengatakan bahwa especially when some recent study has reported on an emerging trend that much more students viewed web-based learning as pursuing real understanding and seeing in a new way than those for learning in general. 

Persoalan karakter siswa menjadi sorotan tajam masyarakat atau menjadi isu sentral dewasa ini, yang menyedot perhatian, pemikiran dan keperihatinan banyak orang di negeri ini. Pada dasarnya, yang dipersoalkan adalah menyangkut semakin memudarnya nilai-nilai budaya dan karakterdalam kehidupan bermasyarakat (Kemendiknas, 2010:2).

(Sumber:pinterpolitik.com)
(Sumber:pinterpolitik.com)

Karakter dari bahasa Yunani yang berarti “to mark”. Istilah ini fokus pada tindakan atau tingkah laku. Menurut Muslich karakter memiliki dua pengertian yaitu menunjukkan bagaimana orang bertingkah laku dan berkaitan dengan personaliti. Berkaitan dengan seorang yang bertingkah laku, jika seseorang bertingkah laku baik seperti suka menolong, jujur, menunjukkan karakter mulia dan ini berlaku pula sebaliknya.

 Karakter berkaitan dengan personaliti maksudnya adalah seseorang yang disebut berkarakter jika tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Karakter dibentuk melalui proses pembelajaran dibeberapa tempat, seperti di rumah, sekolah, dan dilingkungan sekitar tempat tinggal. Pihak yang berperan penting dalam pembentukan karakter seorang anak yaitu keluarga, guru, dan teman sebaya. 

Dalam salah satu tulisan kolumnis di kompasiana, 17 Oktober 2022 tentang pendidikan multikultural dalam pembentukan karakter seorang siswa biasanya akan sejalan dengan perilakunya Bila siswa selalu melakukan aktivitas yang baik seperti sopan dalam berbicara, suka menolong, atau pun menghargai sesama, maka kemungkinan besar karakter siswa tersebut juga baik, akan tetapi jika perilaku siswa buruk seperti suka mencela, suka berbohong, suka berkata yang tidak baik, maka kemungkinan besar karakter siswa tersebut juga buruk.

Artinya bahwa budaya tabe‟ di Sekolah yang diaplikasikan siswa dengan baik akan mendukung keberhasilan program pendidikan karakter. Sebaliknya, akan menghambat jika budaya tabe‟ tidak teraplikasi dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa budaya tabe‟ di Sekolah mempunyai pengaruh besar terhadap proses implementasi pendidikan karakter sehingga melahirkan siswa yang berkarakter. 

Menumbuhkan karakter merupakan gerakan nasional untuk membina generasi muda yang beretika, bertanggung jawab dan memiliki rasa kepedulian yang ditempah dalam dunia pendidikan. Pendidikan karakter adalah usaha menanamkan kebiasaan sehingga siswa mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya. 

Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action). Hasanin S.Pd menyatakan bahwa pendidikan multikultural dalam pembentukan karakter yang ada di SDN 351 di Ammatoa kajang ini menerapkan budaya lokal dan mengimplementasikan budaya tabe‟ ini dapat terwujud dalam lingkungan keluarga, masyarakat serta di sekolah.

Budaya tabe‟ di sekolah merupakan usaha dalam menciptakan dan menanamkan nilai-nilai karakter pada semua warga di sekolah, di antaranya membuat program atau kebijakan pendidikan karakter, membentuk budaya sekolah dan mengkomunikasikannya kepada semua pihak sekolah, memelihara nilai-nilai karakter, serta menghargai pencapaian dari setiap pihak di sekolah. 

Tabe‟ yang terjaga dalam diri siswa akan menumbuhkan nilai-nilai dasar yang disepakati secara nasional. Nilai-nilai yang dimaksudkan di antaranya adalah kejujuran, dapat dipercaya, kebersamaan, toleransi, tanggung jawab, dan peduli kepada orang lain” (Suyitno, 2012). Siswa yang berkarakter adalah individu yang mengetahui tentang kebaikan, menginginkan dan mencintai kebaikan, serta melakukan kebaikan. 

Karakter merupakan hal yang sangat penting dan mendasar. Karakter adalah mustika hidup yang membedakan manusia dengan binatang (Muslich, 2011: 75). Alwisol  karakter merupakan penggambaran tingkah laku yang dilaksanakan dengan menonjolkan nilai (benar-salah, baik-buruk) secara implisit ataupun ekspilisit. 

Karakter berbeda dengan kepribadian yang sama sekali tidak menyangkut nilai-nilai. Proses terbentuknya karakter, karakter yang dimiliki oleh seorang anak pada dasarnya terbentuk melalui proses pembelajaran yang cukup panjang. Karakter manusia bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir. Lebih dari itu, karakter merupakan bentukan atau pun tempaan lingkungan dan juga orangorang yang ada di sekitar lingkungan tersebut. 

Siswa tanpa karakter adalah manusia yang yang tidak memiliki jati diri. Orang-orang yang berkarakter kuat dan baik secara individual maupun sosial ialah mereka yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik. 

Mengingat begitu urgennya karakter, maka institusi pendidikan memiliki tangung jawab untuk menanamkan melalui proses pembelajaran menyesuaikan diri dengan standar sosial dan cita-cita internal terutama untuk menghindarkan rasa tidak puas dengan diri sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun