Mohon tunggu...
Peran Sabeth Hendianto
Peran Sabeth Hendianto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

yang sempat hilang,,,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Cintaku Singgah di Gerbong Kereta Brantas"

16 Februari 2012   01:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:35 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apakah ia sungguh-sungguh gila? Apakah ia memang sedang ingin menjadi sinting? Sinting karena cintakah? Ohh, cinta, betapa lara hati bila mengenangmu. Kau semacam perut diujung pucuk sembilu. Dan kau semacam ketakutan yang acap kali menyelinap begitu terasa, pikirnya.

Malam tak berganti susana, tetap gelap bertabur kerlip-kerlip bintang di angkasa. Bagai cerita tanpa judul, langit ternyata menyimpan tiap kedip mata hatinya, di sana, pada kejora yang ingin menyingkap pagi.

Pada suara gemeretak roda kereta, kerinduannya berlarian jauh ditiap nyanyian anak-anak jalanan yang di peluk galau atap sirap stasiun ini. Dan pada hembusan suara angin ia slalu titipkan bisikan gelisah, tertulis semua yang ada di dinding gerbong ini, awan-awan, dan angin yang menyertainya: sampaikanlah pada kekasih dan pertemuan..., jika kau tak sampai dan kembali, jangan hiraukan aku yang mereka-reka kisahnya malam ini. Setidaknya itu cukup melipur keheningan, katanya melipur lara hati.

Hingga pada suatu malam, kereta Brantas datang. Dan sekali lagi, seperti biasanya, ia mengecek tiap gerbong Kereta Brantas berharap mendapatkan Kemuning disana. Namun ketika ia ingin mengecek, seseorang yang ia kenal turun dari salah satu gerbong: Kemuning. Tapi betapa kagetnya ia, ternyata kemuning sudah bersuami dan beranak.

Dalam sebuah dialog panjang, ia bertanya kepada Kemuning dan Kemuning menjelaskan kepadanya panjang dan lebar. Ternyata kepergian Kemuning setahun yang lalu bukanlah ingin menjaga toko Babahnya di Jakarta, tapi Kemuning sedang dijodohkan dengan seseorang pemuda keturunan Tionghua. Kemuning sengaja tak memberitahukannya, karena sesungguhnya Kemuning terlalu sangat mencintainya.

Disuatu sore yang indah ia, lelaki itu, kembali mengantarkan Kemuning untuk pamit. Kemuning menaiki kereta Brantas bersama keluarganya dan suaminya. Sekali lagi, lelaki itu, mengantarkan Kemuning untuk pergi. Namun bukan pergi untuk kembali. Tapi pergi untuk selama-lamanya dari hadapannya.

Lelaki itu memendam cintanya dalam-dalam. Pada suatu tahun yang telah berlalu ia menulis kisah cintanya itu dengan imajinasi indah. Ia menulis sebuah cerita novel yang akan melambungkan ingatannya betapa hebatnya sebuah penantian itu. Cha Bau Khan, pada tiap lembaran buku ini kutulis kisah kita. Dulu, kau datang kehidupku, seperti cahaya lembut siluet. Aku tak pernah melupakan matamu yang indah. Jangan sedih ketika rasa sepi datang mendekat. Biarkan hidup kita di isi dengan tertawa dan cerita indah. Senyummu, serumpun aroma telaga yang takkan tenggelamkan kisah kita.

Jakarta-Semarang, Februari 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun