Andai para netizen bersikap sama seperti Pak Tjip dan Ibu Rose yang memegang teguh kesantunan mereka, maka dunia media sosial penuh dengan kedamaian dan ketentraman. Bukan tempat gersang, rusuh, dan penuh caci maki, saling merendahkan bahkan diantara teman sendiri sebagaimana terlihat di Facebook, YouTube maupun X.
Tidak setiap manusia terlahir memiliki humanisme yang tinggi. Pak Tjip dan Ibu Rose adalah kekecualian.
Tidak sekedar menyapa melalui tulisan-tulisannya di komen di Kompasiana maupun cara dia "blog walking" ke berbagai penulis-penulis lainnya sekedar menyapa atau mengomentari tulisan, tetapi dalam dunia nyata mereka berdua mengimplementasikan "ukhuwah islamiyah" itu dengan cara bertemu muka, bertatap pandang dan saling langsung berbicara.
Tidak jarang saat berkesempatan berada di Jakarta, Pak Tjip beberapa kali mengundang saya sekedar minum kopi atau bahkan makan siang di warung Padang kesukaan.
Tidak jarang pula saya mendengar Pak Tjip tiba-tiba mengirimkan makanan untuk para awak Kompasiana yang bekerja di Palmerah. Dalam kesempatan itu biasanya Pak tjip mengabarkan keberadaannya dan meminta saya untuk bergabung.
Jika saya kebetulan berada di Jakarta dan tidak sedang berada di luar kota, maka saya selalu menyempatkan untuk datang. Karena itu tadi, saya menghormati Pak Tjip dan Bu Rose bukan sekedar orang tua sosiologis dan humanisnya, melainkan dalam pengertian yang hampir sebenarnya, yakni orang tua sendiri.
 Di saat secara pribadi saya telah kehilangan kedua orang tua secara tragis, saya masih memiliki sosok orang tua seperti pasangan Pak Tjip dan Ibu Rose.
Awal tahun 2023 lalu sepenggal perjalanan hidup saya sempat terpuruk karena suatu insiden yang tidak disangka-sangka, saat saya terjatuh dari ketinggian yang menyebabkan rahang dan gigi-geligi saya rusak berat.
Saya terpuruk selama dalam pengobatan intensif. Fisik bisa teratasi, tetapi psikis luput dan karenanya saya menderita trauma.
Tetapi tatkala ingat perjalanan hidup Pak Tjip yang pernah mengalami kecalakaan yang jauh labih parah dari yang sekadar saya alami, semangat saya tumbuh. "Bukankah Pak Tjip tetap survive di saat nyawanya hampir melayang," batin saya dalam keterpurukan. Karenanya saya bangkit dan tidak larut dalam keterpurukan.
Bahwa Pak Tjip dan Bu Rose diberi Tuhan usia yang demikian panjang, yakni melebihi 80 tahun yang sering dikatakan bonusnya usia--mengingat usia Nabi Muhammad dalam Khazanah Islam berusia 63 tahun di saat wafat--tetapi kebersamaannya yang diikat oleh perkawinan sakral selama 60 tahun merupakan prestasi yang luar biasa.