Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

[Serial Orba] Bicara Terbata-bata, tetapi Moerdiono adalah Simbol Negara Ada

11 Desember 2018   20:15 Diperbarui: 15 Desember 2018   11:03 984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Sekretaris Negara era Orde Baru, Moerdiono. FOTO/Antara Foto

Minggu, 27 Januari 2008, saya sedang berada di balik kemudi Vios kelir ungu saat sebuah stasiun radio yang saya dengarkan tiba-tiba menyiarkan suara Moerdiono, lebih mirip isak-tangis, mengabarkan Presiden Soeharto meninggal dunia. Saya tahu persis itu suara Pak Moer, panggilan akrab Moerdiono.

Saya kemudian meruncingkan telinga saat kendaraan ke luar tol Veteran, selanjutnya melalui TPU Tanah Kusir dan Jalan Bendi, jalur yang biasa saya lalui menuju "markas" Kompas di Jalan Palmerah. Telepon kemudian masuk.

Mas Tom, Pemred Harian Kompas yang bernama lengkap Soeryopratomo, menghubungi lewat henpon. "Sudah dengar 'kan Pak Harto meninggal?" Saya mengiyakan. Standar operasional biasa seorang Pemred yang menghubungi koleganya di lapangan, saya sendiri, yang saat itu bertugas di Kompas.com.

Yang ingin saya ceritakan di sini bukan bagaimana Harian Kompas atau Kompas.com meliput dan memuat/menayangkan berita kepergian pemimpin Indonesia yang berkuasa selama 32 tahun itu. Yang ingin saya ceritakan adalah Moerdiono.

Lewat radio di kabin mobil dan dari nada suaranya yang terbata-bata, Moerdiono benar-benar menangisi kepergian boss-nya itu. Ia adalah seorang loyalis yang tidak diragukan lagi. Loyalis Soeharto.

Bagi orang-orang yang sempat merasakan nafas masa lalu saat berada di bawah kuasa Jenderal Besar itu, mungkin mudah menautkan ingatan Moerdiono dengan Orde Baru; "suaranya" dan jabatannya "Menteri Sekretaris Negara". Dua hal yang melekat pada diri Pak Moer.

Sekadar mengingatkan, pada era Orde Baru di zaman Soeharto, lahirlah tiga Mensesneg yang terkenal, yaitu Alamsjah Ratu Perwiranegara, Sudharmono, dan Moerdiono. Tetapi, Moerdiono-lah yang paling fenomenal.

Era setelah Pak Moer, Mensesneg jatuh kepada Saadilah Mursjid, Akbar Tandjung, Muladi, Bondan Gunawan, Djohan Effendi, Bambang Kesoewo, Yusril Ihza Mahendra, Hatta Rajasa, Sudi SIlalahi, dan Pratikno.

Dari semua Mensesneg itu, Pak Moer-lah yang paling "cool" bahkan cenderung "cold". Dingin. Nada bicaranya saat menghadapi puluhan "mike" dan sorot kamera benar-benar datar, tidak ada intonasi berarti, minim tekanan. Datar saja. Orang bilang, matanya pun cenderung melorot, tidak menatap tajam kamera.

Tetapi di balik bicaranya yang seperti penderita afasia itu, di balik pandangannya yang sayu, ada wibawa sebuah negara. Negara hadir di sana. Negara ada. Pak Moer berbicara mewakili negara. Pak Moer negara itu sendiri. Selalu begitu.

Ada ucapan "euuuu..." di sela-sela kalimatnya yang berkecepatan "very slow" itu. Tidak pernah ia berbicara meletup-letup seperti ketel uap atau meledak-ledak ibarat petasan.

Mau informasi penting atau negara dalam keadaan genting, mau informasi ringan atau negara dalam keadaan baik-baik saja, jika harus berbicara mewakili negara, Pak Moer ya tetap begitu. Euuuuuu....

Sekretaris memang berasal dari kata "secret", yang berarti "rahasia". Seorang sekretaris sejatinya memang orang yang pandai memegang rahasia; rahasia negara sekaligus rahasia Pak Harto. Pak Moer yang lahir di Banyuwangi, Jawa Timur, 19 Agustus 1934 ini telah menjalankan tugasnya dengan baik.

Semula saya berpikir apakah keseharian Pak Moer berbicara berat dan lambat seperti itu?

Tetapi belakangan saat saya menonton konser Yuni Shara di mana Pak Moer didapuk sebagai pemberi kata sambutan, dugaan saya hancur berantakan seketika. Saya mendengar betapa Pak Moer yang berlatar belakang militer ini lancar bicara, pandai berkelakar, bahkan bersuara lantang. Bukan seperti Pak Moer yang sering saya lihat di layar kaca.

Dari situ saya ambil kesimpulan bahwa tampilan Pak Moer di depan kamera, di depan wartawan dalam dan luar negeri, memang sengaja di-setting seperti itu. Ia harus menunjukkan wibawa seorang pejabat negara, dalam hal ini selaku pemegang rahasia negara.

Sebagai sekretaris negara, sudah seharusnya Pak Moer tidak bicara. Tetapi negara dengan wibawanya perlu hadir dan tidak bisa mewakilkannya kepada "juru bicara" Menpen Harmoko yang kadang "cengengesan" di depan kamera.

Pak Moer berpulang pada 7 Oktober 2011 di usianya yang ke-77 atau tiga setengah tahun lebih setelah Pak Harto wafat.

Saya mengirim doa untuk Pak Moer di alam kubur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun