Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Inilah Ciri-ciri Apologia

6 Januari 2016   12:29 Diperbarui: 29 November 2018   03:39 1792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - tak mau menerima kritik (Shutterstock)

Apakah ciri-ciri apologia?"

Demikian Ahmad Wahib, cendekiawan, menulis dalam catatan hariannya, 6 Februari 1970, yang kemudian dirangkum dalam buku yang kini sudah menjadi klasik dan langka "Pergolakan Pemikiran Islam", terbitan LP3ES, 1981.

"Apologia" atau "apologi" di sini adalah pidato atau tulisan yang dimaksudkan sebagai pembelaan diri. Kata "apologia" menjadi populer dan mendunia tatkala Plato menulis "Apologia Socrates" yang dimaksudkan sebagai pembelaan terhadap Socrates di depan hakim yang menuduhnya tidak percaya kepada dewa-dewa, "tuhan" yang wajib disembah pada zamannya.

Saya meminjam ciri-ciri apologia dari Wahib ini untuk urusan menulis, dalam batas-batas tertentu juga untuk berpidato dan berdebat, yang saya pikir masih relevan sampai sekarang. Adapun Wahib menengarai lima ciri-ciri apologia, yakni;

1. Kalau merasa diserang, yang bersangkutan akan menangkis atau membela diri,
2. Kalau merasa akan diserang, yang bersangkutan akan bikin "excuse" lebih dahulu,
3. Ada kecenderungan membangkit-bangkitkan kembali hal-hal yang lama,
4. Tidak jarang mengagung-agungkan masa lalu,
5. Normatif.

Ciri-ciri yang dikemukakan Wahib relevan dengan sikap seorang penulis dalam berargumen lewat opini atau essai yang ditulisnya. Menulis opini sebenarnya merupakan proses dialektika terhadap diri sendiri, mengeksplorasi pikiran sendiri, atas sebuah gagasan yang kebenarannya terbuka untuk diuji siapa saja. Sikap seorang penulis, dalam hal ini penulis opini, haruslah terbuka terhadap kritik, bukan sebaliknya, defensif atau bahkan ofensif.

Menganggap argumen sendiri paling benar dan final, adalah kecelakaan fatal dalam menulis, juga bencana bagi si penulisnya itu sendiri. Pendapat sendiri haruslah dibandingkan, setidak-tidaknya disandingkan, dengan pendapat yang telah ada sebelumnya atau merujuk pada referensi tertentu. Tidak bisa seorang penulis menganggap pendapatnya sebagai yang paling benar, sementara pendapat orang lain salah. Sebab, ketika argumen dalam bentuk tulisan itu dilempar ke publik, ia sejatinya terbuka untuk dikritik.

Berdebat, pun berargumen melalui tulisan, sesungguhnya proses dialektika untuk mencari titik-temu kebenaran, bukan mencari siapa yang paling benar. Masing-masing kepala peserta debat sudah dibekali dengan berbagai referensi yang pernah dibacanya atau peristiwa yang pernah dialaminya (praxis). Berdiskusi adalah mencari kesesuaian, memecahkan masalah bersama, dan tidak untuk saling serang, apalagi melakukan "ad hominem". Kritiklah pandangannya, bukan keadaan orangnya!

Apakah berapologi itu selalu buruk dan salah?

Iya, kalau masuk kepada lima ciri sebagaimana yang dikemukakan Wahib di atas. Namun yang paling baik tentulah mempertahankan argumen tanpa berapologi, tidak membela diri secara vulgar, mengelak dari apa yang sedang diperdebatkan, atau lari dari kenyataan.

Mengakui kesalahan sendiri memang paling berat, tetapi keberanian "mengakui kesalahan" (bukan mengakui kekalahan) adalah cara paling baik untuk menghindari apologi. Mengakui argumen lawan bicara jika diri sendiri tidak cukup memiliki amunisi referensi dan sama-sama mencoba mencari titik-temu jawaban paling relevan, adalah cara paling efektif dilakukan peserta diskusi.

Yakinlah, tidak ada jawaban yang final, toh setiap jawaban dan kesimpulan terbuka untuk didebat dan dipertanyakan kembali. Argumen yang semula dianggap salah, suatu waktu akan menjadi benar atau setidak-tidaknya dibenarkan. Sebaliknya, argumen yang semula dianggap benar suatu saat harus dikoreksi karena dianggap keliru. Demikianlah adanya hakikat berdebat.

Jadi jangan takut salah dalam berargumen, lisan maupun tulisan. Juga jangan angkuh dan bertepuk dada jika argumen dianggap benar. Soalnya, "salah" dan "benar" itu bersifat sementara saja dalam berwacana dan berargumen selagi topik yang sama bisa diangkat kembali.

Sama halnya dengan anggapan "berpikir atau pikiran manusia itu ada batasnya", tetapi kita tidak pernah tahu pasti di mana batas-batas berpikir itu, bukan? Nah, selagi tidak pernah tahu batas-batas berpikir, berargumen, berwacana dan berpolemik, mari kembangkan pemikiran masing-masing melalui tulisan tanpa apologia yang berlebihan.

Salam....
***
Palmerah Barat, 6 Januari 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun