- Hahaha...
Di pagi yang masih sepi itu, setelah Boncel berlari-lari kecil dengan hanya mengenakan piyama disusul Clara yang masih mengenakan baju tidur mirip kimono, mereka berdua mendapatkan sepasang kakek dan nenek dengan penampilan lusuh duduk bersimpuh di serambi pendopo.
Sejenak perang batin yang hebat berkecamuk di dalam dada Boncel. Gemuruh peperangan berupa jantung yang berdegup keras dan kedua tangan yang tergetar, menahan malu sekaligus amarah. Apa jadinya kalau Clara dan Tuan Bupati tahu kalau mereka tahu kedua kakek-nenek itu adalah orangtuaku, pikirnya.
Peperangan dalam batin Boncel telah usai dengan sebuah kemenangan mengerikan di luat batas nurani dan akal sehat.
Manakala melihat Boncel muncul, tanpa ragu lagi kedua kakek-nenek itu berdiri dan menyerbu Boncel dengan maksud hendak memeluknya karena rindu yang sudah tidak tertahankan.
Sesuai hasil perang batin tadi, Boncel mengelak dengan sedikit mundur, tetapi kedua pasangan yang sudah renta berhasil memeluk kaki Boncel erat-erat, seperti tak ingin melepaskannya lagi.
"Oceeeeeen.... ini emak, betapa rindunya emak padamu, Nak!" kata Mak Boncel.
"Oceeeeeen.... ini bapak, tak kusangka engkau sudah jadi amtenar besar.... mengapa engkau melupakan orangtuamu di Kandangwesi ini, Nak!?"
Boncel mengentakkan kakinya ke depan, mendorong sepasang kakek-nenek yang sudah rapuh ini. Tidak perlu tenaga kuat, cukup mengentakkan kaki saja kedua orangtua itu sudah terjungkal.
Clara yang menyaksikan peristiwa itu jatuh kasihan dan bermaksud menolong kedua orangtua yang tak berdaya itu berdiri, namun Dalem Boncel melarangnya keras.
"Upas, usir mereka pergi!" perintah Boncel. "Aku tidak sudi melihat kakek dan nenek renta ini ada di sini!"