Suatu saat nanti kamu akan sampai kepada pembahasan "Interpretasi" saat menerapkan strategi menulis, khususnya menulis kreatif. Apa itu "Interpretasi"?
Kalau sulit mengucapkan kata ini, mungkin kamu lebih mudah menyebutnya "menafsirkan" dengan kata dasar "tafsir". Lho, tafsir itu 'kan untuk memahami kitab suci? Tidak juga, itu karena kamu belum pernah membaca buku berjudul "Interpretasi" tulisan W. Poespoprodjo.
Buku yang lumayan sulit dipahami itu sudah saya kunyah di tahun 1985 karena Pak Poespoprodjo adalah dosen filsafat di almamater yang fasih berbicara dalam delapan bahasa asing, khususnya bahasa-bahasa Eropa.
Dari buku ini, saya bisa menerapkan "Interpretasi" dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk di dunia kepenulisan.
Kelak berbilang tahun ke depan, saya kemudian membaca buku "Interpretative Reporting" karya Curtis D. Macdougall, diam-diam mempraktikannya saat menjadi wartawan Harian Kompas, di mana sebelumnya diam-diam pula mempelajari bagaimana koran "The Asian Wallstreet Journal" mempraktikkan "Interpretative Journalism" itu.
- Kang, kok bahasannya jadi "Interpretasi" sih, mana filsafat lagi... bikin pusiiiiing...!
+ Lha maumu apa, Dek?
- Aku ingin mendengar kelanjutan kisah Si Boncel itu!
+ Ah ya, baiklah... Sampai di mana cerita saya kemarin?
- Sampai Si Boncel dan Clara istrinya tergopoh-gopoh ke luar kamar peraduan menemui kakek dan nenek itu...
+ Kalau soal kamar peraduan, kamu pasti ingat ya, Dek...