Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Biar Betah Kerja, Perankan "Homo Ludens" daripada "Homo Faber"

5 Februari 2016   13:41 Diperbarui: 8 Februari 2016   22:20 1180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Manusia makhluk bermain. Sumber: Shutterstock"][/caption]Kalau dalam pernikahan, rentang usia 25 tahun itu disebut "kawin perak". Artinya, saya sudah melaksanakan "kawin perak" dengan Harian Kompas, tempat di mana saya bekerja. Kalau konteks perkawinan, rasanya ada benarnya. Bukankah 25 tahun lalu saya melamar Kompas untuk saya "peristri"?

Jadi malu sendiri, karena selama 25 tahun itulah "istri" saya yang justru menghidupi saya, meski harus saya akui.... lumayan sulit "memperistri" Kompas.

Sebelum diterima bekerja di salah satu sudut kantornya yang megah di bilangan Palmerah, tidak kurang dari enam macam testing saya lalui. Berkat do'a dan dorongan orangtua, plus sejumlah makhluk halus yang menggoda saya di saat proses melamar, toh saya bisa menjadi bagian dari Kompas, bahkan sampai 25 tahun kemudian sejak ditetapkan sebagai karyawan percobaan 1 Mei 1990 sampai diangkat menjadi karyawan tetap 1 November 1990.

Apa yang saya dapatkan selama bekerja di Harian Kompas? Rezeki dan ilmu pengetahuan!

Kalau sekadar melihat "ke atas", rezeki yang saya peroleh tentu tidak akan pernah cukup. Beda kalau saya melihat lurus ke depan atau "ke bawah", saya harus bersyukur. Setidak-tidaknya empat hal kebutuhan utama hidup --sandang, pangan, papan, dan WiFi-- sudah tercukupi.

Sandang? Godaan untuk membeli yang bermerek dan keren-keren, sebagaimana digunakan para manekin berwajah beku, tentu besar. Tetapi, saya merasa hidup ini tidak melulu diukur oleh sandang yang bermerek. Penghormatan tidak datang hanya karena saya mengenakan pakaian berharga jutaan atau bahkan puluhan juta rupiah, misalnya. Tergoda juga sih ingin merasakan sandang bermerek, termasuk dalam hal ini sepatu. Tetapi ketahuilah, saya baru membelinya ketika ada diskon di atas 50 persen, itupun ketika modelnya sudah out of date sekitar setahun! Dan... saya tidak pernah membeli sandang dengan embel-embel "New Arrival".

Pangan? Pun demikian. Semasa kanak-kanak dulu, vitamin yang menjadi asupan penting tubuh terjaga berkat kawanan belut segar yang diambil malam hari begitu saja dari sawah. "Ngobor" istilahnya. Sampai-sampai karena keasikan "ngobor" menggunakan lampu patromax, saya dan bapak (alm) kehabisan minyak tanah. Untung membawa lampu senter. Bahkan, kami pernah "dibingungkan" tidak bisa pulang ke rumah dan harus muter-muter di sawah sampai minyak tanah terkuras. Kalau tidak membaca ayat Qursi, kami mungkin bisa tidur di pematang sawah.

Kalau saya sekarang mengenal salmon sashimi dan itu makanan kesukaan saya yang cukup mahal, itupun saya makan tidak setiap hari. Kadang ritual keluarga mengharuskan kami berburu salmon sashimi di restoran jepang di kawasan industri Cikarang sebulan sekali. Selebihnya, saya tetap berburu belut sebagai makanan favorit saya, yang mengisi vitamin tubuh saya sejak masak kanak-kanak di masa lalu, meski sekarang berburu belut di Pasar Jombang.

Papan? Nah, untuk yang satu ini saya memang menomorsatukannya. Bagi saya, saya bekerja berarti saya harus punya rumah tempat berlindung dari panas dan hujan. Alhamdulillah, berkat Kompas juga, saya memiliki rumah setelah tiga tahun dan empat bulan bekerja, yaitu di tahun 1994. Ya, rumah yang sekarang saya tempati di Kampung Sudimara, Jombang, Tangerang. Luas tanah "cuma" 144 meter persegi, rumah mungil yang bersejarah. Baiti janati, rumahku surgaku.

Ada cerita yang tak pernah saya lupa ketika naluri mengatakan, saya harus punya rumah sesegera mungkin, setelah kurang lebih empat tahun kos dan ngontrak rumah di Jakarta. Waktu itu, awal tahun 1994, saya diberi tahu atasan langsung di Pusat Informasi Kompas (PIK), Herman Meming namanya. Beliau kini sudah pensiun dan tinggal di Flores. "Pep, ini ada iklan Kompas penawaran perumahan baru di Sudimara. Saya tahu perumahan itu dekat dengan stasiun Sudimara, enak kalau ke kantor bisa naik kereta!" demikian Mas Meming.

Wow! Saya baru 3 tahun lebih empat bulan bekerja di Kompas, sementara hak pinjaman perumahan saat karyawan minimal harus bekerja 4 tahun. Ketika masa kerja 4 tahun sudah tercapai, karyawan diberi pinjaman sebesar 20 kali gaji pokok, dan jika sudah tercapai 7 tahun, diberi pinjaman sebesar 45 gaji pokok. Menunggu sampai masa kerja tujuh tahun terlalu lama, tetapi untuk mencapai 4 tahun masa kerja pun saya harus delapan bulan lagi. Pusinglah saya mendengar tawaran Mas Meming itu!

Boleh dibilang tabungan saya 0 rupiah. Harga rumah Rp 32 juta. Uang muka yang harus saya sertakan kurang lebih Rp 20 juta. Gaji saya kalau dikalikan 20 "hanya" sebesar Rp 13 juta. Terlebih lagi, bagaimana saya bisa mendapatkan pinjaman kantor yang sebesar 20 gaji pokok saya itu  saya belum genap 4 tahun bekerja!?

"Kamu maju saja ke Mas Dod, siapa tahu dia ngasih pinjaman!" usul Mas Meming ketika saya menyatakan sudah melihat lokasi perumahannya, menggunakan sepeda motor dari Palmerah-Sudimara. Memang strategis lokasinya. Yang disebut "Mas Dod" oleh atasan saya itu tidak lain Boss PIK, Joseph Widodo, pria berkacamata tebal yang merupakan jurnalis senior Kompas. Tetapi itu imposible! pikir saya.

Tekad besar mengalahkan rasa malu. Ini saya rasakan betul. Tanpa skenario, saya menghadap Mas Dod melalui sekretarisnya, Mbak Bono. Mbak Bono atau Mbak Widya, adalah sekretaris yang bekerja profesional. Dia menanyakan maksud saya dan saya jelaskan apa adanya tatkala menghadap untuk menyerahkan surat permohonan. "Kebetulan Mas Dod ada di dalam, kamu tunggu saja di sini, saya ke Mas Dod sekarang!" Baiklah, batin saya. Saya menunggu di sebuah kursi di depan ruangan Mas Dod. No More Lonely Night-nya Paul McCartney mengusik telinga saya dari sebuah radio kecil. Mbak Bono datang kembali dan mempersilakan saya masuk.

Ini pertemuan kali kesekian saya dengan Mas Dod selain wawancara saat mulai bekerja. Saya dipersilakan masuk dan dia mulai membuka surat permohonan. "Wah, masih lama ya, you masih harus menunggu delapan bulan lagi!" katanya. Perkataan ini sangat menghujam ulu hati. Yah.... gagal deh, pikir saya. Tetapi saya berusaha menenangkan diri. "Namanya juga permohonan, Mas Dod, siapa tahu boleh," balas saya sekenanya. O ya, saya bukan kurang ajar memanggil boss besar dengan sebutan "Mas" plus inisial pula. Ini kebiasaan saja.

"Gini aja deh!" katanya, "You tunggu besok, saya akan bicara dengan bagian Keuangan terlebih dahulu, nanti Bono yang akan kabari!" Saya menjawab, "Baik, Mas Dod, terima kasih!"

Dapatkah teman-teman bayangkan bagaimana perasaan saya menunggu esok tiba? Wah, saya ingin segera esok terjadi dan putaran waktu pun ingin saya stel lebih cepat. Alhasil, saya tidak bisa tidur di rumah kontrakan di Kemandoran. Insomnia mendadak. Saya bayangkan, kalau pinjaman turun, sebuah rumah mungil akan segera saya miliki, saya tidak perlu mengontrak rumah lagi. Dan... esok pagi pun tiba!

Saya bekerja seperti biasa, melayani informasi yang diperlukan pengguna, sementara panggilan dari Mas Dod lewat Mbak Bono belum juga saya terima. Saya masih ingat, tatkala saya hendak istrirahat makan siang sekitar pukul 12.00 WIB, telepon meja berdering. Ah, paling dari wartawan yang mamu meminta informasi. Bukan! Itu suara Mbak Bono. "Pep, kamu bisa datang ke ruangan Mas Dod!?" Inikah cara manusiawi boss Kompas dalam menolak permintaan karyawan, pikir saya. Saya mengiyakan.

Saya disambut Mbak Bono di depan ruangan Mas Dod. Ia membukakan pintu masuk ke ruangan boss PIK itu. Saya pun langsung masuk dan duduk di depan Mas Dod. Tanpa basa-basi, Mas Dod bilang, "Wah, you kok beruntung banget ya, ini belum pernah terjadi... permintaan you dikabulkan!" O, ya...!? pekik batin saya. Pada saat saya kebingungangan begitu, Mas Dod bilang, "Segera urus ke Mas Mardji dibagian renumerasi, ya!" Saya salami Mas Dod. Kalau saja dia tahu, saat itu mata saya berkaca-kaca saking senang dan terharunya. Mbak Bono memandang saya sambil senyam-senyum, "Gimana, Pep?" tanyanya. Saya menyalaminya dan berterima kasih.

Singkat cerita, saya bisa memiliki rumah yang sekarang saya tempati dengan cara menyicil. Pinjaman cair sebesar Rp 13 juta dan gaji saya harus dipotong seperempatnya setiap bulan sampai lunas. Sisa kekurangannya saya pinjam ke Bank Niaga, sehingga genap Rp 22 juta sebagai uang muka. Ke BTN sudah pasti harus menyicil juga. Utang kedua bank, sementara gaji dipotong. Tidak apalah, gaji istri saya untuk cicilan BTN, untuk sehari-hari ya sisa dipotong utang ke perusahaan. Yang penting, rumah mungil tipe 45 sudah kami miliki. Sungguh bangganya saya waktu itu, sebab orang lain harus menunggu 4 tahun bekerja, saya baru bekerja tiga tahun empat bulan sudah bisa memiliki rumah sendiri!

Apakah ini cara Allah membimbing saya? Saya yakini iya.... Sehabis semua cicilan lunas, terpikir kemudian untuk memperpanjang pinjaman ke bank. Saya beralih ke Bank DKI yang kala itu bekerja sama dengan perusahaan untuk memberi pinjaman. Modalnya sertifikat rumah yang sudah lunas. Gaji dipotong langsung pihak bank dari rekening. Ah, saya memang sudah terbiasa dipotong, jadi tidak ada salahnya memperpanjang pinjaman. Singkat cerita, saya punya sejumlah properti lagi dari cara "ngutang ke bank" dan itu saya lakukan sampai sekarang!

Tentang 25 tahun bekerja, sudah saya ceritakan sebelumnya bahwa saya hanya bertahan selama 4 tahun saja bekerja sebagai pustakawan di PIK. Selebihnya, saya sudah tidak kerasan dan ingin menjadi wartawan. Toh ketika kesempatan itu datang, saya tidak menyia-nyiakannya. Maka sejak 1995, saya tercatat sebagai salah satu wartawan Kompas, sampai sekarang. Sebenarnya, saya baru 20 tahun menjadi wartawan, tetapi kalau diukur dari menulis, saya sudah mulai menulis sejak tahun 1977, sejak saya duduk di kelas enam sekolah dasar! 

Apakah 20 tahun sebagai jurnalis plus 5 tahun sebagai pustakakawan di perusahaan yang sama tidak menjemukan? Tergantung bagaimana saya memandang dan menikmatinya. Mungkin cara saya unik. Saya menemukan rumus jitu biar saya betah bekerja. Sederhana. Yaitu.... saya menganggap pekerjaan itu adalalah hobi!

Ya, apa yang saya lakukan selama 25 tahun ini sekadar menyalurkan hobi semata, bukan bekerja! Jadi, rugilah Kompas menggaji saya hahaha....

Apapun penilaiannya, terserah sajalah. Kalau saya memandang 25 tahun bergabung di Kompas sebagai pekerjaan, sudah pasti rasa beban berat saya rasakan dalam melaksanakannya. Pekerjaan apapun ada kalanya mengenal malas atau "ogah" ke kantor, malas ke lapangan. Malas, karena bekerja pasti di bawah tekanan. Malas, karena bekerja menyita waktu kebersamaan dengan keluarga. Itu sudah pasti kalau saya mengkondisikan diri sebagai bekerja dan saya manusia pekerja, homo faber!

No! Saya bukan homo faber sejati, melainkan homo ludens, manusia bermain.

Secara kebetulan, pada tahun 1992 saat saya dirawat di RS Pelni, saya membaca buku filsafat lawas karangan Johan Huizinga. Judulnya ya Homo Ludens itu, manusia bermain. Bagi Huizinga, dalam tubuh manusia tidak hanya dikenal semata sebagai homo sapiens, homo economicus, homo faber, dan seterusnya... tetapi ada unsur homo ludens, bahkan unsur ini lebih sering mengemuka dalam kehidupan sehari-hari. Perang, seni drama, musik, pertandingan, olahraga, percintaan, dan bahkan pekerjaan, ada unsur ludens-nya juga, yaitu unsur bermain.

Nah, apa salahnya saya berpikir cara Huizinga, bahwa pekerjaan yang saya lakukan selama 25 tahun ini sebagai menyalurkan hobi alias sedang memerankan diri sebagai homo ludens saja, sedang main-main saja. Maka, ketika saya membalikkan anggapan dan kenyataan bahwa apa yang saya kerjakan sebagai hobi, sebagai bagian dari permainan, sungguh ajaib... saya tidak punya alasan untuk malas dalam melaksanakan hobi!

Karena hobi, saya melakukan semua pekerjaan dengan ringan tanpa tekanan. Tuntutan iya, tetapi semua teratasi karena saya lakukan tanpa beban, wong yang saya kerjakan cuma "dolanan" saja, sekadar menyalurkan hobi!

Itulah mengapa selama 25 tahun bekerja saya tidak pernah merasakan kebosanan dan tekanan kerja. Ya itu tadi, saya menganggapnya sekadar menyalurkan hobi saya di Kompas, yaitu hobi menulis!

Demikian catatan saya akhiri. Semoga para Boss Kompas tidak ada yang membaca tulisan ini.

***

Palmerah Barat, 4 Februari 2016

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun