Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kau Tercipta dari Tulang Rusuk Ikan (#Journeylism 3)

28 Juni 2016   15:43 Diperbarui: 29 Juni 2016   04:17 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadis-gadis Papua meramaikan Festival Danau Sentani | by Pepih Nugraha

Namun demikian, festival ini belum menjadi “destinasi utama” pariwisata atau agenda penting para pelancong. Di sini tawaran Bupati Mathius menjadi penting dan masuk akal, bahwa dengan hadirnya investor yang akan menata penyelenggaraan FDS lebih baik, diharapkan dapat menarik minat pelancong sehingga menjadi agenda wisata budaya berikutnya.

Sebagaimana ajang sebuah festival, FDS ke-9 kali ini dipenuhi berbagai stand baik yang menjual makanan dan minuman (kuliner) atau anjungan daerah yang menampilkan kreasi masing-masing. 

Penduduk Sentani membawa hasil bumi | by Pepih Nugraha
Penduduk Sentani membawa hasil bumi | by Pepih Nugraha
Adapun puncak pelaksanaan FDS bagi saya bukan pelepasan 100 lampion berwarna merah menyala bertuliskan “Save Sentani Lake” yang diterbangkan malam hari sehingga menjadi semacam hiasan indah di atas Danau Sentani, melainkan hadirnya perwakilan warga kampung yang berdiam di sekitar Danau Sentani yang membawa hasil tani ke atas panggung.

Seperti pasukan pulang perang yang membawa kemenangan, sejumlah perahu muncul dari tengah danau, merapat ke atas panggung yang sedang melakukan acara seremonial. Di atas perahu mereka menari dan membunyikan tifa serta tetabuhan lainnya. Perahu-perahu itu kemudian memuntahkan warga yang umumnya bertelanjang dada dengan hasil tani atau hasil kebun bawaan mereka yang dipersembahkan untuk memeriahkan festival.

Hasil tani yang mereka bawa itu antara lain tebu, pinang yang menjadi “candu” sehari-hari warga Papua, jagung, umbi-umbian, dan ketela. Seluruh makanan itu ditumpuk di atas panggung dan sebagian di bawah untuk sama-sama disantap pada hari penutupan festival. Kecuali pinang yang dipetik orangtua sampai anak-anak sampai hampir habis tinggal tangkainya, hasil kebun lainnya nyaris tidak disentuh. Ah, pinang memang “candu”.

Beberapa spot waktu diisi perlombaan paduan suara, tarian rakyat, dan orkestra seruling tradisional. Lomba meniup seruling secara berjamaah ini berlangsung saat matahari memanggang dengan angin danau yang menyelusup membuai sukma. Ada sekitar enam kelompok yang tampil membawakan lagu wajib dan lagu pilihan. Satu kelompok yang berpakaian seragam bisa berisi sampai 20 peniup seruling bambu dengan hanya satu atau dua drum band.

Meski suara tiupan seruling yang dihasilkan nyaris monoton, namun akibat dari embusan angin semilir danau Sentani yang sangat dahsyat, plus perut menahan lapar dan dahaga, saya sempat tertidur di kursi penonton sekian lama (semoga tidak sambil ngorok). Sadar-sadar dan terbangun setelah acara usai dan berganti dengan tarian yang riuh-rendah yang saya pikir telah terjadi kerusuhan betulan!

Demikian bagian ketiga catatan perjalanan yang saya sebut “Journeylism” ini saya tulis dengan gaya “freewriting”, menulis gaya bebas yang lebih ekspresif dengan pendekatan “suka-suka gue”. Semoga ada manfaatnya.

Saya masih akan menuliskan satu catatan pamungkas dari rangkaian perjalanan atas kebaikan PT FI ini, mulai dari Timika sampai Sentani di Jayapura. Sebuah catatan penutup yang lebih personal dan bermakna sebagai “perjalanan batin” saat bertemu saudara dekat yang telah mengembara sekian lama di tanah Papua nun jauh di sana, dilihat dari cakrawala pulau Jawa melalui kacamata batin saya. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun