Ia pikir ini hanya geguyonan belaka, "Babe I'm Gonna Leave You", baru ia tahu kalau Led Zepplin tak bohong, John Boham ternyata ingin pamit. Air matanya mengembun. Menitik kecil di wajahnya yang tak menggurat senyum. Ia seka. Sejumput ingatannya menggelinding jauh...Seperti Kemuning dulu juga begitu, "aku pamit mas..." tak ia tangkap tangannya, tak sempat. Dan baru ia tahu kalau cinta itu sangat menyebalkan.
Di stasiun ini ia menunggu, entah berapa lama ia menanti kekasihnya itu. Pada bangku peron stasiun Poncol, sejarahnya terprasastikan pada sebentuk guratan bokongnya dan bokong Kemuning. Sebulan, dua bulan, dan akhirnya genap setahun ia duduk disitu tiap malam menunggu Kereta Brantas. Juga disana ia bertemu Kemuning, di gerbong kelas ekonomi kereta itu.
Dan semenjak hari itu dia jatuh cinta dengan Kemuning perempuan keturunan Tionghua itu. "Matamu seperti bulan sabit Kemuning," rayunya dulu. Dulu ketika hati mereka masih berwarna merah, semerah buah jambu muda. Sementara ia keturunan Jawa murni, Jawa tanpa darah biru. Itu terbukti dari hidungnya yang pesek, juga legam kulit sawo matangnya.
Ternyata, selama di Semarang, ia selalu mendatangi Kemuning dan berkirim surat kangen pada Kemuning. Semacam surat cinta. Tapi alangkah picisan cerita ini bila hati Kemuning bisa luluh hanya dengan selembar surat cinta saja? Tentu tidak, dan tentu ia perlu perjuangan berat, karena ia bukanlah seorang penyihir atau semacamnya, ia hanyalah seorang kuli bangunan di Podok Indah.
Sungguh indah dunia ini memang, segalanya terbentuk seperti sudah digariskan dan digambarkan sedemikian artistiknya. Romantika kehidupan bak panggung sandiwara Shakespeare. Dan mereka jatuh cinta dan memadukasih di Semarang.
Dua tahun mereka memadu kasih, mendadak Kemuning ingin pergi ke Jakarta bersama Babahnya. Kemuning ingin menjaga toko Babahnya di Jakarta, tepatnya di Kampung Pecinan. Di stasiun Poncol dia berpisah dengan Kemuning. Ia bersedih. Kata Kemuning, dia akan kembali. Kemuning menyuruh ia untuk menunggunya di Stasiun Poncol.
Ia, lelaki itu, setia menunggu Kemuning di bangku peron Stasiun Poncol tiap malam, menunggu kereta Brantas membawa Kemuning pulang. Selama setahun ia menunggu, tapi gerbong Kereta Brantas tak juga membawa Kemuning. Dan selama setahun itu pula ia tak pernah berkirim surat karena Kemuning tak meninggalkan alamat untuknya.
Setiap malam di bangku stasiun Poncol, ia selalu mengenang saat-saat indah bersama Kemuning. Membeli rengginang dan apem, atau sandang baju di Pasar Johar. Juga ketika malam menjelmakan kesenduan, mereka berhambur menuju angkringan nasi kucing di Simpang Lima. Minum Es tebu di perempatan Mataram. Memadukasih di jalan Pahlawan. Atau membelikan dua stel kutang untuk Kemuning di Pasar Burung. Indah sekali. Ia juga selalu mengenang saat-saat pertamakali ia bertemu dengan Kemuning di Gerbong Kereta Brantas. Juga mengenang saat Kemuning pergi.
Duhh Kemuning, kulitmu kuning gading bak pualam. Aku tak bisa melupakan senyum indahmu. Pada hati merah jambuku ini, hati sederhana yang kupunya. Jika kamu mau, aku berikan hati cintaku, katanya seperti ingin berpuisi.
Duhai Kemuning, bila benar hidup ini di titis dan menitis kembali, aku ingin menjadi kunang-kunang, pada sinarku yang kuning kehijauan aku akan menjadi pelita penerang jalanmu, ia kembali dilanda melankolia.
Ia tak cukup paham dengan hatinya sendiri. Macam kena mantra cinta, ia terus saja menggigau sepanjang malam, sepanjang penantiannya di stasiun itu. Stasiun yang seolah-olah dirundung kepiluan hatinya.
Apakah ia sungguh-sungguh gila? Apakah ia memang sedang ingin menjadi sinting? Sinting karena cintakah? Ohh, cinta, betapa lara hati bila mengenangmu. Kau semacam perut diujung pucuk sembilu. Dan kau semacam ketakutan yang acap kali menyelinap begitu terasa, pikirnya.
Malam tak berganti susana, tetap gelap bertabur kerlip-kerlip bintang di angkasa. Bagai cerita tanpa judul, langit ternyata menyimpan tiap kedip mata hatinya, di sana, pada kejora yang ingin menyingkap pagi.
Pada suara gemeretak roda kereta, kerinduannya berlarian jauh ditiap nyanyian anak-anak jalanan yang di peluk galau atap sirap stasiun ini. Dan pada hembusan suara angin ia slalu titipkan bisikan gelisah, tertulis semua yang ada di dinding gerbong ini, awan-awan, dan angin yang menyertainya: sampaikanlah pada kekasih dan pertemuan..., jika kau tak sampai dan kembali, jangan hiraukan aku yang mereka-reka kisahnya malam ini. Setidaknya itu cukup melipur keheningan, katanya melipur lara hati.
Hingga pada suatu malam, kereta Brantas datang. Dan sekali lagi, seperti biasanya, ia mengecek tiap gerbong Kereta Brantas berharap mendapatkan Kemuning disana. Namun ketika ia ingin mengecek, seseorang yang ia kenal turun dari salah satu gerbong: Kemuning. Tapi betapa kagetnya ia, ternyata kemuning sudah bersuami dan beranak.
Dalam sebuah dialog panjang, ia bertanya kepada Kemuning dan Kemuning menjelaskan kepadanya panjang dan lebar. Ternyata kepergian Kemuning setahun yang lalu bukanlah ingin menjaga toko Babahnya di Jakarta, tapi Kemuning sedang dijodohkan dengan seseorang pemuda keturunan Tionghua. Kemuning sengaja tak memberitahukannya, karena sesungguhnya Kemuning terlalu sangat mencintainya.
Disuatu sore yang indah ia, lelaki itu, kembali mengantarkan Kemuning untuk pamit. Kemuning menaiki kereta Brantas bersama keluarganya dan suaminya. Sekali lagi, lelaki itu, mengantarkan Kemuning untuk pergi. Namun bukan pergi untuk kembali. Tapi pergi untuk selama-lamanya dari hadapannya.
Lelaki itu memendam cintanya dalam-dalam. Pada suatu tahun yang telah berlalu ia menulis kisah cintanya itu dengan imajinasi indah. Ia menulis sebuah cerita novel yang akan melambungkan ingatannya betapa hebatnya sebuah penantian itu. Cha Bau Khan, pada tiap lembaran buku ini kutulis kisah kita. Dulu, kau datang kehidupku, seperti cahaya lembut siluet. Aku tak pernah melupakan matamu yang indah. Jangan sedih ketika rasa sepi datang mendekat. Biarkan hidup kita di isi dengan tertawa dan cerita indah. Senyummu, serumpun aroma telaga yang takkan tenggelamkan kisah kita.
Jakarta-Semarang, Februari 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H