Tetapi isu yang juga berembus saat itu, Golkar sudah saatnya dipegang dan dikendalikan salah satu anak biologisnya, yaitu Siti Hardiyanti Indra Rukmana (namanya saat itu memang demikian). Hampir seluruh putra-puteri Soeharto ada di mesin politik Golkar dengan berbagai jabatan yang mereka sandang, berbagai formasi yang mereka isi.
Tetapi dalam konteks birokrasi dan kekuasaan Orde Baru, Harmoko yang kemudian digantikan oleh R Hartono, seorang Jenderal TNI Angkatan Darat yang dekat dengan Cendana, adalah fenomena tersendiri. Banyak cibiran mampir ke alamat dirinya, misalnya namanya, Harmoko, kerap diplesetkan menjadi "Hari-hari Omong Kosong".
Padahal coba lihat prestasi Harmoko saat menjadi Menpen selama 14 tahun, menyebut kata "Temu Kader" (untuk konteks Golkar), "Safari Ramadhan" dan bahkan "Kelompencapir", adalah hasil karyanya. Tiga istilah sekaligus kegiatan politik pada masa itu adalah hasil karya nyata Harmoko.
Tetapi begitulah, orang yang sudah dinilai "macam-macam" di mata Soeharto, ia harus secepatnya dilengserkan. Jangankan mengganti pembantunya seperti Harmoko, bahkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menjadi Ketua PB Nahdlatul Ulama dan Megawati Soekarnoputri selaku Ketua PDI, mau dilengserkan juga. Gus Dur bisa bertahan, tetapi Megawati lewat.
Sedipecatnya Harmoko selaku Menpen, Pak Harto tidak mau mempermalukan bekas anak buahnya yang dulu paling setia itu di mata publik. Mungkin juga melihat jasa-jasa yang diberikannya selama ia menjadi pembantuya di kabinet. Soeharto kemudian menciptakan jabatan baru bagi Harmoko, yaitu Menteri Urusan Khusus.
Inipun kemudian diplesetkan jadi "Menrakus".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H