Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dua Arjuna Mencari Malaria di Papua (#Journeylism 2)

27 Juni 2016   13:41 Diperbarui: 27 Juni 2016   18:20 1553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peneliti malaria bekerja di lab | by Pepih Nugraha


Jika sempat membaca kitab Mahabharata, Anda akan mengenal Arjuna, tokoh yang digambarkan berwajah tampan dengan “soulmate” bernama Kresna. Arjuna adalah anggota Pandawa berparas keren dan berhati lembut selembut salju. Di Indonesia, Arjuna telah menginspirasi banyak cerpenis, novelis maupun komponis.

Itu bukan isapan jempol. Yudhistira ANM Massardi pernah menulis novel “Arjuna Mencari Cinta”. Musisi Ahmad Dhani lewat grup musik Dewa19 menggubah lagu dengan judul yang sama persis. Bayangkan, para kaum pria pun terinspirasi wajah tampan sang Arjuna, menggerakkan pena mereka untuk menulis syair lagu indah maupun cerita mengharubiru.

Lantas, bagaimana ceritanya di tanah Papua bisa ada Arjuna?

Oalah.... jangan-jangan “nasib” saya juga sama dengan Yudhistira dan Ahmad Dhani, sama-sama kepincut Arjuna. Tidak. Saya terinspirasi menulis catatan ini karena ada wartawati di rombongan kami yang demikian terpana menemukan sekaligus dua Arjuna di tanah Papua!

Apakah mereka aktor atau pesinetron yang kebetulan sedang “shooting” di Papua? O bukan! Mereka adalah peneliti muda yang sedang menyelesaikan disertasinya dengan melakukan penelitian di Timika. Apakah mereka sedang meneliti pertambangan di Tembagapura milik PT Freeport Indonesia? Bukan juga! Dua Ajuna ini masing-masing calon Doktor dan seorang lagi dokter muda yang sedang melakukan penelitian tentang nyamuk malaria!

Arjuna mencari malaria, demikian saya menyebutnya. 

Arjuna pertama bernama Steven Kho. Ia kuliah S1 sampai S3 di Australia, tetapi sesungguhnya dia orang Indonesia tulen meski wajahnya kebule-bulean. Saat kami temui di Pusat Penelitian Malaria yang merupakan bagian dari Rumah Sakit Mitra Masyarakat (RSMM) Timika, saya sempat terkecoh atas kefasihannya berbahasa Indonesia. “Kamu fasih sekali berbahasa Indonesia, jangan-jangan sudah lupa dengan bahasa Inggrismu,” kata saya. Jawaban yang saya terima cukup menampar saya, “Lha, saya memang orang Indonesia, Pak!” 

Steven beribukan perempuan Inggris yang sudah menjadi WNI dengan  ayah berdarah Kalimantan.

Tetapi dari peristiwa inilah cerita mengalir saat kami, sejumlah wartawan dari media arus utama dan penulis Kompasiana berkunjung ke Pusat Penelitian Malaria, sebuah lembaga penelitian khusus untuk penyakit malaria yang merupakan penyakit “khas” Papua. Pusat penelitian ini didirikan bersama pemerintah, PT FI, dan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Komoro (LPMAK). 

Amungme dan Kamoro adalah dua nama suku yang berada dekat dengan pusat penambangan Tembagapura di Kabupaten Mimika yang menjadi binaan utama PT FI, bersama lima suku lainnya; Nduga, Damal, Dani, Moni, dan Ekari.

Hasil penelitian di laboratorium murni untuk kepentingan pelayanan masyarakat dalam menanggulangi penyakit malaria akibat gigitan nyamuk dan salah satu proyek utamanya, sebagaimana dijelaskan Steven, adalah meneliti obat malaria dalam skala nasional. “Dari hasil penelitian ini kami bisa memberi rekomendasi mana obat yang baik dan mana yang kurang tepat,” kata Arjuna, eh... kata Steven.

Satu lagu Arjuna lainnya yang bekerja di Pusat Penelitian Malaria yang tak kalah tampannya ialah dokter Benedictus Andries. Dokter berusia 27 tahun asal Bogor ini pernah mengabdi sebagai dokter muda di rumah sakit yang sama di mana ia melakukan penelitian selama satu tahun. Namun akhirnya jebolan Universitas Katolik Atmajaya Jakarta ini berlabuh di Pusat Penelitian Malaria karena kecintaannya melakukan riset.

Dokter Avis yang juga seorang Kompasianer pernah menulis, “Malaria” berasal dari bahasa Italia “aria cattiva” yang berarti udara kotor. Penyakit ini berasal dari gigitan nyamuk Anopheles yang bekerja mulai maghrib hingga malam hari. Terdapat 24 spesies Anopheles yang dapat menularkan penyalit malaria. Uniknya, hanya nyamuk betina saja yang menggigit. “Bayangkan kalau nyamuk jantan juga ikut-ikutan menggigit dan menularkan penyakit,” tulis Avis yang bernama asli Hafiidhaturrahmah.

Pusat Penelitian Malaria sendiri melakukan pencegahan khususnya di daerah pesisir di lebih dari 20 kampung. Menurut Andries, malaria merupakan penyakit nomor satu di seluruh Papua, setidak-tidaknya kasusnya paling banyak ditemukan di provinsi paling timur negeri ini. Nyamuk Anopheles ini membawa parasit Plasmodium yang disebut penyakit malaria jika parasit ini berkembang dalam tubuh manusia.

Peneliti malaria bekerja di lab | by Pepih Nugraha
Peneliti malaria bekerja di lab | by Pepih Nugraha
Kegiatan berupa penyuluhan dilakukan secara rutin, pembagian kelambu khususnya untuk ibu-ibu hamil, penyemprotan dan pengecekan sampel darah penduduk. Menurut Dokter Avis, bukan hal mudah memberi penyuluhan mengenai penggunaan kelambu untuk ibu-ibu. Udara yang panas menjadikan penduduk lupa akan fungsi kelambu yang sesungguhnya, yakni mencegah menularnya penyakit malaria. Akhirnya, kelambu tinggal kelambu demi udara yang lebih segar dengan risiko sangat besar, yakni tertular penyakit malaria.

RSMM Timika cukup membetot perhatian saya. Ini adalah rumah sakit yang pendanaannya diambil dari Corporate Social Responsibility (CSR) yang jumlah keseluruhnya bernilai 1 persen penghasilan kotor PT FI. Kesan pertama saat memasuki kawasan rumah sakit ini justru penempatan kamar jenazahnya!

Bagaimana gambaran umum mengenai kamar jenazah sebagai salah satu bangunan paling angker di area sebuah rumah sakit? Mungkin jawaban ini mewakili; sepi, muram, menakutkan, terpencil, gelap, dan sederet kata lain untuk memperkuat makna “angker”. Nasib sebuah kamar jenazah di mana-mana selalu begitu; muram dan menakutkan. Tetapi tidak untuk kamar jenazah di RSMM Timika ini.

Kalau di rumah sakit lain kamar jenazah sebagai terminal akhir perjuangan hidup si sakit umumnya ditempatkan di area terpencil dan terbelakang, di RSMM Timika kamar jenazah malah didudukkan di tempat terhormat, yakni berada paling depan kompleks rumah sakit itu secara keseluruhan. Lihat juga wajah kamar jenazah yang bercat putih bersih dengan tiang-tiang penyangga dan plafon bercat merah, lebih mengesankan unit sebuah rumah penduduk tipe menengah-bawah di sebuah kompleks perumahan.

Sesuai namanya RSMM Timika, rumah sakit ini terletak di Kota Timika, dibangun akhir 1998 dan beroperasi setahun kemudian. Sebagaimana telah saya singgung sebelumnya, rumah sakit ini diperuntukkan bagi dua suku utama dan lima suku di kawasan dekat Tembagapura yang menjadi binaan PT FI. Sebagaimana dijelaskan staf Biro Kesehatan LPMAK Liony, untuk tujuh suku dan penduduk Mimika pengobatan dilakukan tanpa biaya alias gratis.

Di luar tujuh suku itu, jelas Liony, dikenakan biaya tetapi relatif terjangkau. Uniknya, pembangunan RSMM Timika ini mendahului pembangunan RSUD Mimika milik pemerintah yang baru dibangun 10 tahun kemudian.  

Radio Australia dalam siarannya saat memperingati Hari Malaria Internasional tiga tahun lalu menyebutkan, Papua masih tercatat sebagai wilayah endemik terbesar di Indonesia untuk penyakit malaria. Pada tahun 2012, misalnya, tercatat lebih dari 431.000 warga yang menderita malaria dengan rasio kejadian 96 kasus per 1.000 kelahiran. Sebuah angka sangat besar sehingga menempatkan Papua sebagai daerah rawan malaria.

Mengenai keberadaan RSMM Timika sendiri, dokter Michael, jebolan Universitas Sam Ratulangi Manado kepada saya menjelaskan, ke depan rumah sakit di mana ia bertugas sudah harus menerapkan manajemen bisnis rumah sakit profesional untuk kalangan tertentu yang bisa menjangkau dana yang ditetapkan namun dengan pelayanan yang lebih berkelas. “Untuk itu disediakan ruang perawatan Yosep dan Maria yang merupakan layanan Kelas 1 sampai VIP,” jelasnya.

Mencoba “kendaraan cacing”

Kendaraan operasional penambangan | by Pepih Nugraha
Kendaraan operasional penambangan | by Pepih Nugraha
Mengunjungi RSMM Timika dan Pusat Penelitian Malaria di dalamnya sesungguhnya terjadi di hari terakhir keberadaan kami di Timika dan setelahnya kami harus berada di perut Garuda untuk terbang ke Jayapura menghadiri Festival Danau Sentani yang sudah berlangsung kesembilan kalinya sejak 2007. Beberapa peristiwa yang saya catat sebelumnya antara lain berkunjung ke Institut Pertambangan Nemangkawi, Mimika Sport Center, dan pengolahan kopi Amungme oleh koperasi setempat.

Institut Pertambangan Nemangkawi berada di pintu masuk Kuala Kencana, areal pemukiman moderen di tengah hutan Papua yang diperuntukkan bagi karyawan PT FI tertentu. Lagi, keberadaan insitut ini diprioritaskan bagi tujuh suku yang berada dekat kawasan Tembagapura di mana perusahaan penambangan internasional ini beroperasi.

Menurut Susan Kambuayah, Superintendent Trainingship and Support di insitut ini, pembagian peruntukkannya mengikuti rumus 90 berbanding 10, yakni 90 persen penduduk lokal dengan pembagian 45 persen suku lokal dan 45 persen suku kekerabatan serta sisa 10 persen untuk penduduk di luar tujuh suku tadi.

Saat kami diberi kesempatan untuk mengikuti proses transfer ilmu bagi penduduk lokal di institut ini, saya masuk ke dalam satu ruang kelas di mana lima orang penduduk lokal sedang belajar ilmu membaca dan menulis dasar. Tutornya juga penduduk lokal Papua. Jangan bayangkan sebuah kelas dengan materi menulis atau mengarang. Benar-benar belajar menulis dan mengeja kata perkata seperti “batu”, “jagung”, atau “Ibu”. Padahal dilihat dari sisi usia, para peserta pelatihan merupakan orang dewasa usia di atas 17 tahun.

Suasana belajar-mengajar bagi penduduk lokal | by Pepih Nugraha
Suasana belajar-mengajar bagi penduduk lokal | by Pepih Nugraha
Menurut Susan, durasi pendidikan berlangsung satu tahun dengan tiga bulan penyampaian materi di dalam kelas dan tujuh bulan praktik lapangan sebelum mereka dinyatakan lulus dan berhak mengisi kebutuhan pekerjaan di penambangan. “Sejak berdiri tahun 2003 insitut ini telah menyerap dua ribu delapan ratus lulusan yang kemudian dijadikan karyawan PT Freeport,” katanya.

Riza Pratama, Vice President Corporate Communication PT FI yang juga ikut menemani rombongan jurnalis mengatakan, keberadaan insitut ini merupakan komitmen perusahaan kepada suku lokal, khususnya tujuh suku yang berada dekat area penambangan.

Di insitut ini pula terdapat berbagai fasilitas simulasi dan percontohan skala seutuhnya kendaraan khusus yang nantinya akan beroperasi di perut bumi Papua, mirip seekor cacing yang memiliki jalan sendiri. Kendaraan khusus yang bisa menarik tujuh lori di belakangnya sedang berada di Undergrounds Training Simulation Area. Ketika ditawari untuk menaiki “kendaraan cacing” ini, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan. Bukan saya yang menjadi sopir, tetapi cukup menjadi co-driver bagi Martin, peserta training yang sudah mahir mengemudikan kendaraan berat buatan Italia itu. Dua kendaraan bercat putih dan kuning masing-masing berjalan beriringan di atas rel.

“Inilah kendaraan untuk mengangkut hasil galian penambangan yang akan beroperasi di bawah tanah,” Martin menjelaskan. “Di belakang loko ini nanti ada tujuh lori yang masing-masing lori bisa mengangkut berton-ton hasil penggalian.”

Karena hari sudah beranjak siang dan sebentar lagi azan salat Jumat berkumandang dari masjid Baitur Rahim yang berada di kompleks perumahan Kuala Kencana, kami yang Muslim menyegerakan diri ke sana agar tidak terlambat. Masjid yang didesain AR Soehoed atas instruksi Dirut PT Freeport Ali Budiardjo dan berada tepat di tengah alun-alun kota Kuala Kencana ini masih berwajah sama seperti 13 tahun lalu saat untuk pertama kalinya saya salat.

Usai salat Jumat, saya berkesempatan mengunjungi supermarket “Hero” yang masih bertahan di Kuala Kencana untuk membeli keperluan. Karena hanya diperuntukkan bagi karyawan PT FI, maka saya meminjam akses kepada seorang karyawan agar bisa berbelanja untuk keperluan berbuka puasa. Kepada Riza Pratama saya bertanya mengapa supermarket hanya ada satu di Kuala Kencana dan apakah “Hero” telah melakukan praktik monopoli sehingga tidak ada supermarket lainnya?

Riza menjelaskan bahwa keberadaan satu-satunya supermarket di Kuala Kencana itu sebagai kesepakatan bisnis yang sudah berjalan puluhan tahun. Bahwa harganya sama persis dengan harga barang-barang di Jakarta atau tempat lain di Jawa, itu karena PT FI membantu pengadaan barang dengan cara membebaskan biaya cargo, sehingga biaya angkutan tidak dibebankan konsumen yang harus membeli barang lebih mahal. “Harga-harga harus sama dengan di Pulau Jawa, kalau tidak sama akan membebani daya belanja karyawan yang khususnya berasal dari Pulau Jawa,” kata Riza.

Selepas berkeliling Kuala Kencana perjalanan dilanjutkan ke Mimika Sport Center yang dibangun PT FI di atas lahan seluas 25 hektar dengan biaya 33 juta dollar AS atau sekitar Rp400 miliar untuk persiapan PON 2020. Satu lagi berkunjung ke pengolahan kopi Amungme Gold yang juga difasilitasi PT FI. Tetapi dua liputan ini saya “skip” karena kami harus melanjutkan perjalanan ke Jayapura untuk melihat Festival Danau Sentani. Segera. (Bersambung)

**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun