Cerita yang mengalir biasanya juga menghanyutkan pembaca. Tidak jarang mengaduk-aduk emosi pembaca -atau dalam film- mengaduk-aduk perasaan penonton.
Dulu waktu masih duduk di sekolah dasar di pertengahan tahun 1970-an, saya kerap menonton film India di Bioskop "Karya", satu-satunya bioskop di Kecamatan Ciawi, Tasikmalaya. Kecamatan tetangga seperti Pagerageung, Panumbangan dan Rajapolah belum memiliki bioskop.
Belum ada penelitian memang, tetapi warga yang terpapar film-film bioskop cenderung apresiatif terhadap adegan dan penokohan dalam sebuah film, khususnya film-film India dan film nasional. Pun mereka cenderung jago bercerita, setidak-tidaknya menceritakan kembali film yang mereka tonton.
Jadi tidak heran saat ada adegan menegangkan, penonton berteriak-teriak histeris, seolah-olah memberi tahu sang jagoan bahwa di belakang ada yang sedang menodongnya, sedang terancam. "Awas eta musuh di tukangan maneh, euy!" (awas itu musuh di belakangmu, bro!).
Lalu pada saat jagoan mengejar-ngejar penjahat, maka tepuk-tangan pun terdengar, gedung bioskop mendadak bergemuruh, penonton menyemangati jagoan mereka.
Jika ada adegan sedih yang mengharu-biru, misalnya pertemuan antara seorang anak dengan ibunya setelah sekian tahun terpisah karena kasus penculikan anak, maka penonton pun menangis sesenggukan, sampai-sampai seperti menangisi kematian seseorang.
Itulah gambaran betapa hidup dan mengalirnya adegan demi adegan yang tersaji dalam sebuah film, membuat emosi dan perasaan penonton teraduk-aduk.
Ingin saya kemukakan di sini, bahwa setiap biografi yang kamu tulis haruslah hidup dan punya greget seperti adegan film India itu!
- Persoalannya aku ga suka film India, Kang?
+ Sukamu apa, Dek?
- Lebih suka mendengar cerita Dalem Boncel itu, Kang, lanjutin dong sampai tuntas...