Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama FEATURED

[Serial Orba] Harmoko Bukan Sekadar Hari-hari Omong Kosong

19 Desember 2018   07:17 Diperbarui: 5 Juli 2021   16:08 6418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: Kompas/Johnny TG)

Tetapi isu yang juga berembus saat itu, Golkar sudah saatnya dipegang dan dikendalikan salah satu anak biologisnya, yaitu Siti Hardiyanti Indra Rukmana (namanya saat itu memang demikian). Hampir seluruh putra-puteri Soeharto ada di mesin politik Golkar dengan berbagai jabatan yang mereka sandang, berbagai formasi yang mereka isi.

Tetapi dalam konteks birokrasi dan kekuasaan Orde Baru, Harmoko yang kemudian digantikan oleh R Hartono, seorang Jenderal TNI Angkatan Darat yang dekat dengan Cendana, adalah fenomena tersendiri. Banyak cibiran mampir ke alamat dirinya, misalnya namanya, Harmoko, kerap diplesetkan menjadi "Hari-hari Omong Kosong".

Padahal coba lihat prestasi Harmoko saat menjadi Menpen selama 14 tahun, menyebut kata "Temu Kader" (untuk konteks Golkar), "Safari Ramadhan" dan bahkan "Kelompencapir", adalah hasil karyanya. Tiga istilah sekaligus kegiatan politik pada masa itu adalah hasil karya nyata Harmoko.

Tetapi begitulah, orang yang sudah dinilai "macam-macam" di mata Soeharto, ia harus secepatnya dilengserkan. Jangankan mengganti pembantunya seperti Harmoko, bahkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menjadi Ketua PB Nahdlatul Ulama dan Megawati Soekarnoputri selaku Ketua PDI, mau dilengserkan juga. Gus Dur bisa bertahan, tetapi Megawati lewat.

Sedipecatnya Harmoko selaku Menpen, Pak Harto tidak mau mempermalukan bekas anak buahnya yang dulu paling setia itu di mata publik. Mungkin juga melihat jasa-jasa yang diberikannya selama ia menjadi pembantuya di kabinet. Soeharto kemudian menciptakan jabatan baru bagi Harmoko, yaitu Menteri Urusan Khusus.

Inipun kemudian diplesetkan jadi "Menrakus".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun