Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kau Tercipta dari Tulang Rusuk Ikan (#Journeylism 3)

28 Juni 2016   15:43 Diperbarui: 29 Juni 2016   04:17 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun demikian para antropolog telah bersepakat sejak lama, bahwa suku-suku Papua itu hanya terbagi ke dalam dua golongan saja, yakni masrakat pegunungan atau pedalaman dan masyarakat pesisir yang mendiami garis panjang pantai. Kamoro, suku yang saya ceritakan ini, adalah masyarakat pantai dengan budaya laut dan ikannya yang kental.

Kekentalan alam yang melekat pada suku Kamoro tercermin dalam tarian, ukiran, dan anyaman yang juga dipamerkan di FDS kali ini. Suku Kamoro berdiam di sepanjang aliran sungai Opa dan Mukamuga di sekitar teluk Etna. Nama desa mereka antara lain Torja, Kamoro, Wania dan Mukamuga di Kecamatan Mimika Timur dan Mimika Barat Kabupaten Mimika. Penduduk Kamoro diperkirakan berjumlah 10.000 jiwa dengan bahasa Kamoro sebagai bahasa pengantar sehari-hari.

Selain suku Asmat yang sudah lebih dahulu dikenal dunia, suku Kamoro juga terampil dalam seni ukir, membuat patung dan anyaman. Dibandingkan karya seni Asmat, hasil karya seni suku Kamoro yang dibawa ke Danau Sentani di Jayapura ini memiliki corak yang lebih abstrak. Tongkat mereka yang disebut “otekapa” penuh dengan motif sirip ikan atau “eraka waiti” atau tulang sayap kelelawar, “takoema”. Maknanya, si pemilik tongkat yang membuat motif ini percaya bahwa ia berasal dari ikan dan kelewar, dua jenis hewan yang akrab dalam kehidupan sehari-hari.

Seni ukir Kamoro yang tampil di anjungan PT FI juga menampilkan motif  ruas tulang belakang yang disebut “uema” yang bisa bermakna tulang belakang manusia, ikan atau unggas. Suku Kamoro berpendapat, ruas tulang belakang adalah lambang kehidupan sehingga untuk menghormatinya tercermin dalam berbagai motif seni ukir dan pahat.

Motif lainnya adalah awan putih berarak yang disebut “uturu tani” dan kepala manusia, “upau”. Keduanya mewakili perlambang abstrak dengan imajinasi yang hanya bisa dipahami oleh suku Kamoro sendiri. Bisa juga sebagai perlambang cinta, keyakinan transenden, harapan, dan bahkan perjuangan hidup yang tidak ringan bahkan di antara mereka sendiri. Motif ukiran lainnya yang cukup abstrak adalah ekor kuskus atau “wakwn bipi”, lidah biawak atau “okembare”, kepala ular  atau “apako upau”, insang ikan atau “ereka kenemu” dan tulang ikan atau “ema”.

Ada beberapa motif lainnya yang tidak mungkin disebutkan dalam catatan perjalanan yang saya sebut “Journeylism” ini. Namun demikian, banyaknya motif yang tercipta dari olah rasa, pikir dan karsa Kamoro menunjukkan bahwa suku ini memiliki “sense of art” yang tinggi.

Jika lukisan abstrak hasil karya para seniman ternama sering dihargai sangat tinggi oleh kolektor, demikian halnya hasil karya seni ukir suku Kamoro. Abstrak adalah bentuk lain dari filosofis yang harus dimaknai. Dengan sendirinya memerlukan keterampilan menerjemahkan pikiran atas motif ukiran yang abstrak ala suku Kamoro ini. Di sinilah keunikan sekaligus kekuatan suku Kamoro!

Seruling bambu yang membius

Festival Danau Sentani dari tahun ke tahun berlangsung nyaris tanpa perubahan konsep, menggelinding begitu saja karena memang dijadikan pesta rakyat oleh 24 kampung dari enam kecamatan yang berada di sekitar Danau Sentani. Pihak penyelenggara, termasuk Bupati Jayapura Mathius Awoitauw dalam kata sambutannya menawarkan kesempatan jika ada pihak yang bersedia menjadi investor untuk penyelenggaraan FDS berikutnya.

Secara khusus Bupati menyampaikan terima kasih kepada PT FI yang setiap tahun selalu berpartisipasi dalam penyelenggaraan festival di mana kali ini mengirimkan kontingen besar duta seni suku Kamoro. Pihak PT FI yang diwakili Riza Pratama saat diberi kesempatan berbicara juga bertekad untuk terus berpartisipasi dalam pelaksanaan FDS di masa mendatang. “Kami juga berharap warga Papua dapat mendukung perpanjangan kontrak usaha kami,” katanya.

Bahwa ada masyarakat “luar” Sentani yang hadir, itu tidak lain dari semangat memeriahkan dan menyukseskan jalannya festival, sebagaimana yang dilakukan PT FI dengan menghadirkan kontingen suku Kamoro-nya. Pejabat luar Jayapura seperti Bupati Merauke Frederikus Gebze hadir, juga hadir atas prakarsa sendiri atau karena berkerabat dengan Bupati Jayapura Mathius Awoitauw yang membuka festival ini. Beberapa wisatawan asing juga nampak mengabadikan festival ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun