Namun demikian, festival ini belum menjadi “destinasi utama” pariwisata atau agenda penting para pelancong. Di sini tawaran Bupati Mathius menjadi penting dan masuk akal, bahwa dengan hadirnya investor yang akan menata penyelenggaraan FDS lebih baik, diharapkan dapat menarik minat pelancong sehingga menjadi agenda wisata budaya berikutnya.
Sebagaimana ajang sebuah festival, FDS ke-9 kali ini dipenuhi berbagai stand baik yang menjual makanan dan minuman (kuliner) atau anjungan daerah yang menampilkan kreasi masing-masing.
Seperti pasukan pulang perang yang membawa kemenangan, sejumlah perahu muncul dari tengah danau, merapat ke atas panggung yang sedang melakukan acara seremonial. Di atas perahu mereka menari dan membunyikan tifa serta tetabuhan lainnya. Perahu-perahu itu kemudian memuntahkan warga yang umumnya bertelanjang dada dengan hasil tani atau hasil kebun bawaan mereka yang dipersembahkan untuk memeriahkan festival.
Hasil tani yang mereka bawa itu antara lain tebu, pinang yang menjadi “candu” sehari-hari warga Papua, jagung, umbi-umbian, dan ketela. Seluruh makanan itu ditumpuk di atas panggung dan sebagian di bawah untuk sama-sama disantap pada hari penutupan festival. Kecuali pinang yang dipetik orangtua sampai anak-anak sampai hampir habis tinggal tangkainya, hasil kebun lainnya nyaris tidak disentuh. Ah, pinang memang “candu”.
Beberapa spot waktu diisi perlombaan paduan suara, tarian rakyat, dan orkestra seruling tradisional. Lomba meniup seruling secara berjamaah ini berlangsung saat matahari memanggang dengan angin danau yang menyelusup membuai sukma. Ada sekitar enam kelompok yang tampil membawakan lagu wajib dan lagu pilihan. Satu kelompok yang berpakaian seragam bisa berisi sampai 20 peniup seruling bambu dengan hanya satu atau dua drum band.
Meski suara tiupan seruling yang dihasilkan nyaris monoton, namun akibat dari embusan angin semilir danau Sentani yang sangat dahsyat, plus perut menahan lapar dan dahaga, saya sempat tertidur di kursi penonton sekian lama (semoga tidak sambil ngorok). Sadar-sadar dan terbangun setelah acara usai dan berganti dengan tarian yang riuh-rendah yang saya pikir telah terjadi kerusuhan betulan!
Demikian bagian ketiga catatan perjalanan yang saya sebut “Journeylism” ini saya tulis dengan gaya “freewriting”, menulis gaya bebas yang lebih ekspresif dengan pendekatan “suka-suka gue”. Semoga ada manfaatnya.
Saya masih akan menuliskan satu catatan pamungkas dari rangkaian perjalanan atas kebaikan PT FI ini, mulai dari Timika sampai Sentani di Jayapura. Sebuah catatan penutup yang lebih personal dan bermakna sebagai “perjalanan batin” saat bertemu saudara dekat yang telah mengembara sekian lama di tanah Papua nun jauh di sana, dilihat dari cakrawala pulau Jawa melalui kacamata batin saya. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H