Apa sebenarnya yang diperlukan? Hanya satu, yaitu kesadaran para pemiliknya, keterbukaan para pengelolanya, kearifan para petinggi Newsroom-nya, tentang perubahan yang cepat ini, tentang keniscayaan bahwa media sosial telah lama hadir di tengah masyarakat dan menjadi bagian dari kehidupan warga dunia. Hilangkan paradigma "Noise" sebagai negatif dan kegaduhan yang tidak berguna, tidak usah nyinyir dengan mempertentangkannya dengan "Voice" sebagai satu-satunya hal yang bermanfaat. Sebab selagi memasuki dunia digital dan hidup di alam Internet, Anda tentu tidak ingin konten yang terbaca di Internet sebagai kegaduhan yang tidak berguna, bukan?
Saat ini, Facebook dengan segenap kegaduhannya (baca "Noise), sudah siap melahap konten manapun di seluruh dunia ini dengan "Instant Articles" yang dimilikinya, sebuah aplikasi dengan semangat mengkurasi "Noise" menjadi "Voice". Bagi media-media arus utama cuma ada dua pilihan: kerjasama dengan Facebook untuk sebagian atau seluruh konten sehingga menjadikan Facebook "tuan" bagi para media, atau menjauhi Facebook dengan mempertahankan "Voice" yang dimilikinya dengan risiko semakin teralineasikan dari dunia ramai. Kenyataannya, dua pilihan itu sudah di depan mata.Â
Saya masih meyakini kebenaran slogan "Content is the King" dan kalau boleh saya tambahkan "Media is the Queen". Kalau sebuah kerajaan ingin tetap kuat dan berjaya, "King" dan "Queen" itu harus selalu bersenyawa, bergabung menjadi satu kekuatan sebagai bagian yang tak terpisahkan. Sebagai media sosial, selama ini Facebook boleh jadi merasa dirinya hanya sebagai "Queen" yang cantik sehingga lebih dari satu miliar penduduk jagat maya jatuh cinta kepadanya. Namun para pemiliknya segera sadar, selama ini Facebook tidak punya konten yang baik dan dianggap sebagai sumber keriuhan semata. Maka ia bertekad harus menjadi "King" dengan memiliki konten yang baik (Good Content), konten yang diambil dari berbagai media arus utama yang bersedia bekerja sama dengannya. Kelak, tidak ada lagi tudingan ke arah Facebook sebagai media sosial yang berisi "Noise" karena ia telah benar-benar memiliki "Voice".
Nah, jika masih ada para petinggi media yang merasa bahwa media sosial adalah sumber kegaduhan ("Noise") dan media arus utama hanya berisi informasi penting ("Voice"), sebaiknya membuka mata, telinga, dan kesadaran atas keniscayaan yang sedang kita hadapi bersama ini.Â
**
Palmerah Barat, 21 Desember 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H