Kemudian saya lalu bilang padanya, kepada kucing itu, "Saya tidak  bisa memberimu makan di sini, sebab yang saya makan cuma sekadar bubur."
Tapi yang bikin saya salut, kucing yang saya perkirakan sebagai kucing liar tanpa majikan ini berani untuk hidup dan mencari kehidupan di lapak bubur cipang yang tidak menyisakan tulang.
Ajaib, tidak lama kemudian, si tukang bubur cipang memberi saya sepiring sate-satean berupa 10 tusuk sate usus, hati, rempela, telur puyuh, dan jantung ayam. Owww.... saya kalah cerdik dengan si kucing hamil tua ini, pikir saya.Â
Tanpa ragu, saya memberinya jantung ayam dan rempela. Kucing itu memang lapar. Dia menyantap dua sate itu dalam kecepatan tinggi. Minta dan minta lagi.Â
Itulah, seekor kucing saja berani hidup dan dia tidak mau mati konyol kelaparan. Nalurinya tetap berusaha mencari makan, bagaimana pun caranya, bahkan harus menanti makanan di lapak bubur cipang.
Perhatikan kucing kalau akan menyeberang jalan. Nalurinya membimbing, ia harus berlari secepatnya, tidak berjalan gontai seperti biasanya. Apa sebabnya? Ia tahu bahaya mengintainya jika ia tetap berjalan. Roda-roda kendaraan setiap saat akan melibasnya. Ia harus berusaha lari secepatnya untuk mencapai seberang jalan.Â
Apa maknanya? Kucing pun punya kecerdasan untuk bertahan hidup! Cerdas mana antara kucing dan manusia soal bertahan hidup? Boleh jadi kucing atau binatang lain pada umumnya lebih cerdas. Kalah dalam kehidupan, ada manusia mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Tidak pernah ada cerita kucing mati bunuh diri, bukan?
Karena tidak punya garasi dan hanya sebatas car port di rumah, kadang kucing berteduh dan rebahan di bawah kolong mobil. Ia bahkan menandai daerah kekuasaannya dengan cara mengencingi wilayahnya itu. Saat kucing lain datang, ia meradang, menghardik dan mengusirnya, bila perlu dengan pertengkaran sengit.
Lagi, apa maknanya? Kucing paham akan wilayah kekuasaan yang menyokong kehidupannya. Ia tidak mau saya memberi makan ke kucing lain, kecuali kepada dirinya. Maka ia pertahankan mati-matian wilayah kekuasaannya, semata-mata untuk mempertahankan hidupnya. Ia berani hidup di bawah kolong mobil.
Tetapi kalau saya mulai menghidupkan mobil, nalurinya mengatakan bahwa ia harus segera menyingkir jika tidak mau tubuhnya terlindas ban-ban mobil. Naluri untuk hidupnya jauh lebih kuat dari sekadar menyerahkan dirinya demi kematian.
Saya kemudian teringat tulisan seorang temantentang banyaknya orang yang hanya mengingat soal kematian dan lupa merayakan kehidupan. "Memento Mori, ingatlah akan kematian," tulisnya mengutip slogan abad kegelapan yang melahirkan feodalisme dan kemerosotan peradaban itu.