Problem nyata yang dihadapi media arus utama seperti Majalah Tempo adalah "pagar api" yang memisahkan antara konten berita dan konten iklan. Karena etika, ia tidak boleh mencampuradukkan iklan dengan berita, bahkan opini pun diharamkan. Celakanya, pembaca jarang tergoda membaca artikel/laporan jika dilabeli "advertorial" dan kawan-kawannya itu.
Akibat dari beralihnya pemasang iklan seperti pemerintah dari media arus utama ke media sosial dengan menggunakan influencer sebagai penyampai pesan, menggerus kue iklan yang biasanya dinikmati tanpa pesaing. Kue iklan tergerus dampaknya bisa kemana-mana, IPO anak perusahaan pun terpaksa ditunda karena induk usaha merugi Rp20 miliar, misalnya. "Manusiawi sekali kalau kemudian Majalah Tempo menghantam buzzer/influencer karena ini menyangkut periuk nasi," kata saya.
Sayangnya, pernyataan saya ini tidak muncul di Majalah Tempo lewat laporan utamanya "Orkestra Pendengung".
Nezar Patria saat berdiskusi webinar dengan AJI di mana saya juga menjadi salah satu pembicara mengungkapkan ini sebagai "big problem" di media arus utama, sebab permintaan klien atau pemasang iklan maunya artikel/laporan tidak dilabeli "adevertorial"dan semacamnya, ingin seolah-olah tampil sebagai berita. Tetapi bagi media arus utama yang terikat etika, haram hukumnya mencampuradukkan iklan dengan berita. Nah, bingung, kan?
Bandingkan dengan influencer yang bahkan bisa menentukan sendiri konten atau jalannya cerita, yang penting tema dan garis besar yang dikehendaki si pemasang iklan (klien) sudah disampaikan. Klien hanya butuh impresinya saja dan tentu saja dampak dari pesan yang disampaikan.
Kemudian ketika wartawan Tempo mengarahkan pembicaraan ke buzzer, saya meminta Tempo untuk membedakan secara tajam antara buzzer dengan influencer. Saya beri "clue", influencer menyampaikan kontennya dalam bentuk teks, audio maupun video atas nama dirinya (by line), bukan nama samaran atau akun abal-abal. Kenapa, karena di situlah letak kekuatannya. Influencer sudah tentu punya follower dan pesan yang disampaikannya akan mempengaruhi para jamaahnya itu. Influencer sudah pasti dibayar.
Sehingga ketika Tempo menembak "Buzzer Istana" dengan framing "BuzzeRp", ia sebenarnya melenceng jauh, salah sasaran. Yang benar adalah "Influencer Jokowi", sebab tidak ada satupun dari mereka menggunakan nama samaran atau akun anonim. Denny Siregar tampil sebagai Denny Siregar, Abu Janda tampil sebagai Abu Janda, Eko Kuntadhi tampil sebagai Eko Kuntadhi dan saya, Pepih Nugraha tampil sebagai Pepih Nugraha. Di mana buzzer-nya? Wong semuanya influencer kok!
Buzzer biasa menyembunyikan identitasnya, bila perlu menggunakan akun bodong alias abal-abal, sementara influencer terbuka. Setiap pengguna medsos bisa jadi buzzer, tetapi belum tentu bisa jadi influencer. Buzzer bisa dibayar bisa juga tidak, tetapi influencer dibayar. Ada macam-macam buzzer (pendengung); ada buzzer produk tertentu, buzzer pencintraan orang tertentu, buzzer Pancasila, Buzzer khilafah, buzzer HTI, buzzer Jokowi, buzzer Prabowo, buzzer Anies Baswedan dan seterusnya. "Pertanyaannya, buzzer mana yang mau dibunuh oleh Majalah Tempo?"
Sayangnya, pernyataan saya ini tidak muncul di Majalah Tempo lewat laporan utamanya "Orkestra Pendengung".
Lantas pernyataan saya yang mana yang kemudian muncul di Majalah Tempo?
Ternyata yang muncul terkait jawaban saya apakah buzzer dibayar atau tidak, apakah benar foto yang muncul dan tersebar di medsos saat nonton bareng (nobar) Debat Capres itu adalah saya, apakah saya mengenal Andi Wibowo atau tidak, apakah saya berkantor dengan Andi Wibowo di Teuku Umar, di mana saya pertama kali mengenal Andi Wibowo, Siapakah yang dimakud "Kakak Pembina" itu, apakah benar "Kakak Pemibina" itu adalah Andi Wibowo?