Mohon tunggu...
Fepri Septian Widjaya
Fepri Septian Widjaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Mercu Buana Kranggan, Bekasi. Prodi: Public Relations. NIM: 44219210013. Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si.Ak.

Mahasiswa Universitas Mercu Buana Kranggan, Bekasi. Prodi: Public Relations. NIM: 44219210013. Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si.Ak.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

K12_Corruption in International Business: A Review and Research Agenda

8 Juni 2022   18:56 Diperbarui: 8 Juni 2022   18:57 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Artikel ini akan meninjau secara sistematis mengenai korupsi yang terjadi dalam bisnis internasional. Korupsi sebagai subjek multidisiplin telah banyak dianalisis oleh para ahli dari berbagai bidang serta disiplin ilmu. 

Namun, penelitian mengenai korupsi dalam bisnis internasional hampir tidak ditemukan sebelum globalisasi bisnis yang terjadi pada tahun 1980-an dan 1990-an. Artikel ini akan menjelaskan mengenai korupsi di bisnis internasional secara sistematis dan mendalam. Berikut adalah ulasan yang dilakukan oleh penulis.

Korupsi dalam bisnis internasional memiliki tiga karakteristik penting didalamnya, yaitu orang atau perusahaan tersebut melakukan beberapa bentuk aktivitas ilegal, orang atau perusahaan menyalahgunakan kekuasaan atau wewenangnya dengan melanggar peraturan yang ada dan bertindak diluar batasan hukum serta yang terakhir adalah segala bentuk tindakan baik orang maupun perusahaan yang menggunakan posisi kekuasaannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi (finansial atau sebaliknya) daripada menguntungkan pemegang saham maupun negara. 

Hal tersebut tentu mencakup semua bentuk korupsi, baik melalui penipuan, kejahatan keuangan, penyalahgunaan, penyuaan, pemalsuan, nepotisme, manipulasi dan lainnya.

Korupsi juga memiliki jenis yang biasanya dijelaskan dalam berbagai literatur, biasanya dibagi menjadi dua jenis yaitu korupsi publik dan korupsi swasta. Korupsi publik didefinisikan sebagai segala bentuk kegiatan ilegal yang dilakukan oleh pemangku kekuasaan seperti pejabat pemerintah, birokrat, atau politisi yang didalamnya melibatkan penerimaan atau penawaran yang sifatnya keuntungan finansial dan non finansial oleh pemerintah atau orang swasta lainnya kepada pemerintah. 

Sedangkan korupsi swasta dipahami sebagai aktivitas ilegal yang dilakukan oleh manajer, karyawan, atau perusahaan yang melibatkan penerimaaan serta penawaran manfaat oleh pihak swasta lainnya maupun pemerintah. 

Korupsi swasta ini diklasifikasikan sebagai pervasif ketika karyawan atau manajer dapat yakin akan perlunya penyuapan ketika berurusan dengan pejabat pemerintah dan sebaliknya secara wewenang. Korupsi umumnya terjadi dari dua sisi, yaitu penerimaan (pemberi suap) dan permintaan (penerima suap). 

Dalam konteks bisnis internasional, korupsi publik dan swasta merupakan situasi endemik dalam masyarakat yang individualistis, dimana mereka tidak terkena norma dan pendidikan tradisional atau kolektivistik. 

Lebih lanjut, hal yang sering terjadi dalam bisnis internasional adalah korupsi di sisi penawaran pada investasi asing biasanya melibatkan investor asing yang menawarkan suap kepada pejabat pemerintahan.

Artikel ini akan menjelaskan mengenai faktor penentu korupsi dalam bisnis internasional. Carmichael (1995) dalam penelitian yang dilakukannya menyajikan tiga situasi umum di mana perusahaan multinasional terlibat dalam korupsi di negara tuan rumah. 

Yang pertama adalah ketika perusahaan tidak dapat melakukan transaksi bisnis baru atau menyelesaikan yang sudah ada tanpa menawarkan suap. Kedua, ketika institusi hukum di negara tuan rumah lemah.

Yang ketiga adalah ketika perusahaan multinasional terlibat dalam korupsi di negara asalnya juga. Salah satu kelompok penelitian berpendapat bahwa faktor penentu korupsi adalah perusahaan. 

Chen, Cullen, dan Parboteeah (2015) mengeksplorasi hubungan antara budaya, manajemen, kontrol pemegang saham, dan kecenderungan perusahaan untuk menyuap. Mereka menemukan bahwa perusahaan yang dikendalikan manajer lebih mungkin daripada perusahaan yang dikendalikan pemegang saham untuk terlibat dalam penyuapan. Kelompok studi kedua berpendapat bahwa faktor penentu korupsi adalah faktor budaya.

  • Mengapa Korupsi dalam Bisnis Internasional Harus Diperangi?

Undang-undang serta peraturan mengenai korupsi sudah banyak dibuat, namun dalam proses implementasinya masih ditemui sistem peradilan yang kemah dan ketidakpedulian pemerintah. 

Padahal, melakukan korupsi merupakan hal yang sangat merugikan baik bagi perusahaan maupun pemerintah. Rose-Ackerman (2002) menganggap tidak melakukan korupsi sebagai tanggung jawab moral perusahaan dan berpendapat bahwa pembentukan standar etika dapat membantu dalam hal ini. 

Kaptein (2004) dalam penelitiannya meninjau kode dan standar bisnis 200 perusahaan terbesar dan menemukan bahwa 46% dari mereka memiliki kode etik melawan korupsi. 

Dalam hal ini, perusahaan tentu perlu menyoroti pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang etis untuk memerangi korupsi dan menganalisis pengaruh korupsi publik pada perusahaan multinasional dalam hal legitimasi organisasi, pengambilan keputusan strategis, dan pilihan masuk.

  • Bagaimana Korupsi dalam Bisnis Internasional bisa terjadi?

Dokpri
Dokpri

Korupsi memang menjadi permasalahan politik global yang paling serius karena mempengaruhi bisnis internasional. Korupsi dan suap memang masih menjadi masalah yang persisten dan membingungkan dalam investasi dan perdagangan. Oleh karena itu diperlukan kajian analisis untuk melihat mengapa hal ini bisa terjadi. 

Meskipun sudah disahkan undang-undang nasional dan internasional yang mengendalikan praktik korupsi, hal tersebut terus menimbulkan permasalahan. Amerika Serikat adalah negara pertama yang mengesahkan undang-undang mengenai larangan korupsi dilakukan oleh individu maupun perusahaan, yaitu Undang-Undang Praktik Korupsi Asing pada tahun 1977. Undang-undang ini ternyata tidak dapat mencegah dan menghukum korupsi dari sisi permintaan dalam transaksi bisnis, sehingga peraturan ini mengalami beberapa kali amandemen.

Pada tahun 1997, untuk pertama kalinya PBB membahaskan mengenai pengesahan undang-undang melawan penyuapan dan korupsi, samai pada akhirnya deklarasi dari hasil pertemuan tersebut menjadi dasar dari undang-undang anti korupsi internasional sampai saat ini. Pedoman ini banyak digunakan baik  negara maju maupun berkembang untuk menetapkan undang-undang antikorupsi nasional dalam bisnis internasional negara mereka. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Guvenli dan Sanyal (2012) menyelidiki apakah sikap terhadap penyuapan berbeda antara pria dan wanita dalam bisnis internasional. Mereka menemukan bahwa pria lebih cenderung ke arah penyuapan daripada wanita.

Baru-baru ini, Tuliao dan Chen (2017) menganalisis gender sebagai penentu penyuapan di antara CEO dan menemukan bahwa CEO pria lebih mungkin terlibat dalam korupsi. Frei, dan Muethel (2017) berpendapat bahwa negara tuan rumah menyediakan tempat berkembang biak bagi perusahaan multinasional untuk korupsi melalui nilai-nilai dan hukum yang lemah. Oleh karena itu, karakteristik daerah merupakan faktor penentu yang signifikan dari korupsi (Sanyal & Samanta, 2017). 

Terakhir, kelompok studi ketiga mengklaim bahwa determinan korupsi adalah faktor ekonomi. Sanyal (2005) menunjukkan bahwa negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah dan distribusi pendapatan yang buruk, dan negara-negara yang mendapat skor tinggi pada skala jarak kekuasaan dan maskulinitas Hofstede lebih cenderung ke arah penyuapan. 

Demikian pula, Sanyal dan Guvenli (2009) menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan dari negara-negara di mana jarak kekuasaan atau orientasi jangka panjangnya rendah, dan individualismenya tinggi, kurang terlibat dalam korupsi. Baughn, Bodie, Buchanan, dan Bixby (2010) mengkonfirmasi bahwa perusahaan dari negara-negara yang mendapat skor tinggi dalam jarak kekuasaan lebih mungkin terlibat dalam penyuapan. Mazar dan Aggarwal (2011) menemukan bahwa suap bervariasi dengan tingkat kolektivisme. Huang, Liu, Zheng, Tan, & Zhao (2015) berpendapat bahwa perhatian tentang evaluasi memainkan peran moderat antara kolektivisme dan korupsi: kolektivisme memfasilitasi korupsi di negara-negara di mana ada sedikit perhatian tentang evaluasi.

Dokpri
Dokpri

Kegiatan korupsi dalam bisnis internasional memiliki dampak yang cukup signifikan, yaitu efek negatif pada investasi asing dan efisiensi operasional, hal tersebut terjadi karena negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi lebih mungkin untuk berinvestasi pada negara-negara yang memiliki tingkat korupsi yang tinggi pula dibandingkan di perusahaan negara lainnya dengan tingkat korupsi yang rendah, hal tersebut dikarenakan rendahnya tingkat pengawasan hukum dan kurang pedulinya tanggung jawab sosial perusahaan. 

Padahal, apabila tingkat korupsi sebuah negara rendah, maka kebebasan ekonomi dan politik memiliki efek positif pada investasi serta perdagangan asing yang berlangsung. Selain itu, tingkat korupsi yang terjadi secara tidak langsung berhubungan dengan tingkat berhasil atau tidaknya sebuah proyek sebuah negara. Sehingga menjadi penting untuk melakukan strategi guna menekan korupsi didalam bisnis internasional.

Daftar Pustaka

Baughn, C., Bodie, N. L., Buchanan, M. A., & Bixby, M. B. (2010). Bribery in international business transactions. Journal of Business Ethics, 92(1), 15--32.

Carmichael, S. (1995). Business ethics: The new bottom line. London: Demos.

Chen, C., Cullen, J. B., & Parboteeah, K. P. (2015). Are manager-controlled firms more likely to bribe than shareholder-controlled firms: A cross-cultural analysis. Management and Organization Review, 11(2), 343--365.

Frei, C., & Muethel, M. (2017). Antecedents and consequences of MNE bribery: A multilevel review. Journal of Management Inquiry, 26(4), 418--432.

Guvenli, T., & Sanyal, R. (2012). Perception and understanding of bribery in international business. Ethics and Behavior, 22(5), 333--348.

Huang, Z., Liu, L., Zheng, W., Tan, X., & Zhao, X. (2015). Walking the straight and narrow: The moderating effect of evaluation apprehension on the relationship between collectivism and corruption. PLoS One. 10(3), 1-12.

Kaptein, M. (2004). Business codes of multinational firms: What do they say? Journal of Business Ethics, 50(1), 13--31.

Mazar, N., & Aggarwal, P. (2011). Greasing the palm: Can collectivism promote bribery? Psychological Science, 22(7), 843--848.

Rose-Ackerman, S. (2002). "Grand" corruption and the ethics of global business. Journal of Banking & Finance, 26(9), 1889--1918.

Sanyal, R. (2005). Determinants of bribery in international business: The cultural and economic factors. Journal of Business Ethics, 59(1), 139--145.

Sanyal, R., & Guvenli, T. (2009). The propensity to bribe in international business: The relevance of cultural variables. Cross-Cultural Management: An International Journal, 16(3), 287--300.

Sanyal, R., & Samanta, S. (2017). Bribery in international business in post-soviet union countries. Journal of East-West Business, 0(0), 1--15.

Tuliao, K. V., & Chen, C. W. (2017). CEO duality and bribery: The roles of gender and national culture. Management Decision, 55(1), 218--231.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun