Suatu saat nanti kamu akan sampai kepada pembahasan "Interpretasi" saat menerapkan strategi menulis, khususnya menulis kreatif. Apa itu "Interpretasi"?
Kalau sulit mengucapkan kata ini, mungkin kamu lebih mudah menyebutnya "menafsirkan" dengan kata dasar "tafsir". Lho, tafsir itu 'kan untuk memahami kitab suci? Tidak juga, itu karena kamu belum pernah membaca buku berjudul "Interpretasi" tulisan W. Poespoprodjo.
Buku yang lumayan sulit dipahami itu sudah saya kunyah di tahun 1985 karena Pak Poespoprodjo adalah dosen filsafat di almamater yang fasih berbicara dalam delapan bahasa asing, khususnya bahasa-bahasa Eropa.
Dari buku ini, saya bisa menerapkan "Interpretasi" dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk di dunia kepenulisan.
Kelak berbilang tahun ke depan, saya kemudian membaca buku "Interpretative Reporting" karya Curtis D. Macdougall, diam-diam mempraktikannya saat menjadi wartawan Harian Kompas, di mana sebelumnya diam-diam pula mempelajari bagaimana koran "The Asian Wallstreet Journal" mempraktikkan "Interpretative Journalism" itu.
- Kang, kok bahasannya jadi "Interpretasi" sih, mana filsafat lagi... bikin pusiiiiing...!
+ Lha maumu apa, Dek?
- Aku ingin mendengar kelanjutan kisah Si Boncel itu!
+ Ah ya, baiklah... Sampai di mana cerita saya kemarin?
- Sampai Si Boncel dan Clara istrinya tergopoh-gopoh ke luar kamar peraduan menemui kakek dan nenek itu...
+ Kalau soal kamar peraduan, kamu pasti ingat ya, Dek...
- Hahaha...
Di pagi yang masih sepi itu, setelah Boncel berlari-lari kecil dengan hanya mengenakan piyama disusul Clara yang masih mengenakan baju tidur mirip kimono, mereka berdua mendapatkan sepasang kakek dan nenek dengan penampilan lusuh duduk bersimpuh di serambi pendopo.
Sejenak perang batin yang hebat berkecamuk di dalam dada Boncel. Gemuruh peperangan berupa jantung yang berdegup keras dan kedua tangan yang tergetar, menahan malu sekaligus amarah. Apa jadinya kalau Clara dan Tuan Bupati tahu kalau mereka tahu kedua kakek-nenek itu adalah orangtuaku, pikirnya.
Peperangan dalam batin Boncel telah usai dengan sebuah kemenangan mengerikan di luat batas nurani dan akal sehat.
Manakala melihat Boncel muncul, tanpa ragu lagi kedua kakek-nenek itu berdiri dan menyerbu Boncel dengan maksud hendak memeluknya karena rindu yang sudah tidak tertahankan.
Sesuai hasil perang batin tadi, Boncel mengelak dengan sedikit mundur, tetapi kedua pasangan yang sudah renta berhasil memeluk kaki Boncel erat-erat, seperti tak ingin melepaskannya lagi.
"Oceeeeeen.... ini emak, betapa rindunya emak padamu, Nak!" kata Mak Boncel.
"Oceeeeeen.... ini bapak, tak kusangka engkau sudah jadi amtenar besar.... mengapa engkau melupakan orangtuamu di Kandangwesi ini, Nak!?"
Boncel mengentakkan kakinya ke depan, mendorong sepasang kakek-nenek yang sudah rapuh ini. Tidak perlu tenaga kuat, cukup mengentakkan kaki saja kedua orangtua itu sudah terjungkal.
Clara yang menyaksikan peristiwa itu jatuh kasihan dan bermaksud menolong kedua orangtua yang tak berdaya itu berdiri, namun Dalem Boncel melarangnya keras.
"Upas, usir mereka pergi!" perintah Boncel. "Aku tidak sudi melihat kakek dan nenek renta ini ada di sini!"
"Oceeeen.... ini emak dan bapakmu, Nak!"
"Oceeeen.... kau adalah anak kami, sedang tanda hitam di keningmu masih ada sampai sekarang, itu pertanda bahwa kau benar Ocen anak emak-bapak."
"Hentikan bualan kalian!" hardik Boncel, "Kedua orangtuaku sudah lama mati, mengapa kalian mendaku sebagai otangtuaku yang hanya akan menjatuhkan wibawaku saja, mengerti!?"
"Tapi kau adalah Ocen anak emak, anak bapak!"
"Upaaasss...seret segera orang-orang gila ini ke luar, cepat!!"
Dengan tenaga yang masih tersisa, kedua orangtua itu kembali beringsut hendak memeluk kaki anak semata wayang yang sangat dirindukannya itu.
Namun apa daya, Boncel kembali mengentakkan kakinya ke depan yang membuat kedua orangtua itu terjungkal ke belakang untuk yang kedua kalinya.
"Oceeeennn.... Oceeeennn...." teriakan yang semakin melemah kedua orangtua yang memanggil nama anaknya terus terdengar ketika dua upas menyeret kakek-nenek itu ke luar pendopo tanpa belas kasih.
Bahkan, saat keduanya sudah berada di luar pintu gerbang, upas langsung menutup rapat pintu kayu besi itu. Tetapi, Boncel masih mendengar teriakan yang memanggil namanya itu lamat-lamat untuk kemudian tertelan angin yang menderu.
Suasana pagi yang semula cerah, tiba-tiba menjadi mendung seketika. Awan hitam beriringan menuju atap kabupatian. Kilat memberkas di langit dan guntur menyalak menggetarkan bumi. Tidak lama kemudian, hujan turun bagai tercurah dari langit.
Dalam tirai hujan yang semakin rapat, sepasang orangtua dengan hati terluka itu beringsut, menjauh dari pendopo kabupatian.
- Kang... aku kok mewek ya mendengar cerita Dalem Boncel itu, padahal diputisan berkali-kali sama pacar aku ga pernah nangis...
+ Kenapa menangis, Dek?
- Aku kasihan sama Mak dan Pak Boncel, sementara aku benci banget sama Si Boncel itu, benar-benar anak durhaka dia! Coba kalau dia ada di depanku, balik kutendang dia sebagai balasannya!
+ Itu karena kamu terhanyut mendengar cerita saya, Dek?
- Ya, Kang... aku sering terhanyut saat jatuh cinta, tetapi tidak sejauh ini dibanding saat mendengar cerita Dalem Boncel."
+ Begitulah seharusnya buku biografi kamu tulis, harus mampu mengaduk-aduk emosi pembaca!
- Kang, apakah cerita Si Boncel sudah selesai?
+ Belum, sedikit lagi... akhir ceritanya (ending) 'kan belum kamu ketahui.
- Kalau begitu, jangan gantung aku, please.... (Bersambung)
PEPIH NUGRAHA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H