Ketika Iwan mengingatkan saya tentang pingsannya Telkomsel di Papua, saya sengaja membeli kartu provider pesaingnya, Ooredo. Saya baru tahu, chips nano yang saya beli juga tidak bisa digunakan lantaran Telkomsel adalah satu-satunya pemain di Timika ini alias monopoli blas. Karena monopolistik itulah keluhan warga pengguna kurang diperhatikan sampai anggota DPRD pun bereaksi. Mereka mempertanyakan komitmen Telkomsel yang katanya akan memperbaiki kerusakan secepatnya, tetapi waktunya mundur terus alias tidak tepat janji.
Koran Harian Papua edisi Rabu 11 April 2018 bahkan memuat tajuk utamanya dengan judul "Hari Ini DPRD Panggil Telkomsel". Saya bayangkan, kehadiran Presiden Joko Widodo dan "pritilannya" untuk singgah sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Asmat tidak akan mengalami mati gaya seperti saya, tetapi boleh jadi di Asmat jauh lebih parah lagi. Lha, saya harus "menderita" selama lima hari di atas kuburan aplikasi.
Alhasil, menghabiskan waktu di suite-room sendirian hanya saya gunakan untuk kontemplasi saja, menyusuri waktu yang telah berlalu, memunculkan gambaran peristiwa yang saya lalui bersama orang-orang yang saya cintai, mulai saya "menyadari" keberadaan saya, masa kanak-kanak bawah tiga tahun yang samar-samar saya ingat, masa balita, remaja, kuliah, bekerja, sampai saya berhenti dari pekerjaan untuk menjadi manusia yang lebih bebas-merdeka. Semua berkelebat membentuk gugusan-gugusan cerita.
Saya harus berkompromi dengan diri sendiri untuk secepatnya tidur, karena pukul 5 pagi WIT yang berarti pukul 3 dinihari WIB, saya harus berada di lobi hotel, siap-siap menuju Tembagapura menggunakan "chopper" alias helikopter menuju atap Papua.
(Bersambung)
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H