Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kau Tercipta dari Tulang Rusuk Ikan (#Journeylism 3)

28 Juni 2016   15:43 Diperbarui: 29 Juni 2016   04:17 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadis-gadis Papua meramaikan Festival Danau Sentani | by Pepih Nugraha

“Kepala suku pada masa lalu bisa punya istri sepuluh, bahkan belasan.”
“Sebagai kepala suku, berapa istri Pak Nabinus sekarang?”
“Dari dulu juga cuma satu.”
“Jadi Pak Nabinus menyesal hanya beristri satu?
“Eh tidak.... karena agama (Katolik) melarang saya beristri banyak!”

Demikian percakapan saya dengan Nabinus, kepala suku Kamoro yang menjadi duta seni di Festival Danau Sentani. Bersama 24 rekan sesama suku Kamoro lainnya, Nabinus sengaja diterbangkan dari Kabupaten Mimika ke Sentani di Jayapura sejauh 478 kilometer.

Perjalanan untuk menerbangkan rombongan besar duta seni suku Kamoro yang disponsori PT Freeport Indonesia ini menggunakan pesawat udara dan memakan waktu satu jam penerbangan. Kontingen besar ini hadir untuk memeriahkan Festival Danau Sentani (FDS) ke-9 yang berlangsung 19-23 Juni 2016.

Bagi Nabinus dan juga Fransisca yang menemani bincang-bincang saya di anjungan perusahaan tambang di Tembagapura mengaku, ini adalah perjalanan terjauh yang pernah mereka lakukan di Papua. “Ke Jakarta malah sering,” kata Nabinus dalam bahasa Indonesia yang fasih. “Saya nari-nari saja di Jakarta, ya... tari Eraka tadi itu.”

Bersama kelompok penari yang seluruhnya berjumlah 25 anggota suku Kamoro, mereka baru saja mementaskan sebuah tarian “Ikan” dan mendapat sambutan meriah hadirin di kawasan Danau Sentani yang asri. Penari pria yang bertelanjang dada dengan hiasan yang memenuhi wajah dan tubuh mereka dan penari wanita yang menutup tubuh bagian bawahnya dengan rumbay, terbagi dalam dua kelompok.

Di atas panggung dengan latar belakang pegunungan dan Danau Sentani yang membiru, sore itu kedua kelompok “bertengkar” seru. Jangan salah, bertengkar dalam tarian tentunya. Mereka berjingkrak-jingkrak ritmik tanpa tetabuhan ramai kecuali tifa, hanya peralatan perang yang mereka bawa. Agar gerakan tubuh ritmik tetap terjaga, teriakan “wei...wei...wei...” yang memekakkan telinga menjadi “musik” pengiring yang menggantikan fungsi dirigen.

Meski terlihat sederhana berupa gerak ritmik ala Papua dan teriakan-teriakan tanpa makna bagi yang tidak memahaminya, pentas tari suku Kamoro mendapat sambutan meriah dari berbagai suku Papua yang hadir di FDS ini, khususnya suku Sentani yang mendiami wilayah sekitar danau. Bupati Jayapura Mathius Awoitauw yang hadir di festival itu terlihat antusias menyaksikan tarian rakyat ini.

Usai pementasan, saya bertanya kepada Nabinus yang merupakan ketua kelompok tentang makna dari tarian “ikan” yang di sepanjang tarian seperti bertengkar dan hendak berperang itu. Nabinus menjelaskan, sebagai penduduk pesisir kehidupan mereka tidak pernah lepas dari laut dan ikan. Laut dan ikan yang hidup di dalamnya adalah nafas penduduk Kamoro.

Saya bersama Nabinus, Kepala Suku Kamoro | by Pepih Nugraha
Saya bersama Nabinus, Kepala Suku Kamoro | by Pepih Nugraha
“Ada yang sudah mendapat ikan, ada yang belum dapat. Yang belum dapat ikan meminta kepada penduduk lainnya agar diberi kesempatan mendapat ikan. Yang sudah dapat ikan merasa pendapatannya belum cukup. Jadi seperti bertengkar karena ada teriakan-teriakan,” demikian penjelasan Nabinus tentang makna tarian “ikan” yang baru saja mereka bawakan. Pesan moralnya adalah saling pengertian mengalahkan pertengkaran dan kesetaraan menjadi “credo” dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sebagai “budaya turunan”, senjata dan peperangan sudah lama mereka buang dan hanya terwujud dalam bentuk pementasan seni tari saja.

Sepanjang pelaksaannya sejak pertama kali dilangsungkan tahun 2007, PT FI, sebagaimana dijelaskan Vice President Corporate Communication Riza Pratama, selalu berpartisipasi dalam FDS baik dalam bentuk finansial maupun pengiriman duta kesenian sebagaimana pentas seni-budaya suku Kamoro. Hal ini selaras dengan tema FDS kali ini, yaitu “Satu dalam Keanekaragaman Meraih Kejayaan”.

Keanekaragaman memang melekat pada Papua dan seisinya, baik keanekaragaman budaya, suku, dan keanekaragaman hayati. Kamoro hanyalah satu dari 25 suku besar Papua seperti halnya Amungme, Dani dan Asmat yang dalam kreasi budaya khususnya seni pahat dan tarian telah lama dikenal luas. Dari 25 suku besar itu terdapat sekitar 500-an suku lainnya dengan budaya dan bahasa yang berbeda.

Namun demikian para antropolog telah bersepakat sejak lama, bahwa suku-suku Papua itu hanya terbagi ke dalam dua golongan saja, yakni masrakat pegunungan atau pedalaman dan masyarakat pesisir yang mendiami garis panjang pantai. Kamoro, suku yang saya ceritakan ini, adalah masyarakat pantai dengan budaya laut dan ikannya yang kental.

Kekentalan alam yang melekat pada suku Kamoro tercermin dalam tarian, ukiran, dan anyaman yang juga dipamerkan di FDS kali ini. Suku Kamoro berdiam di sepanjang aliran sungai Opa dan Mukamuga di sekitar teluk Etna. Nama desa mereka antara lain Torja, Kamoro, Wania dan Mukamuga di Kecamatan Mimika Timur dan Mimika Barat Kabupaten Mimika. Penduduk Kamoro diperkirakan berjumlah 10.000 jiwa dengan bahasa Kamoro sebagai bahasa pengantar sehari-hari.

Selain suku Asmat yang sudah lebih dahulu dikenal dunia, suku Kamoro juga terampil dalam seni ukir, membuat patung dan anyaman. Dibandingkan karya seni Asmat, hasil karya seni suku Kamoro yang dibawa ke Danau Sentani di Jayapura ini memiliki corak yang lebih abstrak. Tongkat mereka yang disebut “otekapa” penuh dengan motif sirip ikan atau “eraka waiti” atau tulang sayap kelelawar, “takoema”. Maknanya, si pemilik tongkat yang membuat motif ini percaya bahwa ia berasal dari ikan dan kelewar, dua jenis hewan yang akrab dalam kehidupan sehari-hari.

Seni ukir Kamoro yang tampil di anjungan PT FI juga menampilkan motif  ruas tulang belakang yang disebut “uema” yang bisa bermakna tulang belakang manusia, ikan atau unggas. Suku Kamoro berpendapat, ruas tulang belakang adalah lambang kehidupan sehingga untuk menghormatinya tercermin dalam berbagai motif seni ukir dan pahat.

Motif lainnya adalah awan putih berarak yang disebut “uturu tani” dan kepala manusia, “upau”. Keduanya mewakili perlambang abstrak dengan imajinasi yang hanya bisa dipahami oleh suku Kamoro sendiri. Bisa juga sebagai perlambang cinta, keyakinan transenden, harapan, dan bahkan perjuangan hidup yang tidak ringan bahkan di antara mereka sendiri. Motif ukiran lainnya yang cukup abstrak adalah ekor kuskus atau “wakwn bipi”, lidah biawak atau “okembare”, kepala ular  atau “apako upau”, insang ikan atau “ereka kenemu” dan tulang ikan atau “ema”.

Ada beberapa motif lainnya yang tidak mungkin disebutkan dalam catatan perjalanan yang saya sebut “Journeylism” ini. Namun demikian, banyaknya motif yang tercipta dari olah rasa, pikir dan karsa Kamoro menunjukkan bahwa suku ini memiliki “sense of art” yang tinggi.

Jika lukisan abstrak hasil karya para seniman ternama sering dihargai sangat tinggi oleh kolektor, demikian halnya hasil karya seni ukir suku Kamoro. Abstrak adalah bentuk lain dari filosofis yang harus dimaknai. Dengan sendirinya memerlukan keterampilan menerjemahkan pikiran atas motif ukiran yang abstrak ala suku Kamoro ini. Di sinilah keunikan sekaligus kekuatan suku Kamoro!

Seruling bambu yang membius

Festival Danau Sentani dari tahun ke tahun berlangsung nyaris tanpa perubahan konsep, menggelinding begitu saja karena memang dijadikan pesta rakyat oleh 24 kampung dari enam kecamatan yang berada di sekitar Danau Sentani. Pihak penyelenggara, termasuk Bupati Jayapura Mathius Awoitauw dalam kata sambutannya menawarkan kesempatan jika ada pihak yang bersedia menjadi investor untuk penyelenggaraan FDS berikutnya.

Secara khusus Bupati menyampaikan terima kasih kepada PT FI yang setiap tahun selalu berpartisipasi dalam penyelenggaraan festival di mana kali ini mengirimkan kontingen besar duta seni suku Kamoro. Pihak PT FI yang diwakili Riza Pratama saat diberi kesempatan berbicara juga bertekad untuk terus berpartisipasi dalam pelaksanaan FDS di masa mendatang. “Kami juga berharap warga Papua dapat mendukung perpanjangan kontrak usaha kami,” katanya.

Bahwa ada masyarakat “luar” Sentani yang hadir, itu tidak lain dari semangat memeriahkan dan menyukseskan jalannya festival, sebagaimana yang dilakukan PT FI dengan menghadirkan kontingen suku Kamoro-nya. Pejabat luar Jayapura seperti Bupati Merauke Frederikus Gebze hadir, juga hadir atas prakarsa sendiri atau karena berkerabat dengan Bupati Jayapura Mathius Awoitauw yang membuka festival ini. Beberapa wisatawan asing juga nampak mengabadikan festival ini.

Namun demikian, festival ini belum menjadi “destinasi utama” pariwisata atau agenda penting para pelancong. Di sini tawaran Bupati Mathius menjadi penting dan masuk akal, bahwa dengan hadirnya investor yang akan menata penyelenggaraan FDS lebih baik, diharapkan dapat menarik minat pelancong sehingga menjadi agenda wisata budaya berikutnya.

Sebagaimana ajang sebuah festival, FDS ke-9 kali ini dipenuhi berbagai stand baik yang menjual makanan dan minuman (kuliner) atau anjungan daerah yang menampilkan kreasi masing-masing. 

Penduduk Sentani membawa hasil bumi | by Pepih Nugraha
Penduduk Sentani membawa hasil bumi | by Pepih Nugraha
Adapun puncak pelaksanaan FDS bagi saya bukan pelepasan 100 lampion berwarna merah menyala bertuliskan “Save Sentani Lake” yang diterbangkan malam hari sehingga menjadi semacam hiasan indah di atas Danau Sentani, melainkan hadirnya perwakilan warga kampung yang berdiam di sekitar Danau Sentani yang membawa hasil tani ke atas panggung.

Seperti pasukan pulang perang yang membawa kemenangan, sejumlah perahu muncul dari tengah danau, merapat ke atas panggung yang sedang melakukan acara seremonial. Di atas perahu mereka menari dan membunyikan tifa serta tetabuhan lainnya. Perahu-perahu itu kemudian memuntahkan warga yang umumnya bertelanjang dada dengan hasil tani atau hasil kebun bawaan mereka yang dipersembahkan untuk memeriahkan festival.

Hasil tani yang mereka bawa itu antara lain tebu, pinang yang menjadi “candu” sehari-hari warga Papua, jagung, umbi-umbian, dan ketela. Seluruh makanan itu ditumpuk di atas panggung dan sebagian di bawah untuk sama-sama disantap pada hari penutupan festival. Kecuali pinang yang dipetik orangtua sampai anak-anak sampai hampir habis tinggal tangkainya, hasil kebun lainnya nyaris tidak disentuh. Ah, pinang memang “candu”.

Beberapa spot waktu diisi perlombaan paduan suara, tarian rakyat, dan orkestra seruling tradisional. Lomba meniup seruling secara berjamaah ini berlangsung saat matahari memanggang dengan angin danau yang menyelusup membuai sukma. Ada sekitar enam kelompok yang tampil membawakan lagu wajib dan lagu pilihan. Satu kelompok yang berpakaian seragam bisa berisi sampai 20 peniup seruling bambu dengan hanya satu atau dua drum band.

Meski suara tiupan seruling yang dihasilkan nyaris monoton, namun akibat dari embusan angin semilir danau Sentani yang sangat dahsyat, plus perut menahan lapar dan dahaga, saya sempat tertidur di kursi penonton sekian lama (semoga tidak sambil ngorok). Sadar-sadar dan terbangun setelah acara usai dan berganti dengan tarian yang riuh-rendah yang saya pikir telah terjadi kerusuhan betulan!

Demikian bagian ketiga catatan perjalanan yang saya sebut “Journeylism” ini saya tulis dengan gaya “freewriting”, menulis gaya bebas yang lebih ekspresif dengan pendekatan “suka-suka gue”. Semoga ada manfaatnya.

Saya masih akan menuliskan satu catatan pamungkas dari rangkaian perjalanan atas kebaikan PT FI ini, mulai dari Timika sampai Sentani di Jayapura. Sebuah catatan penutup yang lebih personal dan bermakna sebagai “perjalanan batin” saat bertemu saudara dekat yang telah mengembara sekian lama di tanah Papua nun jauh di sana, dilihat dari cakrawala pulau Jawa melalui kacamata batin saya. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun