Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dua Arjuna Mencari Malaria di Papua (#Journeylism 2)

27 Juni 2016   13:41 Diperbarui: 27 Juni 2016   18:20 1553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengenai keberadaan RSMM Timika sendiri, dokter Michael, jebolan Universitas Sam Ratulangi Manado kepada saya menjelaskan, ke depan rumah sakit di mana ia bertugas sudah harus menerapkan manajemen bisnis rumah sakit profesional untuk kalangan tertentu yang bisa menjangkau dana yang ditetapkan namun dengan pelayanan yang lebih berkelas. “Untuk itu disediakan ruang perawatan Yosep dan Maria yang merupakan layanan Kelas 1 sampai VIP,” jelasnya.

Mencoba “kendaraan cacing”

Kendaraan operasional penambangan | by Pepih Nugraha
Kendaraan operasional penambangan | by Pepih Nugraha
Mengunjungi RSMM Timika dan Pusat Penelitian Malaria di dalamnya sesungguhnya terjadi di hari terakhir keberadaan kami di Timika dan setelahnya kami harus berada di perut Garuda untuk terbang ke Jayapura menghadiri Festival Danau Sentani yang sudah berlangsung kesembilan kalinya sejak 2007. Beberapa peristiwa yang saya catat sebelumnya antara lain berkunjung ke Institut Pertambangan Nemangkawi, Mimika Sport Center, dan pengolahan kopi Amungme oleh koperasi setempat.

Institut Pertambangan Nemangkawi berada di pintu masuk Kuala Kencana, areal pemukiman moderen di tengah hutan Papua yang diperuntukkan bagi karyawan PT FI tertentu. Lagi, keberadaan insitut ini diprioritaskan bagi tujuh suku yang berada dekat kawasan Tembagapura di mana perusahaan penambangan internasional ini beroperasi.

Menurut Susan Kambuayah, Superintendent Trainingship and Support di insitut ini, pembagian peruntukkannya mengikuti rumus 90 berbanding 10, yakni 90 persen penduduk lokal dengan pembagian 45 persen suku lokal dan 45 persen suku kekerabatan serta sisa 10 persen untuk penduduk di luar tujuh suku tadi.

Saat kami diberi kesempatan untuk mengikuti proses transfer ilmu bagi penduduk lokal di institut ini, saya masuk ke dalam satu ruang kelas di mana lima orang penduduk lokal sedang belajar ilmu membaca dan menulis dasar. Tutornya juga penduduk lokal Papua. Jangan bayangkan sebuah kelas dengan materi menulis atau mengarang. Benar-benar belajar menulis dan mengeja kata perkata seperti “batu”, “jagung”, atau “Ibu”. Padahal dilihat dari sisi usia, para peserta pelatihan merupakan orang dewasa usia di atas 17 tahun.

Suasana belajar-mengajar bagi penduduk lokal | by Pepih Nugraha
Suasana belajar-mengajar bagi penduduk lokal | by Pepih Nugraha
Menurut Susan, durasi pendidikan berlangsung satu tahun dengan tiga bulan penyampaian materi di dalam kelas dan tujuh bulan praktik lapangan sebelum mereka dinyatakan lulus dan berhak mengisi kebutuhan pekerjaan di penambangan. “Sejak berdiri tahun 2003 insitut ini telah menyerap dua ribu delapan ratus lulusan yang kemudian dijadikan karyawan PT Freeport,” katanya.

Riza Pratama, Vice President Corporate Communication PT FI yang juga ikut menemani rombongan jurnalis mengatakan, keberadaan insitut ini merupakan komitmen perusahaan kepada suku lokal, khususnya tujuh suku yang berada dekat area penambangan.

Di insitut ini pula terdapat berbagai fasilitas simulasi dan percontohan skala seutuhnya kendaraan khusus yang nantinya akan beroperasi di perut bumi Papua, mirip seekor cacing yang memiliki jalan sendiri. Kendaraan khusus yang bisa menarik tujuh lori di belakangnya sedang berada di Undergrounds Training Simulation Area. Ketika ditawari untuk menaiki “kendaraan cacing” ini, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan. Bukan saya yang menjadi sopir, tetapi cukup menjadi co-driver bagi Martin, peserta training yang sudah mahir mengemudikan kendaraan berat buatan Italia itu. Dua kendaraan bercat putih dan kuning masing-masing berjalan beriringan di atas rel.

“Inilah kendaraan untuk mengangkut hasil galian penambangan yang akan beroperasi di bawah tanah,” Martin menjelaskan. “Di belakang loko ini nanti ada tujuh lori yang masing-masing lori bisa mengangkut berton-ton hasil penggalian.”

Karena hari sudah beranjak siang dan sebentar lagi azan salat Jumat berkumandang dari masjid Baitur Rahim yang berada di kompleks perumahan Kuala Kencana, kami yang Muslim menyegerakan diri ke sana agar tidak terlambat. Masjid yang didesain AR Soehoed atas instruksi Dirut PT Freeport Ali Budiardjo dan berada tepat di tengah alun-alun kota Kuala Kencana ini masih berwajah sama seperti 13 tahun lalu saat untuk pertama kalinya saya salat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun