Juara ketiga diraih oleh Liya Swandari dengan judul tulisan “Kekeringan Bukan Salah Tuhan”. Lagi-lagi, tulisan ini sangat “concise” (ringkas) namun padat. Ini tulisan yang sangat reflektif berdasarkan pengalaman praxis nyata keseharian berupa ironi-ironi. Ironisitas inilah yang ditonjolkan, yang bahkan menjadi pembuka tulisan yang sangat menonjok kesadaran... “Memalukann! (double “n” ini bukan kesalahan, tetapi kesengajaan dengan maksud untuk penekanan gaya blogger). Iya memang kami memalukan. Kami tinggal di daerah peresapan air tetapi sumur-sumur kami sudah kering”.
Jarang blogger memperhatikan repertoir atau pembuka tulisan yang membetot perhatian agar pembaca melanjutkan bacaannya. Tetapi Liya menghadirkannya dengan cukup menonjok kesadaran. Selain ironi keseharian yang dihadapi di daerahnya, tulisan ini juga memberi “warning” bagaimana masyarakat bersikap terhadap perusahaan yang hadir di daerah di mana si penulis tinggal. Di satu sisi, perusahaan menawarkan lapangan pekerjaan bagi penduduk setempat, tetapi di sisi lain perusahaan kerap dianggap sebagai biang keladi mengeringnya air akibat pemasangan sumur bor dan artesis yang menyedot cadangan air bersih dalam jumlah massif, yang tidak terpikirkan masyarakat pada mulanya.
Lagi-lagi unsur novelty yang menonjol, yakni sikap masyarakat terhadap perusahaan yang mendirikan pabrik di mana masyarakat berada. Maka tulisan ini memberi pemahaman bagaimana menghadapi perusahaan apapun yang bermaksud mendirikan pabriknya di desa-desa sehingga tidak menimbulkan kerugian kedua pihak. “Saling menyalahkan bukanlah solusi,” demikian salah satu pesan kuat yang disampaikan tulisan ini.
Secara keseluruhan, 20 tulisan yang diikutsertakan dalam lomba berkategori “penting” selain juga “menarik”, dua unsur yang wajib ada dalam sebuah tulisan ataupun reportase. Sebanyak 12 tulisan termuat di blog pribadi (privat blog), 8 sisanya ditayangkan di Kompasiana. Namun demikian, beberapa di antaranya gagal menemukan “mind idea” atau gagasan utama penulisan sehingga tulisannya bersifat “generic” untuk tidak mengatakan datar. Memang harus diakui banyak informasi termuat, namun itu bukanlah informasi yang spesifik yang lahir karena pengalaman atau pengamatan, melainkan memang sudah menjadi “rahasia umum” dan tinggal mengambil saja sebagai rujukan. Akibat terjebak cara ini, pengaruhnya terasa pada datarnya sebuah tulisan, tidak menawarkan pandangan atau gagasan baru, repetisi dari persoalan “klasik” atau tidak tampaknya cara baru penyelesaian masalah, dalam hal ini masalah air.
Dari 20 tulisan yang saya baca dengan saksama dan teliti, memang ada beberapa kelebihan sekaligus kekurangan dari masing-masing aspek, namun hasil akhir menunjukkan perbedaan yang tidak terlalu signifikan, bahkan ada yang nilai akhirnya sama. Karena ini penilaian subjektif saya sebagai seorang juri, maka bisa saja panitia lomba menganulir urutan juara atau bahkan men-drop-nya jika tidak sesuai “pesan sponsor”. Namun syukurlah, pihak panitia mempercayakan secara penuh kepada saya selaku juri.
Sebagai juri, saya bertanggung jawab penuh atas hasil penilaian ini dengan mempertaruhkan profesionalisme saya selaku jurnalis, penulis, penggiat media sosial, dan juri berbagai lomba penulisan tingkat nasional. Saya siap memberikan argumen jika ternyata ada pertanyaan dari peserta di kemudian hari.
**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H