Kepada saya dihadapkan 20 tulisan karya blogger. Semua karya tulis tersebut dipersiapkan sebagai lomba menulis Anugerah Jurnalistik Aqua (AJA), sehingga bisa dimaklumi seluruh tulisan disajikan dengan apik; baik menggunakan gaya laporan berita (news reporting), opini, laporan penelitian, atau gabungan beberapa gaya penulisan. Dari 20 tulisan itu saya diminta untuk memilih tiga terbaik yang kemudian saya urutkan sebagai juara pertama, kedua, dan ketiga.
Secara subjektif, saya akan memberi bobot lebih kepada tulisan blogger yang berupa laporan faktual, menyampaikan fakta lapangan. Namun, bukan berarti saya mengesampingkan tulisan opini yang bertumpu pada sejumlah referensi. Saya sebut subjektif, karena mungkin juri lain menitikberatkan pada aspek lain tulisan. Namun bagi saya, selaku penulis yang juga didapuk selaku juri, tulisan berupa laporan lapangan lebih hidup (vivid), lebih terbaca sebagai “storytelling” alias bertutur, faktual-informatif, lebih melibatkan emosi pembaca sekaligus penulisnya.
Tidak seperti media massa cetak atau media eloktronik yang restriktif dari sisi halaman (pages) atau waktu tayang (time), media online dalam hal ini blog terbebas dari pembatasan ruang dan waktu itu. Ada kecenderungan blogger menulis dan melaporkan fakta secara panjang lebar dengan maksud agar tulisannya menjadi lebih “mendalam”. Namun, tulisan panjang-lebar tidak berarti mendalam. Memang media online seperti blog menyediakan ruang yang seperti tanpa batas, tetapi bukan berarti setiap tulisan harus berpanjang-panjang. Bagi saya, tulisan tetaplah harus “concise” (ringkas) namun padat. Tetap berisi informasi penting dengan tidak menghilangkan gaya “storrytelling” (bercerita) khas penulis atau reporter warga.
Untuk itulah pemenang pertama tulisan kategori blog ini jatuh pada karya Bayu Mustaqim Wicaksono dengan judul “Masjid Kampus ITS Manfaatkan Jutaan Liter Air Yang Terbuang”.
Baru tahu kemudian kalau tulisan itu dimuat di blog sosial Kompasiana, sebab panitia menghilangkan nama dan alamat blog mereka saat naskah tiba di tangan saya. Bagi saya, karya tulis berupa laporan warga itu memiliki kekuatan selain memadukan gaya “storytelling” dengan laporan faktual lapangan, juga mewawancarai narasumber di lapangan. Kekuatan itu adalah adanya unsur kebaruan (novelty), hal baru, atau paling tidak sebelumnya tidak pernah dibahas. Novelty tidak sama dengan update yang dalam jurnalistik bermakna perkembangan berita (developing news).
Bagi saya, karya Bayu menjadi “setengah” pekerjaan jurnalisme profesional dengan unsur kebaruan yang kuat, namun tetap disajikan dengan pendekataan “blogging”. Isu yang dikemukakan pun tergolong baru, aktual, dan “current”. Siapa peduli dengan air bekas wudu yang terbuang percuma dari ratusan ribu bahkan jutaan masjid di Negeri Muslim ini? Maka Kampus ITS di Surabaya menjadi semacam “model” pemanfaatan air bekas wudu menjadi air yang bisa dimanfaatkan ulang (reuse) dalam hal ini untuk menyiram tanaman. Tentu tema penulisan adalah masalah air dan pemanfaatan bagi kehidupan.
Apakah kelak akan di-recycle menjadi air yang dapat digunakan untuk mandi atau bahkan untuk minum, misalnya? Tidak tertutup kemungkinan. Namun, pemanfaatan air bekas wudu bisa diterapkan di masjid-masjid besar raya di seluruh Indonesia, bahkan di seluruh dunia, tetap bermakna penghormatan terhadap fungsi air itu sendiri, juga turut menjaga kelestarian lingkungan, khususnya pemanfaatan dan penghematan air bagi generasi mendatang. Satu poin lagi, tulisan Bayu tidak berpretensi berpanjang-lebar dan bahkan tidak me-mention “Aqua” selaku penyelenggara lomba yang bisa dimaknakan sebagai tulisan “hard selling”, bersponsor, atau menarik perhatian juri . Ini yang menyebabkan tulisan Bayu sedemikian informatif dan aktual dari sisi kebaruan konten. Bayu paham perkara “native ads” yang membuat tulisannya jauh dari bias iklan.
Untuk juara kedua saya memilih tulisan karya Evrina Budiastuti dalam blog pribadinya berjudul “Bahu Membahu melestarikan Air dan Lingkungan”. Kekuatan dari tulisan berupa gabungan laporan faktual, opini dan data-data ini (jurnalisme fakta) bukan karena panjangnya, melainkan karena lengkapnya. Sangat komprehensif dari A sampai Z, ada di tulisan ini. Memang tidak menunjukkan novelty alias unsur kebaruan, yang berakibat masalah yang sama juga di bahas di tempat lainnya. Namun demikian, penyajian sejumlah foto yang sangat memperkuat tulisan khas blogger, memberi ruang informasi yang lebih.
Hal yang juga sering dilupakan para penulis ialah perbandingan (komparasi). Komparasi adalah salah satu nilai berita (news value). Maka tatkala Evrina menunjukkan perbandingan sebuah foto, ini menambah kekuatan informasi bagi pembacanya. Salah satunya ditunjukkan oleh perbandingan foto yang diambil pada Agustus 2014 dengan Juli 2015 meski bukan tepat di lokasi yang sama, yakni saat sawah yang menderita kekeringan dan belum sempat dipanen.
Tulisan dibuka dengan wajah muram kondisi pertanian di Bogor akibat pasokan air yang mengering. Sawah yang kering dan belum sempat dipanen adalah indikasinya. Masyarakat tidak pernah sadar bahwa air yang melimpah suatu saat akan kering juga. Maka kelalaian menghemat air dan abai terhadap air adalah pesan yang kuat untuk pembaca. Satu hal juga yang diingatkan Evrina lewat tulisan itu, bahwa air dan ketersediaan pangan itu berbanding lurus. Artinya, selagi makanan pokok seperti beras, jagung, ubi, dan gandum ditanam di tanah, mereka membutuhkan air. Tanpa air, tidak akan tumbuh tanaman. Tanpa tanaman, takkan ada kehidupan. Air bukan hanya dibutuhkan langsung oleh manusia, melainkan juga oleh tanaman, sedangkan tanaman dibutuhkan manusia. Lingkaran ketergantungan nyata yang tercermin dalam tulisan itu.
Demikianlah pesan kuat tulisan ini selain menawarkan berbagai solusi. Ada optimisme dan pesan pantang menyerah terkait kelangsungan hidup manusia, khususnya dalam memperoleh hak atas air. Ajakan untuk melestarikan lingkungan adalah positif sebab pembaca “dipaksa” terlibat, setidak-tidaknya mengetahui persoalan air yang sangat krusial untuk kehidupan ini.
Juara ketiga diraih oleh Liya Swandari dengan judul tulisan “Kekeringan Bukan Salah Tuhan”. Lagi-lagi, tulisan ini sangat “concise” (ringkas) namun padat. Ini tulisan yang sangat reflektif berdasarkan pengalaman praxis nyata keseharian berupa ironi-ironi. Ironisitas inilah yang ditonjolkan, yang bahkan menjadi pembuka tulisan yang sangat menonjok kesadaran... “Memalukann! (double “n” ini bukan kesalahan, tetapi kesengajaan dengan maksud untuk penekanan gaya blogger). Iya memang kami memalukan. Kami tinggal di daerah peresapan air tetapi sumur-sumur kami sudah kering”.
Jarang blogger memperhatikan repertoir atau pembuka tulisan yang membetot perhatian agar pembaca melanjutkan bacaannya. Tetapi Liya menghadirkannya dengan cukup menonjok kesadaran. Selain ironi keseharian yang dihadapi di daerahnya, tulisan ini juga memberi “warning” bagaimana masyarakat bersikap terhadap perusahaan yang hadir di daerah di mana si penulis tinggal. Di satu sisi, perusahaan menawarkan lapangan pekerjaan bagi penduduk setempat, tetapi di sisi lain perusahaan kerap dianggap sebagai biang keladi mengeringnya air akibat pemasangan sumur bor dan artesis yang menyedot cadangan air bersih dalam jumlah massif, yang tidak terpikirkan masyarakat pada mulanya.
Lagi-lagi unsur novelty yang menonjol, yakni sikap masyarakat terhadap perusahaan yang mendirikan pabrik di mana masyarakat berada. Maka tulisan ini memberi pemahaman bagaimana menghadapi perusahaan apapun yang bermaksud mendirikan pabriknya di desa-desa sehingga tidak menimbulkan kerugian kedua pihak. “Saling menyalahkan bukanlah solusi,” demikian salah satu pesan kuat yang disampaikan tulisan ini.
Secara keseluruhan, 20 tulisan yang diikutsertakan dalam lomba berkategori “penting” selain juga “menarik”, dua unsur yang wajib ada dalam sebuah tulisan ataupun reportase. Sebanyak 12 tulisan termuat di blog pribadi (privat blog), 8 sisanya ditayangkan di Kompasiana. Namun demikian, beberapa di antaranya gagal menemukan “mind idea” atau gagasan utama penulisan sehingga tulisannya bersifat “generic” untuk tidak mengatakan datar. Memang harus diakui banyak informasi termuat, namun itu bukanlah informasi yang spesifik yang lahir karena pengalaman atau pengamatan, melainkan memang sudah menjadi “rahasia umum” dan tinggal mengambil saja sebagai rujukan. Akibat terjebak cara ini, pengaruhnya terasa pada datarnya sebuah tulisan, tidak menawarkan pandangan atau gagasan baru, repetisi dari persoalan “klasik” atau tidak tampaknya cara baru penyelesaian masalah, dalam hal ini masalah air.
Dari 20 tulisan yang saya baca dengan saksama dan teliti, memang ada beberapa kelebihan sekaligus kekurangan dari masing-masing aspek, namun hasil akhir menunjukkan perbedaan yang tidak terlalu signifikan, bahkan ada yang nilai akhirnya sama. Karena ini penilaian subjektif saya sebagai seorang juri, maka bisa saja panitia lomba menganulir urutan juara atau bahkan men-drop-nya jika tidak sesuai “pesan sponsor”. Namun syukurlah, pihak panitia mempercayakan secara penuh kepada saya selaku juri.
Sebagai juri, saya bertanggung jawab penuh atas hasil penilaian ini dengan mempertaruhkan profesionalisme saya selaku jurnalis, penulis, penggiat media sosial, dan juri berbagai lomba penulisan tingkat nasional. Saya siap memberikan argumen jika ternyata ada pertanyaan dari peserta di kemudian hari.
**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H