Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Menulis Biografi: Upaya Menghidupkan Kembali Peristiwa Masa Lalu

23 Juli 2020   12:15 Diperbarui: 23 Juli 2020   19:18 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Masa lalu itu selalu aktual," kata "assabiqunal awwalun" Harian Kompas, P. Swantoro dalam buku yang ditulisnya.

Pernyataan Pak Swan -demikian kolega biasa memanggilnya- tentu saja dalam konteks peristiwa yang mewarnai sejarah dunia maupun perjalanan bangsa ini.

Ia ingin memperkenalkan "jurnalisme sejarah" atau setidaknya wartawan jangan lupakan sejarah saat menulis berita peristiwa. Baginya, sebuah peristiwa yang terjadi kini selalu bersangku-paut dengan masa lalu.

Pak Swan ingin menekankan bahwa "Historia docet," sejarah mengajarkan. Mengajarkan apa? Mengajarkan segala hal. "Historia vitae magistra", sejarah mengajarkan kehidupan. Itu salah satunya.

Sebagai seorang guru menulis sekaligus jurnalistik di mana saya pernah menjadi muridnya saat menimba ilmu di Diklat Kompas sebelum diterjunkan menjadi jurnalis, saya diam-diam mengadopsi pandangan Pak Swan, yaitu mengaitkan peristiwa terkini dengan peristiwa masa lalu, setidaknya yang sebangun atau serupa (similiar).

Kalau masih bingung memaknakannya, singkatnya begini, kalau kamu memberitakan pembunuhun seorang kepala negara di suatu negara, cari sejarah berbagai pembunuhan kepala negara serupa sebelumnya. Cari kesemanaannya atau dalam bahasa sekarang "cari benang merahnya".

Itulah yang selalu Pak Swan ajarkan, "Jasmerah", jangan sekali-kali lupakan sejarah (masa lalu) dalam menulis berita. Bayangkan, saat pelatihan menulis saja, kami sekelas diminta membaca buku "zaman keemasan VOC" yang tebalnya sebantal itu, yang ditulis dalam bahasa Inggris pula. Kami diminta memahami buku itu dengan membuat resensinya. Apa ga nyut-nyutan tuh kepala dibuatnya.

Akan tetapi, terasalah... Pak Swan benar. Saya bisa dan terbiasa membedakan mana berita yang ditulis wartawan dengan kacamata kuda, seolah-olah menyajikan potret sebuah spot peristiwa tanpa keterangan (caption).

Jadinya pembaca disuruh meraba-raba sendiri. Dengan menyematkan peristiwa serupa (terkait) pada masa lalu, maka bobot tulisan pun akan semakin okay. Pembaca memperoleh pengetahuan lebih dari sekadar mendapatkan informasi tentang suatu peristiwa.

Karena keseriangan saya membuat biografi untuk konsumsi media (Kompas), diam-diam saya menerapkan ilmu Pak Swan, yaitu menghidupkan kembali peristiwa masa lalu yang dialami narasumber yang saya wawancarai dan akan saya jadikan sosok itu.

Bagaimana memancing kehidupan masa lalu narasumber yang menyentuh perasaan dan kemudian membangkitkan emosinya sehingga ia lebih ekspresif mengungkapkannya? Masih ingat 'kan rumus sebelumnya? Ya, benar.... riset, riset dan riset.

Pertanyaannya, kalau riset tidak bisa dilakukan karena narasumber orang biasa (tapi berprestasi fenomenal) sehingga ia tidak pernah ditulis sebelumnya? Ada rumus lainnya: dengarkan, dengarkan, dengarkan.

Kamu harus jadi pendengar yang baik dengan pancingan pertanyaan semisal begini, "Apakah Anda merasa dia berkhianat saat itu?" Atau "Mengapa Anda tidak memilih jadi polisi saja dibanding menjadi tentara dengan tugas yang lebih berat?" Dengan dua jenis pertanyaan ini, niscaya akan menggugah (baca: mengganggu) pikirannya dan secara emosional ia menceritakannya secara panjang lebar.

Dengan menggugah ingatan masa lalu atas peristiwa yang pernah dialaminya, itu menolong pekerjaanmu lebih ringan, sebab dengan sukarela narasumbermu akan merekonstruksi peristiwa masa lalunya. Jangan-jangan pada peristiwa masa lalu itulah tersemat TURNING POINT (titik balik) yang sudah saya sampaikan sebelumnya itu.

+ Pekerjaan utama menulis biografi boleh dikatakan menghidupkan kembali peristiwa masa lalu narasumber. Kalau kamu tidak punya kemampuan menghidupkan ini, tulisanmu tidak akan "greng" di mata pembaca, Dek.

- Sepertinya susah juga ya menghidupkan kembali peristiwa masa lalu seseorang itu?

+ Ga juga, kamu 'kan belum mencobanya!

- Kalau ada orang yang menulis tentang diriku, pasti dia akan kesulitan menghidupkan kembali peristiwa masa laluku, Kang...

+ Lho, memangnya kenapa?

- Karena aku ga mau lagi mengingat mantan-mantanku itu, aku selalu membunuh ingatanku tentang mereka.

+ Kalau soal itu jangan curhat ke saya, Dek, ini soal pelajaran menulis biografi. (Bersambung)

PEPIH NUGRAHA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun