Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ya Allah, Beri Hamba Kesempatan di Tahun Depan

27 Mei 2024   18:18 Diperbarui: 27 Mei 2024   18:20 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya diapit teman-teman semasa kuliah (Foto: Istimewa)

Ahad 12 Mei 2024, ada pertemuan kecil di kediaman rekan alumni Fikom 1985, Tatat Rahmita Utami. Disebut pertemuan kecil, karena hanya 15 persen saja hadir atau 38 orang dari seluruh 250 alumni yang pernah ada. Disebut pernah ada, karena 10 persen dari kami, yakni sekitar 25 orang, telah berpulang. Bagi yang pernah membaca buku Annemarie Schimmel tentang angka-angka, ada hal unik dan menarik dari "pesan" tersembunyi di balik angka-angka ini.

Tetapi saya tidak sedang berhasrat membahas keunikan angka, melainkan tercenung sejenak saat kami bertemu, guyub setelah 40 tahun berinteraksi di Kampus Sekeloa, kampus "kandang japati" di mana Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad berdiri. Di sana buku dan asmara saling berkelindan, main mata dan mengejar mata kuliah sudah menjadi perjuangan sehari-hari. Setelah 40 tahun berlalu, kami masih ada.

Kami sibuk berfoto, tak mau melewatkan momen ini. Seluruh yang hadir berfoto masal, tapi juga difoto perjurusan (jurnalistik, humas, penerangan dan perpustakaan). Ya, di sini saya tercenung sejenak: inikah foto terakhir saya bersama mereka?

Bukan perasaan melow atau hati sedang galau, tetapi "Memento Mori" itu yang selalu saya ingat. Entah sudah berapa kali saya menulis tentang "mengingat kematian" ini dengan judul yang sama. Tetapi niscaya, lewat tulisan ini saya tidak sedang menakut-nakuti atau sengaja mendorong teman-teman memasuki kabut kesenduan yang menyesakkan dada. Saya ingin mengajak merenung, bahwa dengan kebersamaan yang membahagiakan itu sedang menghitung hari.

Dengan  mengingat kematian, bukan berarti saya mengajak berani mati. Sebaliknya, saya mengajak rekan-rekan semua untuk berani hidup. Mengapa, karena hidup sebagai anugerah paling berharga masih kita nikmati. Dengan hidup, kita tidak boleh berhenti berjuang. Dengan kata lain, berjuanglah selagi menghitung hari

Mati itu kehendak Ilahi, rahasia yang bukan domain manusia. Yakinlah, Allah tidak mengajari umatnya mati, tetapi sekadar mengingatkan tentang kematian yang menjadi hak seluruh makhluk-Nya. Sebaliknya, Tuhan mengajari kita untuk tetap hidup, berjuang, berusaha, bertahan, lalu mensyukuri kesempatan yang masih diberikan. 

Bahwa mati di tangan Tuhan, ya, itu benar. Allah yang memberi kehidupan, Dia pulalah yang mengambilnya kemudian. Demikian "permainan" semesta diciptakan. Manusia tinggal mengikuti aturan kehidupan itu secara semestinya. "Teu daya teu upaya", kata orang Sunda tentang kematian.

Kepada siapa kita belajar untuk berani hidup? Kepada siapapun, kepada semua makhluk hidup yang ada di sekeliling kita. Jangan anggap sepele kucing, sekali-kali kepadanya kita harus belajar untuk berani hidup.

Suatu kali saya makan bubur "cipang" di Jalan Raya Jombang. Cipang adalah Cirebon-Padang, bubur enak yang memang beda dengan bubur pada umumnya. Saat saya makan bubur berdua mantan pacar, di sana sudah menunggu seekor kucing belang hitam-putih. Hamil tua. 

Si kucing hamil itu pun merengek minta makan. Saya berpikir, bagaimana mungkin saya bisa memberi dia makan, wong yang saya makan bubur dengan suir daging ayam basa-basi alakadarnya. Saya pikir kucing ini kurang cerdas, kenapa tidak nongkrong di warteg atau ayam geprek saja yang pasti banyak menyisakan tulang atau sisa-sisa makanan.

Kemudian saya lalu bilang padanya, kepada kucing itu, "Saya tidak  bisa memberimu makan di sini, sebab yang saya makan cuma sekadar bubur."

Tapi yang bikin saya salut, kucing yang saya perkirakan sebagai kucing liar tanpa majikan ini berani untuk hidup dan mencari kehidupan di lapak bubur cipang yang tidak menyisakan tulang.

Ajaib, tidak lama kemudian, si tukang bubur cipang memberi saya sepiring sate-satean berupa 10 tusuk sate usus, hati, rempela, telur puyuh, dan jantung ayam. Owww.... saya kalah cerdik dengan si kucing hamil tua ini, pikir saya. 

Tanpa ragu, saya memberinya jantung ayam dan rempela. Kucing itu memang lapar. Dia menyantap dua sate itu dalam kecepatan tinggi. Minta dan minta lagi. 

Itulah, seekor kucing saja berani hidup dan dia tidak mau mati konyol kelaparan. Nalurinya tetap berusaha mencari makan, bagaimana pun caranya, bahkan harus menanti makanan di lapak bubur cipang.

Perhatikan kucing kalau akan menyeberang jalan. Nalurinya membimbing, ia harus berlari secepatnya, tidak berjalan gontai seperti biasanya. Apa sebabnya? Ia tahu bahaya mengintainya jika ia tetap berjalan. Roda-roda kendaraan setiap saat akan melibasnya. Ia harus berusaha lari secepatnya untuk mencapai seberang jalan. 

Apa maknanya? Kucing pun punya kecerdasan untuk bertahan hidup! Cerdas mana antara kucing dan manusia soal bertahan hidup? Boleh jadi kucing atau binatang lain pada umumnya lebih cerdas. Kalah dalam kehidupan, ada manusia mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Tidak pernah ada cerita kucing mati bunuh diri, bukan?

Karena tidak punya garasi dan hanya sebatas car port di rumah, kadang kucing berteduh dan rebahan di bawah kolong mobil. Ia bahkan menandai daerah kekuasaannya dengan cara mengencingi wilayahnya itu. Saat kucing lain datang, ia meradang, menghardik dan mengusirnya, bila perlu dengan pertengkaran sengit.

Lagi, apa maknanya? Kucing paham akan wilayah kekuasaan yang menyokong kehidupannya. Ia tidak mau saya memberi makan ke kucing lain, kecuali kepada dirinya. Maka ia pertahankan mati-matian wilayah kekuasaannya, semata-mata untuk mempertahankan hidupnya. Ia berani hidup di bawah kolong mobil.

Tetapi kalau saya mulai menghidupkan mobil, nalurinya mengatakan bahwa ia harus segera menyingkir jika tidak mau tubuhnya terlindas ban-ban mobil. Naluri untuk hidupnya jauh lebih kuat dari sekadar menyerahkan dirinya demi kematian.

Saya kemudian teringat tulisan seorang temantentang banyaknya orang yang hanya mengingat soal kematian dan lupa merayakan kehidupan. "Memento Mori, ingatlah akan kematian," tulisnya mengutip slogan abad kegelapan yang melahirkan feodalisme dan kemerosotan peradaban itu.

Suasana batin "Memento Mori" adalah suasana batin yang penuh ketakutan. "Hidup kehilangan semangat pestanya, seperti sepeda tua berselimut jaring laba-laba. Berdebu. Teronggok di kegelapan gudang," katanya.

Bagi saya, hidup tidak selamanya harus dirayakan, cukup disyukuri saja dengan cara sederhana, yaitu berani hidup. Bukan berani mati. Saya berkumpul bersama sebagian kecil alumni Fikom 1985 itu juga dalam rangka mensyukuri kehidupan yang masih diberikan.

Berilah hamba kesempatan.

(Pepih Nugraha)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun