Hasil penelitian di laboratorium murni untuk kepentingan pelayanan masyarakat dalam menanggulangi penyakit malaria akibat gigitan nyamuk dan salah satu proyek utamanya, sebagaimana dijelaskan Steven, adalah meneliti obat malaria dalam skala nasional. “Dari hasil penelitian ini kami bisa memberi rekomendasi mana obat yang baik dan mana yang kurang tepat,” kata Arjuna, eh... kata Steven.
Satu lagu Arjuna lainnya yang bekerja di Pusat Penelitian Malaria yang tak kalah tampannya ialah dokter Benedictus Andries. Dokter berusia 27 tahun asal Bogor ini pernah mengabdi sebagai dokter muda di rumah sakit yang sama di mana ia melakukan penelitian selama satu tahun. Namun akhirnya jebolan Universitas Katolik Atmajaya Jakarta ini berlabuh di Pusat Penelitian Malaria karena kecintaannya melakukan riset.
Dokter Avis yang juga seorang Kompasianer pernah menulis, “Malaria” berasal dari bahasa Italia “aria cattiva” yang berarti udara kotor. Penyakit ini berasal dari gigitan nyamuk Anopheles yang bekerja mulai maghrib hingga malam hari. Terdapat 24 spesies Anopheles yang dapat menularkan penyalit malaria. Uniknya, hanya nyamuk betina saja yang menggigit. “Bayangkan kalau nyamuk jantan juga ikut-ikutan menggigit dan menularkan penyakit,” tulis Avis yang bernama asli Hafiidhaturrahmah.
Pusat Penelitian Malaria sendiri melakukan pencegahan khususnya di daerah pesisir di lebih dari 20 kampung. Menurut Andries, malaria merupakan penyakit nomor satu di seluruh Papua, setidak-tidaknya kasusnya paling banyak ditemukan di provinsi paling timur negeri ini. Nyamuk Anopheles ini membawa parasit Plasmodium yang disebut penyakit malaria jika parasit ini berkembang dalam tubuh manusia.
RSMM Timika cukup membetot perhatian saya. Ini adalah rumah sakit yang pendanaannya diambil dari Corporate Social Responsibility (CSR) yang jumlah keseluruhnya bernilai 1 persen penghasilan kotor PT FI. Kesan pertama saat memasuki kawasan rumah sakit ini justru penempatan kamar jenazahnya!
Bagaimana gambaran umum mengenai kamar jenazah sebagai salah satu bangunan paling angker di area sebuah rumah sakit? Mungkin jawaban ini mewakili; sepi, muram, menakutkan, terpencil, gelap, dan sederet kata lain untuk memperkuat makna “angker”. Nasib sebuah kamar jenazah di mana-mana selalu begitu; muram dan menakutkan. Tetapi tidak untuk kamar jenazah di RSMM Timika ini.
Kalau di rumah sakit lain kamar jenazah sebagai terminal akhir perjuangan hidup si sakit umumnya ditempatkan di area terpencil dan terbelakang, di RSMM Timika kamar jenazah malah didudukkan di tempat terhormat, yakni berada paling depan kompleks rumah sakit itu secara keseluruhan. Lihat juga wajah kamar jenazah yang bercat putih bersih dengan tiang-tiang penyangga dan plafon bercat merah, lebih mengesankan unit sebuah rumah penduduk tipe menengah-bawah di sebuah kompleks perumahan.
Sesuai namanya RSMM Timika, rumah sakit ini terletak di Kota Timika, dibangun akhir 1998 dan beroperasi setahun kemudian. Sebagaimana telah saya singgung sebelumnya, rumah sakit ini diperuntukkan bagi dua suku utama dan lima suku di kawasan dekat Tembagapura yang menjadi binaan PT FI. Sebagaimana dijelaskan staf Biro Kesehatan LPMAK Liony, untuk tujuh suku dan penduduk Mimika pengobatan dilakukan tanpa biaya alias gratis.
Di luar tujuh suku itu, jelas Liony, dikenakan biaya tetapi relatif terjangkau. Uniknya, pembangunan RSMM Timika ini mendahului pembangunan RSUD Mimika milik pemerintah yang baru dibangun 10 tahun kemudian.
Radio Australia dalam siarannya saat memperingati Hari Malaria Internasional tiga tahun lalu menyebutkan, Papua masih tercatat sebagai wilayah endemik terbesar di Indonesia untuk penyakit malaria. Pada tahun 2012, misalnya, tercatat lebih dari 431.000 warga yang menderita malaria dengan rasio kejadian 96 kasus per 1.000 kelahiran. Sebuah angka sangat besar sehingga menempatkan Papua sebagai daerah rawan malaria.