Benar saja, ketika saya ke luar dari perut pesawat Airfast Indonesia bersama beberapa kawan dan menjejakkan kaki di Bandara Moses Kilangin, Timika, setelah menempuh 5 jam perjalanan udara, bau-bau bakal mati mati gaya sudah saya rasakan.
Saat menghidupkan ponsel di ruang pengambilan bagasi, memang tercantum "4G" di ponsel saya, tetapi itu ternyata notifikasi "PHP" alias pemberi harapan palsu. Nyatanya, kecepatan data yang ke luar masuk hanya berkualifikasi "2G" saja. Menyedihkan.
Sselintas saya teringat tulisan Chris Anderson di Majalah Online "WIRED" beberapa tahun silam dengan judul "The web is dead", tulisan itu serasa menemukan kebenarannya di Papua. Keseharian, saya membuka aplikasi Android di ponsel tanpa harus mengetik "WWW" di mesin Google Chrome. Di Papua ini, otomatis yang saya cari adalah aplikasi yang memenuhi beberapa halaman ponsel saya. Tetapi, tak satupun yang bisa beroperasi. Mungkin saya harus menghubungi Anderson dan mengabarkan bahwa di Papua ini tidak sekadar "The web is dead", tetapi "All of Apps are dead!"
Baca Juga: Â Ketika Saya Diblokir oleh Ponakan Sendiri di Media Sosial
Praktis saya hanya bisa membaca pesan dari WA yang tidak lebih dari SMS masa silam, itupun sampainya selalu telat beberapa jam, seperti delayed message, begitu. Kalau untuk menelepon atau menerima panggilan telepon, tidak ada masalah. Tetapi, semua aplikasi baik di Android mupun iOS ya itu tadi, tewas tanpa ampun. Jangankan membuka aplikasi, bahkan untuk membuka email pun tidak bisa, apalagi mengunggah konten CMS PepNews yang setiap hari saya lakukan. Sakitnya tuh di sini (sambil nunjuk ulu hati).
Saya biasa menulis artikel sedikitnya tiga tulisan di PepNews berkualifikasi "hot issues", bahkan kalau "gila nulis" sedang kumat, saya bisa menghasilkan tulisan dua kali lipat dari jumlah itu. Alhasil, ide menumpuk di otak dan menulis saya lakukan di Word saja, bukan CMS yang setelah menulis, pijit "publish" langsung deh tayang dan dibaca banyak orang.
Saya berpikir baik, mungkin di Rimba Papua Hotel tempat saya menginap sebelum keesokan harinya terbang menggunakan helikopter (di sini dinamai chopper), sinyal Telkomsel yang di Papua sudah menjadi pembahasan di DPRD karena sangat merugikan penggunanya itu, akan dapat saya terima.
Nyatanya tidak. Suite-room seluas 36 meter persegi yang disediakan untuk saya "ngiler" barang beberapa jam saja tidak menolong. Kamar yang dilengkapi living room bersofa, meja kerja, lounge, dua televisi, dua WC serta menyediakan buah-buahan dan mesin pembuat kopi dengan kopi "Illy" di dalamnya itu tetap "buta", tidak mampu menghidupkan seluruh aplikasi di ponsel saya. Benar-benar mati gaya.
Oh ya, 2 TV dan 2 WC yang tersedia itu tidak mungkin saya gunakan semuanya, wong saya cuma sendirian, tapi buah-buahan dan dua dari 15 "cube" kopi "Illy" yang sudah dipress sebagai espresso itu saya nikmati, 13 lagi saya masukkan ke kopor. Pengennya mesin espresso mungil fasilitas suite room itu juga saya masukkan sekalian hahaha....
Baca Juga: Â Tommy Prabowo dan Usaha Membebaskan Valent
Oh iya...saya tidak bermaksud sombong mengungkap fasilitas suite-room yang saya peroleh dari pihak pengundang, yang kalau saya sendiri yang bayar mana tahan. Pesawat terbang dan helikopter pun disediakan. Itulah kemewahan yang saya dapatkan selaku penulis sekaligus pemateri menulis yang tetap konsisten menggeluti dunia kepenulisan dan sebagaimana kata Pramoedya, menemukan taqdirnya di sana.